Oleh : Ahmad Sastra
Sebagaimana kita ketahui dan kita rasakan,
selama puluhan tahun negeri ini tak pernah beranjak dari berbagai persoalan,
termasuk ragam bencana alam. Tahun 2025 yang seolah ditutup dengan bencana alam
di mana-mana hanya menggambarkan sedikit saja luka bangsa. Pasalnya, yang
sebenarnya terjadi, kerusakan negeri ini terjadi merata di hampir semua lini;
lingkungan, pendidikan, moral, hukum, politik, sosial, budaya dan ekonomi.
Sekularisme Pangkal Kerusakan dan Bencana
Bencana alam dan ekologi sampai kini masih
terjadi. Ia datang silih berganti. Sebulan terakhir adalah bencana banjir dan
longsor di sejumlah daerah. Bencana kali ini jelas merupakan “teguran keras”
yang ke sekian kalinya atas relasi yang timpang antara manusia dan alam. Selain
faktor iklim, sangat jelas bencana ini adalah akibat keserakahan manusia dalam
bentuk penggundulan hutan secara semena-mena.
Akibatnya, dalam 10 tahun terakhir saja puluhan
juta hektar hutan habis dibabat. Entah untuk keperluan tambang, pembukaan
perkebunan sawit dll. Ini belum termasuk puluhan juta hektar hutan yang dibabat
selama era Orde Baru dan sepanjang era Reformasi.
Yang pasti, telah terjadi eksploitasi
berlebihan, tata kelola yang diabaikan serta keserakahan yang dilegalkan
melalui kebijakan kapitalistik yang hanya menguntungkan segelintir oligarki dan
penguasa.
Allah SWT telah menegaskan bahwa berbagai
bencana yang terjadi itu adalah akibat tangan-tangan jahat manusia: Telah nyata kerusakan di darat dan di laut
disebabkan oleh perbuatan tangan-tangan manusia. (Dengan itu) Allah berkehendak
agar manusia merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, supaya mereka
kembali (ke jalan-Nya) (TQS ar-Rum [30]: 41).
Di tengah derita rakyat yang kehilangan rumah
dan penghidupan, bencana tidak hanya hadir sebagai peristiwa ekologis, tetapi
juga sebagai tragedi yang menyingkap kezaliman struktural terhadap alam di
negeri ini.
Kekuasaan tak lagi dianggap sebagai amanah yang
kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah di Akhirat kelak.
Kekuasaan justru hanya dijadikan sebagai sarana untuk mengeksploitasi alam.
Semata-mata demi keuntungan segelintir orang.
Nasib rakyat justru sering terabaikan. Mereka bahkan sering dikorbankan. Ribuan
korban bencana Sumatra hanyalah salah satu contohnya.
Ideologi Kapitalisme-sekuler yang diterapkan di
negeri ini nyata telah menjadikan hukum-hukum Allah disingkirkan dalam
pengaturan segala urusan kehidupan. Inilah yang menjadi pangkal kerusakan.
Allah telah memperingatkan: Siapa saja yang
berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran) maka sungguh bagi dia kehidupan yang
sempit dan Kami akan menghimpunkan dirinya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta
(TQS Thaha [20]: 124).
Pada saat yang sama korupsi tak kunjung reda.
Memperparah luka bangsa. Ia merembes ke semua lini. Menggerogoti kepercayaan
publik. Mematikan harapan akan keadilan. Ratusan triliunan rupiah dana yang
semestinya menjadi penyangga kesejahteraan rakyat justru mengalir ke kantong
segelintir elit.
Sebaliknya, masyarakat dipaksa beradaptasi
dengan kesulitan yang kian kompleks. Kejagung mencatat, sepanjang Tahun 2024
saja kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp 300-an triliun. Pelakunya
adalah para pejabat dan pegawai dari tingkat pusat hingga daerah. Menurut
catatan ICW, sepanjang 2019-2024 saja korupsi melibatkan 6.000-an pelaku (tersangka).
Korupsi tentu bukan sekadar pelanggaran hukum.
Ia sekaligus merupakan pengkhianatan moral yang merusak sendi-sendi kehidupan.
Ironisnya, penegakan hukum hanya ada di atas kertas. Ia tak berlaku bagi kaum
elit berduit. Ia hanya menyasar rakyat jelata. Para penegak hukum di negeri ini
telah mempertontonkan ketidakadilan. Mereka lebih memilih jalan kezaliman.
Padahal Rasulullah saw. telah memperingatkan: Para
hakim itu ada tiga golongan: satu di surga dan dua di neraka. Hakim yang
mengetahui kebenaran, lalu memutuskan hukum dengan kebenaran itu, ia di surga.
Hakim yang mengetahui kebenaran, tetapi menyimpang dalam keputusannya, ia di
neraka. Hakim yang memutuskan perkara tanpa ilmu, ia pun di neraka (HR Abu
Dawud dan at-Tirmidzi).
Kerusakan moral generasi muda juga menjadi alarm
keras bagi masa depan. Maraknya perjudian online, kekerasan dan kriminalitas
menunjukkan rapuhnya ketahanan nilai dalam keluarga, sekolah dan ruang publik
digital. Remaja tumbuh dalam arus teknologi yang cepat, namun tanpa pendampingan
etis yang memadai.
Algoritma telah menundukkan generasi bangsa ini
sehingga mereka kehilangan arah. Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) menunjukkan jumlah transaksi judol pada 2025. Sejak awal 2025
hingga kuartal ke-3 jumlah perputaran dana judol mencapai Rp 155 triliun
rupiah. Pelakunya juga melibatkan remaja bahkan anak-anak.
Padahal jelas judi itu haram, sebagaimana
firman-Nya: Hai orang-orang yang
beriman, sesungguhnya meminum khamar, berjudi, berkorban untuk berhala,
mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Karena itu
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan (TQS
al-Maidah [5]: 90).
Tren kriminalitas pada tahun 2025 juga tergolong
tinggi. Pusat Studi Kejahatan Nasional (Pusiknas) kembali merilis data tindak
kejahatan hingga Agustus 2025. Hasilnya cukup mengejutkan, tetapi sekaligus
meneguhkan tren lama: wilayah padat penduduk, urban dan menjadi pusat aktivitas
ekonomi masih menjadi episentrum (pusat) kriminalitas.
Selama Januari–Agustus 2025 saja tercatat 335
orang dilaporkan terkait kasus kriminal di Indonesia. Seluruh kasus di atas
hanyalah sedikit potret masalah yang timbul akibat penerapan sistem
demokrasi-sekuler di negeri ini.
Saatnya Kembali ke Jalan Allah
Dengan demikian bangsa ini, utamanya kaum Muslim
di negeri ini, seharusnya segera menyadari betapa tahun demi tahun sistem
demokrasi-sekuler yang diterapkan di negeri ini hanya memproduksi ulang
berbagai persoalan yang sama, yang bahkan makin menambah kerusakan di berbagai
aspek kehidupan.
Pergantian pemimpin juga terbukti tidak pernah
menghadirkan perbaikan. Pasalnya, meski gonta-ganti pemimpin, sistem yang
diterapkan adalah sistem yang sama, yang telah terbukti rusak dan hanya
menciptakan ragam kerusakan. Itulah sistem demokrasi-sekuler.
Sistem demokrasi sekuler menempatkan kedaulatan
hukum di tangan manusia. Bukan pada wahyu. Akibatnya, benar dan salah menjadi
relatif. Fleksibel mengikuti kepentingan. Hari ini satu kebijakan dipuji
sebagai solusi. Esok hari terbukti sebagai kezaliman yang dilegalkan. Inilah
politik tanpa rasa takut kepada Allah. Politik yang kehilangan dimensi akhirat.
Padahal Allah telah menegaskan bahwa sistem
hukum jahiliyah buatan manusia tidak layak diterapkan. Hanya hukum Allah yang
layak dan wajib diterapkan. Demikian sebagaimana firman-Nya: Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki?
(Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi kaum yang yakin?
(TQS al-Maidah [5]: 50).
Karena itu saatnya kaum Muslim negeri ini
memiliki kemauan dan keberanian untuk menegakkan hukum-hukum Allah dalam
mengatur negara ini. Hukum Allah bukan sekadar simbol normatif, melainkan
sistem nilai yang pasti menjamin keadilan, amanah serta perlindungan kepada
manusia dan alam.
Membuang sistem hukum jahiliyah berarti menolak
dominasi hawa nafsu manusia. Penggantinya adalah hukum yang berpijak pada wahyu
Allah, yakni syariah Islam. Hanya dengan menjalankan syariah Islam negara dapat
diandalkan sebagai pelayan umat, bukan alat penindasan. Hanya dengan syariah
Islam pula ketertiban dan keadilan yang hakiki bagi semua bisa dihadirkan.
Penegakan hukum-hukum Allah atau syariah Islam
ini tentu harus total (kâffah). Tidak boleh parsial (setengah-setengah). Semua
itu hanya mungkin bisa dijalankan dalam sebuah institusi pemerintahan Islam.
Hal ini jelas pernah dicontohkan langsung oleh Baginda Rasulullah saw. dengan
mendirikan
Daulah Islam (Negara Islam) di Madinah
al-Munawwarah. Negara Islam ini kemudian dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin
dalam bentuk Kekhilafahan Islam. Kekhilafahan Islam ini pun terus dipertahankan
dan dilanjutkan oleh generasi selanjutnya (era Umayah, ‘Abbasiyah dan
Utsmaniyah) selama tidak kurang dari 13 abad lamanya.
Inilah hakikat kembali ke jalan Allah SWT secara
sempurna. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT: Hai orang-orang yang
beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah
kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata
bagi kalian (TQS al-Baqarah [2]: 208).
Apa saja yang Rasul perintahkan kepada kalian,
laksanakan. Apa saja yang dia larang atas kalian, tinggalkan. Bertakwalah
kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukuman-Nya. (QS al-Hasyr
[59]: 7)
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1216/30/12/25 :
12.00 WIB)

