DARI REFLEKSI MENUJU TRANSFORMASI



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Setiap pergantian tahun selalu datang dengan dua wajah. Di satu sisi, ia disambut dengan harapan dan optimisme. Di sisi lain, ia sering kali hanya menjadi rutinitas seremonial: pesta, resolusi, lalu lupa.

 

Padahal, bagi manusia beriman, waktu bukan sekadar angka kalender, melainkan amanah yang kelak dipertanggungjawabkan. Tahun baru 2026 seharusnya menjadi momentum kesadaran, bukan sekadar perayaan kesadaran bahwa hidup terus berjalan menuju satu titik akhir yang pasti.

 

Dalam Islam, waktu memiliki makna yang sangat fundamental. Allah bahkan bersumpah dengan waktu dalam Al-Qur’an: “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian” (QS. Al-‘Ashr: 1–2).

 

Kerugian itu bukan karena kurangnya usia, melainkan karena waktu yang tidak diisi dengan iman, amal saleh, dan kontribusi kebaikan. Maka, pertanyaan paling jujur di awal 2026 bukanlah “apa resolusi kita?”, tetapi “apa yang telah kita lakukan dengan waktu yang Allah titipkan?”.

 

Tahun-tahun terakhir memperlihatkan potret dunia yang semakin rapuh. Krisis moral, korupsi yang menggurita, ketimpangan ekonomi, kerusakan lingkungan, hingga kegelisahan generasi muda yang kehilangan arah. Indonesia tidak berada di luar pusaran itu. Kemajuan teknologi tidak selalu diiringi kematangan etika, dan pertumbuhan ekonomi sering kali berbanding terbalik dengan rasa keadilan.

 

Dalam situasi seperti ini, refleksi diri menjadi keharusan. Islam mengenal konsep muhasabah, evaluasi diri yang jujur dan mendalam. Umar bin Khattab pernah berpesan, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab.” Pesan ini relevan lintas zaman: perubahan besar tidak lahir dari menyalahkan keadaan, melainkan dari keberanian menilai diri sendiri.

 

Refleksi tahun baru semestinya menyentuh hal-hal mendasar: apakah iman kita semakin hidup atau justru menipis di tengah hiruk-pikuk dunia? Apakah ibadah kita membentuk akhlak, atau sekadar rutinitas tanpa makna? Dan yang tak kalah penting, apakah kehadiran kita di tengah masyarakat membawa manfaat atau justru menambah beban sosial?

 

Namun, refleksi tanpa perubahan hanyalah renungan kosong. Islam tidak berhenti pada kesadaran, tetapi menuntut transformasi. Al-Qur’an menegaskan, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri” (QS. Ar-Ra‘d: 11). Ayat ini menegaskan satu prinsip penting: perubahan sosial selalu berawal dari perubahan individu.

 

Transformasi diri dalam Islam bukan slogan motivasi, melainkan proses serius yang menyentuh cara berpikir, bersikap, dan bertindak. Cara berpikir (fikrah) perlu diarahkan kembali pada tauhid—menjadikan Allah sebagai pusat orientasi hidup, bukan popularitas, kekayaan, atau kekuasaan. Cara bersikap (nafsiyah) perlu dibersihkan dari sikap apatis, egoisme, dan keputusasaan. Sementara cara bertindak (‘amal) harus tercermin dalam kejujuran, kedisiplinan, dan tanggung jawab sosial.

 

Resolusi tahun baru sering kali gagal karena hanya menyentuh permukaan: ingin lebih sukses, lebih kaya, atau lebih terkenal. Islam mengajarkan resolusi yang lebih mendasar: ingin menjadi manusia yang lebih bertakwa, lebih amanah, dan lebih bermanfaat.

 

Transformasi Diri

 

Transformasi diri tidak akan bertahan lama tanpa fondasi spiritual. Dalam Islam, spiritualitas bukan pelarian dari dunia, melainkan kekuatan untuk menata dunia. Shalat, puasa, zakat, dan tilawah Al-Qur’an bukan sekadar ritual individual, tetapi sarana pembentuk karakter dan kepekaan sosial.

 

Kesadaran spiritual inilah yang sering hilang di era modern. Banyak orang lelah bukan karena terlalu banyak bekerja, tetapi karena kehilangan makna. Tahun 2026 seharusnya menjadi momentum untuk menghidupkan kembali kesadaran ihsan, merasa diawasi Allah dalam setiap keputusan, sekecil apa pun. Kesadaran ini melahirkan integritas, sesuatu yang sangat langka namun sangat dibutuhkan bangsa ini.

 

Islam tidak memisahkan kesalehan personal dan kesalehan sosial. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” Artinya, transformasi diri sejati akan selalu berdampak ke luar diri: pada keluarga, lingkungan, dan masyarakat.

 

Menyambut 2026, umat Islam dan bangsa Indonesia secara umum perlu menggeser orientasi hidup dari sekadar “bertahan hidup” menuju “memberi makna”. Transformasi diri harus melahirkan kepedulian terhadap ketidakadilan, keberanian melawan kebohongan, serta komitmen membangun generasi yang berakhlak dan berilmu.

 

Perubahan besar tidak selalu dimulai dari kebijakan megah. Ia sering lahir dari individu-individu yang jujur dalam refleksi dan konsisten dalam perbaikan diri.

 

Tahun baru 2026 bukan sekadar penambahan angka usia, tetapi penambahan amanah waktu. Islam mengajarkan bahwa waktu yang berlalu tidak akan kembali, tetapi pelajaran darinya bisa mengubah masa depan. Dari refleksi menuju transformasi diri—itulah makna sejati menyambut tahun baru.

 

Jika refleksi melahirkan kesadaran, dan kesadaran melahirkan perubahan, maka tahun baru tidak lagi menjadi ritual tahunan yang hampa. Ia menjadi titik tolak lahirnya manusia yang lebih utuh: beriman, berakhlak, dan berkontribusi bagi peradaban.

 

Transformasi Negeri

 

Banyaknya musibah yang menimpa negeri ini, baik berupa bencana alam yang berulang, krisis moral yang kian akut, hingga ketimpangan sosial yang semakin tajam seharusnya tidak dipahami semata sebagai peristiwa kebetulan atau takdir yang berdiri sendiri. Musibah-musibah tersebut layak dibaca sebagai peringatan kolektif agar bangsa ini melakukan refleksi mendalam atas arah pengelolaan kehidupan bernegara.

 

Dalam perspektif Islam, berbagai krisis yang terus berulang sering kali berkaitan dengan rusaknya tatanan nilai yang menjadi fondasi kehidupan publik, ketika hukum Allah tidak lagi dijadikan rujukan dalam mengatur urusan manusia.

 

Selama puluhan tahun, negeri ini hidup dalam kerangka sistem sekuler yang memisahkan agama dari urusan negara. Akibatnya, hukum-hukum Allah yang bersifat menyeluruh mengatur keadilan, amanah, kepemimpinan, dan Kesejahteraan diabaikan atau dipinggirkan.

 

Hukum buatan manusia yang sarat kepentingan justru dijadikan standar utama, sehingga melahirkan praktik korupsi yang sistemik, ketidakadilan hukum, serta kebijakan yang lebih menguntungkan segelintir elite dibanding kepentingan rakyat. Dalam kondisi seperti ini, krisis bukan lagi insidental, melainkan struktural.

 

Oleh karena itu, negeri ini membutuhkan lebih dari sekadar tambal sulam kebijakan. Yang dibutuhkan adalah transformasi ideologis yang mendasar, yakni kembali menjadikan Islam sebagai sumber nilai dan hukum dalam mengelola bangsa dan negara.

 

Hukum Islam bukanlah produk sejarah yang usang, melainkan sistem ilahiah yang bersumber dari Allah Yang Maha Adil, Maha Mengetahui, dan Maha Bijaksana. Ketika hukum datang dari Zat Yang Mahasempurna, maka keadilan tidak bergantung pada kekuasaan, dan kebenaran tidak tunduk pada kepentingan politik maupun ekonomi.

 

Momentum pergantian tahun dari 2025 menuju 2026 seharusnya menjadi titik refleksi kolektif bangsa untuk menentukan arah masa depan. Apakah negeri ini akan terus bertahan dalam sistem yang terbukti melahirkan kerusakan demi kerusakan, atau berani melakukan transformasi ideologis menuju negeri yang bertakwa.

 

Negeri yang bertakwa bukanlah negeri tanpa masalah, tetapi negeri yang menjadikan hukum Allah sebagai kompas, sehingga setiap kebijakan diarahkan untuk menjaga keadilan, kemaslahatan, dan keberkahan hidup bersama. Inilah refleksi yang seharusnya mengiringi datangnya tahun baru, bukan sekadar pergantian angka, tetapi perubahan arah peradaban.

 

Akhirnya marilah kita renungkan firman Allah berikut : Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari aneka kegelapan menuju cahaya (iman). Sedangkan orang-orang yang kufur, pelindung-pelindung mereka adalah tagut. Mereka (tagut) mengeluarkan mereka (orang-orang kafir itu) dari cahaya menuju aneka kegelapan. Mereka itulah para penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya. (QS Al Baqarah : 257)

 

Daftar Pustaka

 

Al-Qur’an al-Karim.

Al-Bukhari, M. I. (2002). Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Beirut: Dār Ibn Kathīr.

Al-Ghazali, A. H. (2005). Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn. Beirut: Dār al-Fikr.

Ibn Kathir, I. (2000). Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm. Riyadh: Dār Ṭayyibah.

Tirmidzi, M. I. (2007). Sunan al-Tirmidzi. Beirut: Dār al-Gharb al-Islāmī.

Qardhawi, Y. (1996). Al-Waqt fi Hayat al-Muslim. Cairo: Maktabah Wahbah.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.2217/30/12/25 : 18.39 WIB)

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad