Oleh : Ahmad Sastra
Dalam diskusi publik tentang bencana banjir, banjir
bandang, dan longsor yang kerap melanda Pulau Sumatera, seringkali hujan lebat
atau cuaca ekstrem dijadikan kambing hitam utama.
Memang benar, cuaca ekstrem bisa menjadi pemicu
langsung. Namun, menyalahkan cuaca saja tanpa mempertimbangkan peran kerusakan
ekosistem terutama deforestasi dan degradasi hutan/ lahan berarti mengabaikan
akar penyebab yang jauh lebih dalam dan sistemik.
Hutan, terutama di wilayah hulu daerah aliran sungai
(DAS), memiliki peran krusial dalam menjaga stabilitas alamiah. Sebagai contoh:
Pertama, Kanopi hutan mampu menangkap 15–35% air hujan; tanah hutan yang tidak
terganggu bisa menyerap hingga ~55% hujan; proses evapotranspirasi mengembalikan
25–40% ke atmosfer; sisanya hanya 10–20% yang menjadi limpasan permukaan.
Kedua, Saat hutan
rusak atau hilang, seluruh fungsi ini runtuh, air hujan tidak diserap, tanah
kehilangan porositas dan daya serap, akar pohon yang menahan tanah hilang
sehingga limpasan permukaan meningkat drastis.
Ketiga, akibatnya air
meluncur cepat ke hilir, tanah yang tidak stabil mudah longsor, sedimentasi
sungai meningkat, sungai menjadi dangkal dan rawan meluap. Dengan demikian,
keberadaan hutan bukan sekadar estetika atau habitat satwa, ia adalah sistem
penahan bencana alamiah.
Kajian empiris menunjukkan bahwa deforestasi dan
degradasi hutan di Sumatera berlangsung dalam skala besar selama puluhan tahun;
hal ini telah melemahkan ketahanan ekologis kawasan.
Di
provinsi-provinsi seperti Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, hutan di
kawasan hulu DAS telah banyak hilang/terfragmentasi, terutama di lereng
pegunungan atau bukit curam (rentan longsor).
Eksploitasi lahan
untuk perkebunan (sawit, gambir, dan lain-lain), tambang, dan konversi hutan
menjadi lahan industri atau pertanian secara sistemis telah menggerus tutupan
hutan sering diiringi deforestasi ilegal atau praktik perizinan yang longgar.
Degradasi juga
meluas ke area gambut: lahan gambut, bila dieksploitasi atau dikeringkan kehilangan kapasitas penahan air, memicu
banjir inland, penurunan tanah (subsidence), serta memudahkan kebakaran
hutan/lahan ketika musim kemarau. Dalam
kondisi seperti itu, hujan deras, bahkan apabila dalam kisaran normal dapat
memicu bencana besar karena sistem alam sudah kehilangan “peredam” alami.
Argumen bahwa cuaca ekstrem adalah penyebab bencana
tidak salah, namun ia hanyalah pemicu. Sebab hakikatnya, perubahan cuaca adalah
datangnya dari Allah untuk kebaikan manusia. Allah tak pernah menzolimi
hambaNya, kecuali hamba itu menzolimi dirinya sendiri. Yang membuat dampaknya
meluas dan mematikan adalah rusaknya ekosistem.
Beberapa poin
pendukung argumen ini, diantaranya :
pertama, kasus banjir dan longsor di Sumatera Barat pada Maret 2024
terjadi tidak hanya karena hujan lebat, tetapi juga karena tutupan hutan di
daerah aliran sungai telah berkurang deforestasi dan konversi lahan memperlemah
daya dukung lingkungan.
Kedua, laporan dari
organisasi lingkungan dan penelitian menunjukkan bahwa konversi hutan menjadi
perkebunan atau lahan monokultur memadatkan tanah, mengurangi infiltrasi,
meningkatkan limpasan, serta mempercepat sedimentasi sungai, sehingga sungai
menjadi dangkal dan lebih mudah meluap saat hujan.
Ketiga, pada lahan
gambut atau dataran rendah pantai, degradasi juga mengurangi fungsi alami sebagai
penyerap dan penahan air menjadikan wilayah pesisir dan rawa semakin rentan
terhadap banjir, rob, dan intrusi air laut.
Dengan demikian, cuaca ekstrem dan krisis iklim
mungkin mempertinggi frekuensi kejadian, tetapi adalah kerusakan ekosistem, deforestasi,
degradasi hutan dan lahan, perusakan DAS yang membuat bencana itu menjadi
bencana besar dan berulang.
Jika akar masalah adalah perusakan ekosistem, maka
perlu ada upaya sistemik dan struktural untuk menghentikannya. Namun
kenyataannya: Pertama, luas deforestasi di Indonesia termasuk Sumatera tetap
signifikan bahkan dalam dekade terakhir. Beberapa kawasan lindung, area taman
nasional, dan kawasan konservasi tidak luput dari konversi, perkebunan, atau
aktivitas ekstraktif.
Kedua, pengawasan
tata guna lahan, perizinan, serta implementasi hukum sering lemah. Aktivitas
ilegal seperti pembalakan liar, pertambangan tanpa izin, alih fungsi hutan
terjadi dengan skala besar.
Ketiga, kebijakan
mitigasi dan penanggulangan bencana kerap hanya bereaksi pasca-bencana (respon
darurat), padahal upaya pencegahan dengan menjaga ekosistem justru jauh lebih
efektif dan efisien dalam mereduksi kerugian maksimum, baik manusia,
lingkungan, maupun ekonomi.
Dengan demikian, aspek kebijakan, tata guna lahan, dan
penegakan lingkungan menjadi sangat menentukan dalam mengurangi risiko bencana.
Bencana alam di Sumatera, banjir, banjir bandang,
longsor, bukan semata problem “cuaca” atau “iklim,” melainkan problem struktural
dan ekologis: degradasi ekosistem hutan dan lahan. Hutan yang dikonversi atau
dirusak telah kehilangan fungsi penting sebagai penyangga dan penyerap air.
Akibatnya, hujan deras yang dulunya bisa “ditampung”
hutan sekarang berubah menjadi bola salju bencana besar. Maka, menyalahkan
cuaca saja adalah menyederhanakan persoalan dan mengabaikan pelaku utama: aktor
perusakan alam.
Maka perlu adalanya perlindungan dan rehabilitasi
hutan secara serius, terutama di hulu DAS, kawasan pegunungan, dan area rawan longsor/banjir.
Reboisasi, restorasi hutan dan lahan, serta perlindungan kawasan konservasi
harus diprioritaskan.
Pentingnya juga adanya pengetatan perizinan dan
penegakan hukum terhadap deforestasi ilegal, konversi lahan, dan eksploitasi
sumber daya alam, termasuk sawit, tambang, dan infrastruktur. Pelaku harus
ditindak dan diberi sanksi tegas.
Harus ada juga integrasi manajemen DAS dalam kebijakan
tata ruang dan mitigasi bencana, bukan hanya sebagai aspek lingkungan, tetapi
sebagai bagian dari strategi nasional pengurangan risiko bencana (disaster risk
reduction).
Kesadaran publik dan edukasi juga sangat penting agar
masyarakat memahami bahwa menjaga hutan adalah menjaga keselamatan bersama.
Bencana besar bukan takdir; banyak di antaranya bisa dicegah jika kita jaga
alam dengan bijak.
Cuaca ekstrem, iklim berubah, dan fenomena meteorologi
tentu memiliki peran dalam memicu bencana. Namun menyematkan seluruh “kesalahan”
kepada alam, tanpa menyorot manusia dan kebijakan justru menyembunyikan
tanggung jawab.
Bencana di Sumatera adalah alarm bahwa ketika kita
merusak alam, alam bisa “balas”. Hutan bukan hanya paru-paru dunia atau habitat
satwa, ia adalah tameng terhadap bencana; saat tameng itu roboh, kita semua
rentan.
Karenanya, jika kita sungguh ingin mengurangi korban
jiwa, kerugian sosial dan ekonomi akibat bencana, maka jangan dulu menuding
hujan; terlebih dahulu, lindungi hutan, jaga ekosistem, dan tuntut akuntabilitas
pelaku perusakan.
Karena hanya dengan cara itulah kita bisa berharap
Sumatera dan Indonesia tahan terhadap gejolak alam, bukan terus menerus menjadi
korban dari keputusan para pejabat khianat dan oligarki serakah.
Referensi
Antara News. (2024). Indonesia investigates illegal
logging links in Sumatra flood debris.
Asia Today. (2024). Expert: Sumatra disaster driven
by severe forest ecosystem degradation in upstream watersheds.
Eco-Business. (2024). Worsening flood risks loom
over Indonesia’s degraded peatlands.
El PaÃs. (2024). In Indonesia, deforestation is
intensifying disasters from severe weather and climate change.
EnviData. (2024). Indonesia’s forest emergency:
Deforestation and potential major disasters.
Kompas. (2024). Deforestasi turut picu banjir dan
longsor di Sumbar.
Mongabay. (2024). Indonesia’s peatlands face
growing flood risks amid widespread degradation.
PPJP–ULM Journal. (2023). Analisis risiko banjir
dan degradasi lingkungan di daerah aliran sungai.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1195/02/12/25 : 05.01
WIB)

