KEKACAUAN INTERPRETASI HERMENEUTIKA - Ahmad Sastra.com

Breaking

Minggu, 16 Januari 2022

KEKACAUAN INTERPRETASI HERMENEUTIKA

 



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Hermeneutika, metode tafsir dari mitos Yunani, diadopsi pihak Yahudi - Kristen bermula dari  metode menafsirkan Bible, menimbulkan pecahbelah di Kristen, tapi anehnya kini diusung oleh orang-orang tertentu ke Islam, bahkan diajarkan di Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits di UIN (Universitas Islam Negeri, dulu IAIN –Institut Agama Islam Negeri) Jakarta dan UIN Jogjakarta. Hermeneutika  (Indonesia), hermeneutics (Inggris), dan hermeneutikos (Greek) secara bahasa punya makna menafsirkan. Filosof Aristoteles pernah menggunakan istilah ini untuk judul kitabnya, Peri Hermeneias. Kitab itu lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Latin menjadi De Interpretationne dan kedalam bahasa Inggris, On the Interpretation. Aristoteles tidak membahas teks atau membuat kritik atas teks. Tapi, ia hanya mengupas peran ungkapan dalam memahami pikiran. Kata benda, kata kerja, ungkapan, dan kalimat yang berkait dengan bahasa menjadi bagian kajiannya.

 

Dalam perkembangannya, hermeneutika tak lagi dipahami sekadar makna bahasa, tetapi makna bahasa dan filsafat. Para teolog Yahudi dan Kristen menggunakan hermeneutika untuk memahami teks-teks Bible. Tujuannya, untuk mencari nilai kebenaran Bible tersebut. Para teolog dari kalangan Yahudi dan Kristen mempertanyakan, apakah Bible itu kalam Tuhan atau kalam manusia? Ini karena banyaknya versi Bible dengan pengarang yang berbeda. Ketika hermeneutika dipakai untuk menafsirkan Al-Quran, persoalannya menjadi lain. Soalnya, Al-Quran, oleh umat Islam, dipahami secara bulat sebagai kalam Ilahi. Karena kalam Ilahi, ada hal-hal yang bisa dipahami dan dimengerti, ada juga yang belum bisa dijangkau oleh akal pikiran manusia. Bila menemukan hal yang terakhir itu, sikap umat Islam adalah mengimaninya. Lafal Hermeneutika adalah derivasi (musytaq) dari Bahasa Yunani dari akar kata hermeneuin, artinya menafsirkan. Al-Farabi mengartikannya dengan lafal Arab al-ibaroh (ungkapan). Hermeneias dimaknakan oleh Aristotle dalam karyanya, Kategoriai, bermakna pembahasan tentang peran ungkapan dalam memahami pemikiran, juga tentang satuan-satuan bahasa seperti kata benda, kata kerja, kalimat, ungkapan (proposition) dan lain-lain yang berkaitan dengan tata bahasa. Jadi semula, Hermeneutika hanyalah melulu mengenai makna bahasa semata.

 

Kemudian Hermeneutika berubah dari makna bahasa ke makna teologi Yunani, kemudian teologi Yahudi dan Kristen, kemudian kini ke makna istilah filsafat, dan anehnya diusung oleh sebagian orang ke Islam. Tokoh utama pengusung hermeneutika di dunia Islam adalah Nasr Hamid Abu Zayd (Mesir) yang telah divonis murtad oleh Mahkamah Agung Mesir 1996, juga Arkoun dari Afrika Utara yang kini di Eropa, serta Fazlur Rahman yang harus hengkang dari Pakistan ke Chicago Amerika, guru Nurcholish Madjid dan lainnya. Kalau di Indonesia pengagum teori hermeunetika itu di antaranya adalah rektor UIN Jogjakarta Amin Abdullah dengan rekan-rekannya di JIL. Hermeneutika sendiri telah diajarkan di UIN Jakarta dan UIN Jogjakarta .The New Encyclopedia Britanica menulis, bahwa hermeneutika adalah studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi Bible (the study of the general principle of biblical interpretation). Tujuan dari hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bible.

 

Hermeneutika itu dipengaruhi oleh tiga lingkungan yang secara pandangan Islam sangat bertentangan, yaitu lingkungan kepercayaan: (1) Yunani yang mitologis (syirik) (2) Yahudi dan Kristen yang maghdhub dan dhoollin (yang setiap umat Islam sholat setiap reka’atnya selalu membaca Al-Fatihah yang akhirnya memohon kepada Allah swt agar dijauhkan dari jalan orang-orang yang maghdhub dan dhoollin itu, lalu disunnahkan membaca amien, semoga Allah mengabulkan). (3) Eropa yang laa diini, sekuler dan mau melepaskan diri dari agama. Kemudian ketika Kristen mengadopsi hermeneutika maka terjadi perpecahan antara yang menganut penafsiran literal dan penganut alegoris/ kiasan.

 

Pihak Kristen Protestan memakai literasi dengan semboyan Sola Scriptura, bahwa Bible itu sendiri telah merupakan petunjuk yang cukup jelas untuk memahami Tuhan. Sedang Katholik Roma melaui Konsili Trent (1545) menolak prinsip Protestan itu dan mendukung teori dua sumber keimanan dan teologi Kristen yakni: Bible dan Tradisi Kristen. Dalam Kristen, kitab sucinya itu sendiri mengalami problem-problem: (1) Problem otentisitas teksnya (2) Problem bahasanya(3) Problem kandungannya. Dengan demikian metodologi ini jelas tidak bisa diterapkan dalam studi Islam atau studi Al Qur’an. (lihat, Hartono Ahmad Jaiz, Ada Pemurtadan di IAIN. 2002. hal 15-16). Tokoh-tokoh pengusung westernisasi yang melahirkan hermeneutik adalah : Rene Descartes (m. 1650), Jonh Locke (m. 1704), George Berkeley (m. 1753), David Hume (m. 1776), Immanuel Kant (m. 1804), George Friedrich Hegel (m. 1831), Ludwig Feurbach (m. 1872), Karl Marx (m. 1887), Charles Robert Darwin (m. 1882), August Comte, Sigmund Freud (m. 1939) dan Friedrich Nietzsche (m. 1900). (lihat, Budi Hadriyanto, Studi Tentang Islamisasi Sains, Teori dan Praktek (thesis) ).

 

Kata hermeneutika, dalam bahasa Indonesianya yang kita kenal, secara etimologi berasal dari istilah Yunani, dari kata kerja hermeneuein, yang berarti “menafsirkan”, dan kata benda hermeneia, “interpretasi”. Hermeneutika dalam sejarahnya dinisbatkan kepada Dewa Yunani Kuno, Hermes, yang bertugas menyampaikan berita dari yang maha Dewa yang ditujukan kepada manusia.Karena pesan-pesan Dewa masih dalam koridor bahasa langit, maka dibutuhkan upaya penerjemahan dan penafsiran ke dalam bahasa bumi yang dipahami oleh manusia. Mengingat profesi utama Hermes adalah memintal maka kata ini dikaitkan dengan padanan yang sama dalam bahasa latin, yaitu tegere. Hasil dari pemintalan dalam bahasa latin ini adalah textus atau teks. Dan teks merupakan isu sentral dalam kajian hermeneutika. Dalam perkembangannya, hermeneutika dipraktekkan dalam lingkup wilayah Yunani dalam rangka menggali makna dan peran teks-teks sastra yang berasal dari masyarakat Yunani Kuno.Sekali pun demikian, kata hermenutika sendiri nanti ditemukan pada karya Plato (429-347 SM) Pollitikos, Efinomis, Definitione dan Timues.

 

Hingga zaman modern, menurut penelusuran Richard E. Palmer, terdapat enam definisi hermeneutika berdasarkan pada perkembangan yang telah dilewatinya.Masing-masing definisi mewakili zaman dan bentuk hermeneutika sebagaimana dipahami oleh para penggiatnya.Keenam definisi tersebut bisa disebut pendekatan Bibel, filologis, saintifik, filsafat, fenomenologi eksistensi dan sistem interpretasi.

 

1.            Hermeneutika : Teori Penafsiran Bibel. Pemahaman paling pertama dan masih tersebar luas tentang hermeneutika adalah masih merujuk kepada prinsip-prinsip interpretasi Bibel.Jika melihat buku-buku yang terbit pada abad ke-17, ditemukan bahwa muatan kata Bibel masih seputar interpretasi kitab suci.Buku yang dianggap muncul terkait dengan hermeneutika dalam pengertian ini adalah buku Dannhauer pada tahun 1654 yang berjudul hermeneutica sacra sive methodus exponemdarum sacrarum litterarum.Setelah terbitanya buku dannhauer ini, istilah tersebut berkembang dengan cepat terutama di wilayah Jerman. Di Inggris dan di Amerika penggunaan kata hermeneutika mengikuti arah kecenderugnan umum dalam menunjuk penafsiran Bibel.Pertama kali kata ini digunakan oleh Oxford English Dictionary pada tahun 1737 dengan makna, “bersikap bebas dengan tulisan suci, sama halnya dengan tidak diperkenankan menggunakan bebrapa metode selain hermeneutika sebagaiamana seharusnya.

 

2.            Hermeneutika :  Metodologi Filologis. Pada abad ke-18 filologi klasik berkembang bersamaan dengan rasionalisme. Keduanya mempuyai pengaruh besar terahadap hermeneutika.Ketika itu muncullah metode kritik historis dalam teologi.Dalam metode ini ditegaskan bahwa interpretasi Bibel dengan menggunakan displin hermeneutika juga bisa dimanfaatkan untuk membaca teks-teks lainnya.Dengan pengembangan ini, metode-metode hermeneutika Bibel secara esensial menjadi sinonim dengan teori interpretasi sekuler seperti filologi klasik.Setidaknya dari pencerahan hingga masa sekarang metode interpretasi Bibel tidak dapat dipisahkan dengan filologi.

 

3.            Hermeneutika:  Ilmu Pemahaman Linguistik. Schleiermacher berusaha memodifikasi ulang hermeneutika hingga menjadi sebuah ilmu atau seni pemahaman.Ia mencurahkan seluruh energi intelektualnya untuk maksud tersebut dan berhasil hingga batas-batas tertentu. Ia berusaha melampaui persfektif hermeneutika yang bersifat teologi filologi dangan berupaya menghadirkan hermeneutika sistematis-koheren. Yaitu sebuah ilmu yang mendiskripsikan kondisi-kondisi pemahaman dalam semua dialog

 

4.            Hermeneutika :  Pondasi Filsafat. Wilhelm Dilthey adalah seorang pemikir filsafat besar pada abad ke-19 di samping sebagai penulis biografi Schleiermacher.Ia memandang hermeneutika sebagai dasar bagi upaya memahami semua ilmu yang mempokuskan diri untuk memahami seni, aksi, dan tulisan manusia. Untuk menafsirkan ekspresi hidup manusia berupa hukum, karya sastra, maupun kitab suci membutuhkan pemahaman historis.Pada bagian awal pemikirannya, Dilthey berusaha mengarahkan kritiknya ke dalam ruang lingkup psikologis.Namun karena psiklogi bukan merupakan disiplin historis, usaha-usahanya terhambat sejak awal.Di dalam hermeneutikalah Dilthey menemukan dasar yang lebih humanis dan historis bagi usahanya untuk memformulasikan metodologi humanistik yang nyata bagi semua upaya pendekatan filosofis

 

5.            Hermeneutika :  Fenomenologi dan Eksistensial. Dalam menghadapai persolan ontologis, Martin Heidegger meminjam metode, Edmund Husserl, dan menggunakan studi fenomenoligi ini pada cara keberadaan sehari-hari manusia di dunia. Hermeneutika dalam konteks ini tidaklah mengacu pada ilmu atau kaedah interpretasi, tetapi pada penjelasan fenomenologisnya tentang keberadaan manusia itu sendiri.Analisis Haidegger mengindikasikan bahwa pemahaman dan interpretasi merupakan model dasar keberadaan manusia

 

6.            Hermeneutika sebagai sistem interpretasi. Paul Ricoeur mendefinisakan hermeneutika yang mengacu kembali kepada penafisran tekstual sebagai elemen penting dalam hermeneutika. Ia mengatakan, “yang kita maksudkan dengan hermeneutika adalah teori tentang kaidah-kaidah yang menata sebuah penafsiran. Dengan kata lain, sebuah interpretasi teks partikular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan sesuatu yang dianggap sebuah teks.

 

 

Para Pemikir Hermeneutika

 

Dalam kajian hermeneutika, terdapat beberapa ahli yang ikut terlibat dan mengembangkan wacana ini secara luas. Tokoh-tokoh dan peranannya dalam hermenutika bisa kita telusuri seperti berikut :

 

1.    Hermeneutika Friedrich Schliermacher ( 1768 – 1834). Dalam kajian hermeneutika yang bersifat filosofis, Friedrich Schliermacher dianggap sebagai bapak hermeneutika modern.Ia dianggap berjasa mengembangkan tradisi hermeneutika dari wilayah teologi menuju wilayah filsafat. Ketika berada di wilayah filsafat inilah, hermeneutika bisa menjangkau seluruh teks dan tidak hanya sebatas teks kitab suci semata yang berlandaskan pada tradisi gereja katolik. Menurut Abu Zaid, pijakan hermeneutika Friedrich Schliermacher adalah bahwa teks merupakan ekspresi perangkat linguistik yang mengembangkan ide pengarang  kepada pembaca. Dalam sisi kebahsaan, ia merujuk kepada lingusitik dengan beragam perangkat-perangkat yang dimulikinya. Sedang dari aspek psikis, ia merujuk ide subyektif pengarang. Hubungan kedua hal tersebut adalah merupakan interaksi dialektis dalam pandangan Friedrich Schliermacher. Untuk dapat menyelami makna teks, seorang hermeneut hendaknya memiliki dua kompetensi, yaitu kompetensi linguistik dan kemampuan dalam mengakses wilayah budaya saat teks tersebut ditulis.Ketika seseorang hanya berangkat dari aspek lingsuistik semata, kejelasan makna suatu bahasa tidaklah bisa dipahami mengingat manusia tidak mengenal bahasa yang tidak tunduk kepada pemaknaan tertentu.Demikian pula jika hanya memandang sisi kebudayaan saja, pemaknaan tidak bisa benar karena kompleksitas sisi budaya yang melingkupi tidak bisa ditangkap secara sempurna.

 

2.    Hermeneutika Wilhem Dilthey (1833 – 1911). Dilthey adalah merupakan pelanjut dari Schliermacher.Keduanya yakin bahwa seorang penafsir bisa memahami teks lebih baik dari penulisnya sendiri.Sekali pun dilthey dipandang terpengaruh dengan Schliermacher, tetapi dilthey tetap memilikii penekanan tersendiri dalam mendekati pemaknaan teks.Jika Schliermacher menegaskan penafsiran secara komprehensif, Dilthey menekankan aspek sejarah. Bagi Dilthey, Schliermacher kurang mempertimbangkan aspek sejarah untuk merokontruksi makna lebih baik dari yang dipahami oleh pengarangnya sendiri.

 

 

3.    Hermeneutika Emilio Betti ( 1890 – 1968 ). Sebagai pelanjut dari pemikir hermeneutika sebelumnya kontribusi Betti bisa terlihat pada upaya menawarkan teori hermeneutika yang komprehensif.Ia juga teoritikus hermeneutika pertama yang mendirikan institusi khusus untuk mengkaji isu-isu penafsiran yang ditemukan dalam berbagai ranah keilmuan. Institut tersebut ia dirikan di Universitas Roma, Italia.

 

4.    Hermeneutika Gadamer ( 1990 – 1998 ).  Hermeneutika Gadamer merupakan suatu kritik terhadap positivisme dengan menekankan pada subyek yang menafsirkan.Dalam mempertanyakan bagaimana memberi makna, Gadamer berkonfrontasi dengan pendahulunya yaitu Scheleirmacher dan Dilthey.Ia mengkritisi pendapat Schleiermacher yang menyatakan bahwa keasingan suatu teks bagi pembaca perlu diatasi dengan mencoba mengerti si pengarang, merekonstruksi zaman si pengarang dan menampilkan kembali keadaan dimana pengarang berada pada saat menulis teksnya. Menurut Gadamer, tujuan dari membaca sebuah teks adalah untuk mempelajari mengenai subyek dalam teks itu sendiri. Dalam pandangan Gadamer, situasi dan kondisi penafsir sekarang merupakan penilaian awal yang tidak bisa dihindar karena merupakan takdir, di mana tidak memiliki pilihan.Penilaian awal adalah hal yang mustahil dipisahakan menurut Gadamer mengingat manusia harus menerimanya sebagai bagian dari perjalanan hidup seseorang. Karenannya, sebagaimana dikutip oleh Malki Ahmad dari Budi Hadirman, hermeneutika Gadamer merupakan hermeneutika ontologis. Yaitu sebuah rasio pemahaman yang tidak bisa diukur oleh ruang, waktu dan tempat karena ia berhubungan dengan historitas yang selalu berubah-ubah. Karena itulah, obyektif adalah hal yang masih absurd dan nihilis. Baginya, tidak ada kebenaran obyektif sebab jika ada ia harus terukur oleh ruang dan waktu.

 

 

Bahaya  Hermeneutika Bagi Akidah Islam

 

Beberapa Perguruan Tinggi Islam kini telah menetapkan hermeneutika sebagai mata kuliah wajib di jurusan Tafsir Hadits.Bahkan menurut sejumlah akademisi di UIN tertentu, hermeneutika sudah menjadi madzhab resmi kampus mereka, karena kuatnya pengaruh petinggi kampus yang mempromosikan paham ini.Para mahasiswa diarahkan menulis skripsi atau tesis dengan menggunakan metode hermeneutika menggantikan ilmu tafsir klasik.

 

Pada 14 November 2006 Litbang Departemen Agama memaparkan hasil penelitiannya tentang paham-paham liberal keagamaan di sejumlah kota besar di Indonesia. Salah satu yang diteliti adalah paham Islam liberal di kota Yogyakarta. Khususnya, di lingkungan UIN Yogyakarta.Hasilnya sungguh mencengangkan.Pada bagian “memaknai teks Al-Qur’an dan Hadits secara liberal dan semangat religio-etik” dipaparkan bagaimana pandangan Islam liberal terhadap Al-Qur’an.

 

“Al-Qur’an bukan lagi dianggap sebagai wahyu suci lagi dari Allah swt kepada Muhammad saw melainkan merupakan produk budaya (muntaj tsaqafi) sebagaimana yang digulirkan oleh Nasr Hamid Abu Zaid. Metode yang digunakan adalah hermeneutika, karena metode tafsir konvensional sudah dianggap tidak relevan lagi dengan zaman.Amin Abdullah mengatakan bahwa sebagian tafsir dan ilmu penafsiran yang diwarisi umat Islam selama ini telah melanggengkan status quo dan kemerosotan umat Islam secara moral, politik dan budaya.

 

Penetapan hermeneutika sebagai matakuliah wajib di jurusan tafsir hadits itu sebenarnya masalah yang sangat serius dalam pemikiran dan studi Islam di Indonesia. Sebab ini sudah menyangkut cara menafsirkan Al-Qur’an. Meskipun teks Al-Qur’an tidah diubah, tetapi jika penafsirannya telah diubah, maka produk tafsirnya akan berbeda. Dengan hermeneutika maka hukum-hukum yang selama ini disepakati umat Islam bias berubah.Dengan hermeneutika, bisa keluar produk hokum yang menyatakan wanita boleh menikah dengan lelaki kafir, khamr menjadi halal, lelaki mempunyai masa iddah seperti kaum wanita atau wanita mempunyai hak talak seperti laki-laki, perkawinan homoseksual atau lesbian menjadi halal.Semua perubahan itu bisa dilakukan dengan mengatasnamakan “tafsir kontekstual” yang dianggap sejalan dengan perkembangan zaman.

 

Dengan menggunakan teori “hermeneutika tauhid,” Prof. Amina Wadud telah memimpin shalat Jum’at di sebuah katedral di AS, dengan barisan makmum laki-laki dan wanita yang bercampur baur. Si muazin pun seorang wanita tanpa mengenakan jilbab saat melaksanakan shalat. Dengan hermeneutika pula, Nasr Hamid Abu Zaid menyatakan bahwa jin dan setan sebenarnya adalah mitos, dan poligami hukumnya haram.

 

Maka, penggunaan hermeneutika untuk menafsirkan Al-Qur’an, adalah satu cara yang sangat strategis, sistematis dan mendasar dalam meliberalkan Islam. Musdah Mulia dalam buku Fiqih Lintas Agama terbitan Paramadina juga telah menghalalkan perkawinan muslimah dengan lelaki non-muslim, dengan menggunakan pendekatan baru, bernama “tafsir kontekstual.” Sebagian dosen UIN Jakarta bahkan sudah melangkah lebih jauh dengan menjadi penghulu swasta dalam perkawinan antaragama. Jika perubahan metodologis dalam penafsiran Al-Qur’an dibakukan dan diresmikan ke dalam kurikulum perguruan tinggi Islam, maka dampaknya jauh akan lebih dahsyat daripada penyebaran pemikiran ini melalui media massa secara asongan. Dari berbagai fenomena realita di atas, terbukti bahwa hermeneutika sangat berpengaruh buruk bagi akidah umat Islam.Sebab hermeneutika, yang halal jadi haram, yang haram jadi halal, Al-Qur’an diyakini sebagai produk budaya bukan lagi kalam Ilahi. Hal ini sangatlah bertentangan dengan akidah umat Islam itu sendiri.

 

Umat Islam sudah punya ilmu tafsir sebagai salah satu khazanah klasik umat Islam yang sangat berharga, sebagaimana halnya dengan ilmu hadits, ilmu ushul fiqih, ilmu fiqih, ilmu nahwu, ilmu sharaf dan sebagainya. Ilmu-ilmu dalam Islam itu lahir dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebab Islam memang sebuah agama wahyu yang mendasarkan ajaran-ajarannya pada wahyu, dan bukan pada spekulasi akal dan evolusi sejarah, seperti dalam tradisi peradaban barat. Ilmu-ilmu social di barat lahir dari tradisi dan latar belakang berbeda dengan lahirnya ilmu-ilmu keislaman. Islam memiliki teks wahyu yang final dan otentik (Al-Qur’an) dan tidak memiliki trauma sejarah keagamaan, sehingga Islam tidak mengalami benturan antara akal dan agama sebagaimana terjadi di barat. Islam juga memiliki cara yang khas dalam menafsirkan Al-Qur’an berbeda dari cara penafsiran bible maupun kitab manapun. Cara menafsirkan Al-Qur’an jelas berbeda dengan cara menafsirkan UUD Arab Saudi, meskipun sama-sama berbahasa Arab. Sebab, Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang lafadz dan maknanya berasal dari Allah swt.

 

Dalam hal inilah manajemen dakwah dibutuhkan untuk mengcounter metode hermeneutika ini dengan kembali kepada metode penafsiran yang telah disepakati oleh para ulama pendahulu. Sebab mereka adalah para pewaris nabi dan sebaik-baik umat sebagaimana yang Rasulullah saw pernah sabdakan.

 

(AhmadSastra,KotaHujan,16/01/21 : 10.02 WIB)

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus

Categories