Perahu Mati - Ahmad Sastra.com

Breaking

Kamis, 23 Januari 2020

Perahu Mati



Oleh : Ahmad Sastra

Mentari baru saja menyapa. Berkilau gelombang kecil berkejaran. Perahu-perahu berjejer menunggu di bibir pantai. Para nahkoda mengulum senyum menanti yang hendak berlayar menuju pulau di seberang nan indah. Pak Rustam, nahkoda perahu yang hendak berlayar pertama. Langkah para penumpang mulai mendekat. Senyum ramah nampak dari wajahnya memberikan jalan bagi para penumpang.

Tak sampai 30 menit, perahu Pak Rustam sudah nampak terisi para penumpang. Beruntung hari itu, Pak Rustam mendapat 68 penumpang. Diantara mereka ada anak-anak, pemuda, ibu-ibu dan tentu saja bapak-bapak. Setelah semua penumpang masuk, Rusdi, sang ABK mulai merapihkan tali jangkar dan mulai menutup pintu perahu. Pertanda perahu akan segera berlayar.

Wajah-wajah penumpang nampak sumringah, terbayang sudah indahnya Pulau Seribu yang hendak mereka tuju. Tak ketinggalan, Pak Salim yang membawa istri dan keempat buah hatinya hendak berlibur ke Pulau Seribu. Nampak di wajahnya ketidaksabaran untuk menunjukkan indahnya Pulau Seribu kepada anak dan istrinya, meski wajahnya tetap tenang. Mereka duduk di bibir dak perahu diantara desakan penumpang lain, berharap dapat menikmati deburan ombak laut membasahi dinding perahu dan percikannya menerpa wajah mereka. Indah dan menyenangkan, pikirnya.

Perahu mulai beranjak meninggalkan bibir pantai. Agak tersendat, namun akhirnya bisa berlayar perlahan. Belum lima menit perahu berlayar, Rumi anak Pak Salim yang baru berumur lima tahun tiba-tiba menangis histeris. Istri Pak Salim mencoba menenangkan, namun gagal. Enath apa yang dirasakan oleh Rumi, tangisnya tak mau berhenti. Namun sesekali telunjuk tangan sang anak mengarah ke bibir pantai. Sepertinya Rumi takut naik perahu dan ingin kembali ke darat. Sebab hari itu, Rumi baru pertama kali naik perahu menyeberang laut.

Namun apa mau dikata, perahu telah berlayar, tak mungkin kembali ke pantai. Sementara tiga anak Pak Salim lainnya, seolah tak peduli dengan jeritan adiknya. Selain telah beranjak besar, mereka bertiga sudah pernah berlayar ke Pulau Seribu mengisi liburan sekolah mereka. Mereka tak mau menyia-nyiakan percikan deburan ombak yang mulai membasahi wajah mereka. Sesekali berteriak girang sambil mengusah air yang menerpa wajah mereka. Istri Pak Salim terus berusaha menenangkan Rumi hingga akhirnya tak menangis lagi, meski wajahnya masih terus memandang ke bibir pantai yang mulai tak nampak lagi. Perahupun telah masuk wilayah tengah laut.

Tiga puluh menit perahu telah berlayar. Pak Rustam dan Rusdi memberikan peringatan bahwa penumpang harus tenang karena mulai masuk tengah laut dan perjalanan masih 30 menit lagi. Sinar mentari mulai ikut menghangatkan tubuh para penumpang. Perahu berlayar diiringi hangatnya mentari pagi itu. Tak terlalu cepat perahu berlayar, “mungkin sengaja oleh nahkoda agar para penumpang bisa benar-benar menikmati setiap momen perjalanan mereka”, bisik Pak Salim sambil melihat sebilah golok di ikat pinggang sang nahkoda. Ketika ditanya oleh Pak Salim, sudah menjadi kebiasaan nahkoda membawa golok untuk menjaga diri jika ada bahaya mengancam di tengah perjalanan.

Meski Pulau Seribu belum nampak dari kejauhan, namun para penumpang mulai nampak tak bersabar ingin cepat sampai ke pulau. Tak sadar ternyata perahu semakin melambat jalannya. Hingga tiba-tiba perahu itupun berhenti di tengah laut. Mesin perahu mati. Sesaat suasana menjadi sepi, wajah para penumpang mulai nampak khawatir. Apakah mungkin sengaja atau justru mesim perahu mengalami kerusakan. Perasaan para penumpang mulai kacau dan bertanya-tanya dalam hati.

Suasana masih sepi namun agak mencekam. Mata para penumpang mengarah kepada Pak Rustam, sang nahkoda yang berdiri tegap menghadap ke semua penumpang dengan wajah agak sangar. Sesekali tangan Pak Rustam memegang golok yang sejak tadi menempel di pinggangnya. Campur baur perasaan para penumpang, antara kekhawatiran perahu akan tenggelan dan ketakutan akan sikap Pak Rustam yang mendadak berubah sangar. Pak Rustam tak berucap satu katapun, hanya sesekali matanya mengarah ke semua penumpang sambil melotot. Seolah ada bahasa isyarat agar seluruh penumpang tetap tenang.

Akhirnya Pak Salim memberanikan diri memecah kesunyian, menanyakan dengan suara agak gemetar apa yang sebenarnya terjadi dengan perahu itu. Pak Rustam pura-pura tidak mendengar, justru pandangannya semakin menajam ke arah Pak Salim. Guru agama itu tak memalingkan pandangannya, tetap menatap mata sang nahkoda, namun tidak menampakkan wajah marah berharap sang nahkoda segera memberikan penjelasan atas matinya mesin perahu.

Melihat gelagat itu, suara penumpang lain mulai bersahutan satu sama lainnya. Seorang lelaki paruh baya yang sejak awal duduk di bangku paling belakang bersama ibunya mulai berteriak,

“ Pak nahkoda, ayo segera perbaiki mesinnya, atau bapak sengaja mematikan dan ingin berbuat jahat kepada kami” teriaknya sambil mendekap ibunya yang sejak tadi kelihatan ketakutan.

Sang nahkoda tak bergeming, namun dari raut wajahnya nampak tidak suka dengan pertanyaan laki-laki paruh baya itu, meski sesekali melihat wajah pucat sang ibu. Kali ini sang nahkoda memberi isyarat dengan telunjuk tangannya ditempelkan di bibirnya tanda perintah agar para penumpang diam dan tenang.

“Bagaimana kami bisa tenang jika perahu berhenti di tengah laut seperti ini. Pak nahkoda tidak taku perahu ini akan karam, saya membawa anak dan nenek saya pak “, teriak seorang ibu mulai panik.

“Tolong, tolong, tolong bantu kami, perahu kami rusak dan akan karam”, teriak seorang remaja sambil melambai-lambaikan kedua tangannya karena melihat ada perahu nelayan dari kejauhan, sayang nelayan itu tak mendengar suara anak remaja itu karena dipecah oleh gulungan ombak. Bahkan remaja ini nekad hendak meloncat dari perahu, namun dicegah oleh Pak Salim.


Wajah Pak Rustam semakin menunjukkan kemarahan atas tingkah dan sikap para penumpang perahunya. Tanpa mengeluarkan satu katapun. Lelaki tua yang sudah puluhan tahun jadi nahkoda itu hampir mengeluarkan goloknya berharap penumpang tidak panik. Kepanikan penumpang bisa membuat perahu tidak stabil.

“Mereka hanya perlu penjelasan, bagaimana solusi agar mereka selamat pak, sebab di perahu ini tidak dilengkapi oleh peralatan darurat. Padahal banyak dari mereka yang membawa anak-anak mereka. Ini penting dan mendesak pak. Berikan penjelasan kepada kami, agar kami bisa tenang….”, teriak salah satu penumpang.

“ betul, betul, betul”, suara penumpang bersahutan.

Namun ditenag kepanikan dan keluhan serta ketakutan para penumpang perahu, tanpa mereka sadari, Rusdi, sang ABK, tak nampak berada diatas perahu. Entah sejak kapan. Tak ada satupun penumpang mengetahui, kemana Rusdi pergi. Suasana semakin panik dan bingung. Pak Rustampun tidak menjawab pertanyaan para penumpang terkait hilangnya Rusdi. Par Rustam justru menyuruh semua penumpang untuk duduk kembali di kursi masing-masing. Kepanikan membuat para penumpang tak beraturan, sehingga membuat perahu agak bergoyang.

Pak Salim mulai membatin, seandainya perahu itu tak terselamatkan, maka usai sudah perjalanan hidup seluruh keluarganya. Sebab jika perahu itu karam, tak mungkin bisa selamat, sebab tak ada satupun peralatan untuk menyelamatkan diri. Sementara tak terlihat satupun perahu lainnya untuk dimintai pertolongan. Situasi ini sangat mengkhawatirkan hati Pak Salim. Namun dia tetap mencoba tenang, sambil terus mengambil hikmah dibalik peristiwa yang menimpanya dengan terus berdoa untuk keselamatan keluarganya dan seluruh penumpang.

Karena perahu mulai goyang hampir karam dikarenakan situasi panik para penumpang. Maka mereka bersedia duduk seperti semula untuk menstabilkan posisi perahu. Merekapun mulai tak bersuara. Mereka menyadari bahwa teriakan dan keluhan ternyata tidak menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Mau memperbaiki perahupun tak memiliki ilmunya. Mereka mencoba menenangkan batin dan berharap ada jalan keluar untuk keselamatan.

Di tengah kesunyian, tiba-tiba terdengar gerakan air dan teriakan Allahu Akbar dari balik perahu. Ternyata Rusdi yang selama ini tak kelihatan di atas perahu, sejak awal dia menyelam dibawah perahu untuk mengecek kerusakan perahu. Dengan senyum mengembang, Rusdi berhasil memperbaiki perahu. Tak disangka, ada tali jangkar yang belum masuk ke tempatnya dan masuk ke putaran alat pendorong perahu hingga mematikan mesin perahu.

Kesunyian berubah menjadi senyum bahagia. Rusdi kembali menghidupkan mesin perahu. Perahupun kembali berlayar menuju pulau impian. Meskipun Pak Rustam tetap tak bersuara, namun dari wajahnya tergurat senyum seperti senyumnya kepada penumpang saat di pantai.

Perahu mulai merapat ke bibir Pulau Seribu. Rusdi mengikat tali jangkar ke tiang besi. Tangga perahu mulai dipasang. Langkah kaki penumpang mulai menuruni tangga menuju darat. Satu persatu penumpang menuruni tangga perahu. Dengan bibir senyum, mereka mengucapkan terima kasih kepada Pak Rustam dan Rusdi.

“Ya Alhamdulillah kita selamat. Semoga bapak dan ibu bisa menikmati leburan di pulau Seribu bersama anak-anak. Selamat berlibur, semoga Allah memberikan kelancaran dan keselamatan”, suara Pak Rustam meluncur lancar dengan senyum mengembang seperti tak pernah marah sebelumnya.

Pak Salim sengaja turun tangga paling belakang.

“ Kenapa bapak tadi tidak menjawab semua pertanyaan penumpang saat mesin perahu mati di tengah laut ”, tanya Pak Salim penasaran.

“Menghadapi ujian dan cobaan harus bersabar, tenang, berdoa dan terus bekerja memperbaiki kerusakan perahu. Amarah, keluhan dan kebencian tak akan pernah mampu menghidupkan mesin perahu. Memperbaiki perahu harus pakai ilmu dan kesabaran. Menaggapi keluhan dan teriakan juga tak akan menghidupkan mesin perahu”, tutur Pak Rustam sambil tersenyum.

Pak Salimpun tersenyum dan menyalami tangan Pak Rustam sambil menuruni anak tangga. Di bawah telah melambai tangan keempat anak dan istrinya. Pak Salim menggandeng tangan anak-anaknya sambil berjalan menuju pulau impian. Hidup itu seperti naik perahu, batin Pak Salim sambil menoleh ke belakang hendak melihat Pak Rustam.

Pak Rustam dan Rusdi nampak duduk berdua, tersenyum melambaikan tangan sambil menatap para penumpang sampai menghilang di kejauhan.

(AhmadSastra,KotaHujan,23/01/20 : 09.55 WIB)

_________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

1 komentar:

  1. Membaca cerpen ini membuat saya merasakan ketegangan seolah-olah saya berada dalam perahu itu, namun saya sebetulnya kurang setuju dengan sikap pak rustam yg diam ketika ditanya tanpa penjelasan adakalanya orang hanya butuh penjelasan agar tidak terjadi kepanikan, mengatahui kondisi sebenarnya, diam tanpa jawaban malah membuat bertanya tanya dan berfikir kemana-mana menimbulkan banyak prasangka, mungkin dari cerita ini mengajarkan kita untuk menjauhi segala prasangka buruk terhadap orang lain.

    BalasHapus

Categories