KETIKA RAKYAT TAK LAGI PERCAYA KEPADA PENGUASA - Ahmad Sastra.com

Breaking

Minggu, 06 Februari 2022

KETIKA RAKYAT TAK LAGI PERCAYA KEPADA PENGUASA



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Ketika rakyat tak lagi percaya kepada penguasa, maka jelas yang salah adalah penguasa. Kenapa ? sebab penguasa adalah pengemban amanah dari rakyat. Penguasa itu kan dipilih oleh rakyat untuk mengurusi urusan rakyat. Bagaimana jika penguasa justru tidak mengurus rakyatnya, bagaimana pula jika penguasa justru memusuhi rakyatnya sendiri yang telah memilih mereka ? Bagaimana pula jika para penguasa kaya raya, sementara rakyat miskin dan sengsara ?.

 

Ketika rakyat tak lagi percaya kepada penguasa, maka penguasalah yang salah. Bisa jadi penguasa itu telah berkhianat kepada rakyatnya sendiri. Pengkhianatan penguasa bisa karena mengambil kebijakan yang justru menyengsarakan rakyat. Bisa jadi penguasa itu tidak lagi mewujudkan keadilan di tengah-tengah masyarakat. Bisa jadi penguasa itu menetapkan UU demi segelintir orang, sementara rakyat jelata justru terpinggirkan.

 

Kekuasaan demokrasi bertentangan secara diametral dengan kekuasaan Islam. Islam dan demokrasi itu berbeda secara fundamental, sehingga haram hukumnya. Keduanya adalah ideologi yang memiliki perbedaan yang esensial. Pertama dari sisi konsep tuhan, maka Islam bertuhan Allah, sementara demokrasi bertuhan tidak jelas. Kedua, Islam punya panutan utama yakni Muhammad Rasulullah, sementara demokrasi tokoh panutannya adalah Cleisthenes. Dia dan warga Athena mendirikan negara yang umum dianggap sebagai negara demokrasi pertama pada tahun 507-508 SM. Cleisthenes disebut sebagai bapak demokrasi Athena.

 

Ketiga Islam punya kitab panduan yakni Al Qur’an dan Al hadits, sementara demokrasi adalah buku filsafat Barat. Keempat, dalam Islam tujuan hidup manusia adalah bahagia dunia akhirat, sementara demokrasi bersifat sekuleristik yang hanya berorientasi kepada duniawi. Kelima, Islam memiliki kiblat yakni mekkah, sementara kiblat demokrasi adalah amerika. Keenam, jelas bahwa Islam adalah agama yang datang dari Allah, sementara demokrasi datang dari manusia. Keenam, dasar timbangan  perbuatan dalam Islam adalah halal dan haram, sementara demokrasi menimbangnya dnegan kemanfaatan materialisme. Indikator diatas menegaskan bahwa secara esensial, demokrasi bertentangan dengan Islam.

 

Dari sisi karakteristik kekuasaan, antara Islam dan demokrasi, secara normatif dan empiris juga terdapat perbedaan yang sangat esensial. Jika Islam punya karakter kepemimpinan sidik, amanah, tabligh dan fathonah. Sementara demokrasi telah terbukti membawa kepemimpinan kepada pemimpin yang selalu berbohong dan menipu rakyat, tidak amanah alias berkhianat, menyembunyikan kebenaran agama dan tentu saja sering memperlihatkan berbagai bentuk kebodohan (jahiliah).

 

Wajar jika dengan demokrasi, rakyat justru semakin tidak percaya kepada penguasanya sendiri. Ekonomi demokrasi pada faktanya justru hanya menguntungkan oligarki yang selama ini telah mendanai para pejabat agar terpilih sebagai pemimpin. Berbagai kebijakan ekonomi justru dikendalikan oleh oligarki yang rakus harta. Kepemimpinan demokrasi tidak lebih dari budak-budak oligarki. Sementara rakyat akan terus mengalami kesengsaraan dan kemiskinan.

 

Perhatikan firman Allah : Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, Maka sudah sepantasnya Berlaku terhadapnya Perkataan (ketentuan kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (QS Al Isra’ : 16).

 

Di bidang politik, demokrasi justru mengembangkan prinsip macevalisme yang berwatak permisivisme dimana kebebasan berkuasa ditempuh dengan menghalalkan segala cara. Tidak heran jika politik demokrasi isinya hanyalah praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Pertengkaran para elit hanya bertujuan berebut kekuasaan demi menumpuk harta, tak ada di pikiran mereka soal kesejahteraan rakyat, sebab yang ada hanyalah kepentingan pribadi dan golongan. Secara normatif, tidak mungkin demokrasi akan melahirkan pemimpin yang baik.

 

Di bidang kehidupan sosial budaya, demokrasi menggunakan prinsip kebebasan berekspresi dengan bingkai HAM. Maka, tak mengherankan jika di Barat berlangsung kehidupan yang bebas tanpa etika. Jangan heran jika ada negara demokrasi justru mengesahkan UU tentang legalitas homoseksual dan lesbianisme (LGBT), legalisasi miras dan perjudian, legalitas seks bebas, legalitas pornografi dan pornoaksi, legalitas kebebasan beragama. Kesemuanya ini tentu saja akan melahirkan sebuah peradaban rusak dan merusak.

 

Kekuasaan demokrasi bukanlah kekuasaan Islam, maka tidak berlaku amar ma’ruf nahi munkar. Demokrasi justru sebaliknya, amar munkar nahi ma’ruf. Terbukti dengan upaya demokrasi mengkriminalisasi Islam dan ajarannya. Berbagai tuduhan demokrasi atas Islam sebagai radikalisme dan terorisme adalah bukti nyata bahwa demokrasi anti Islam. Narasi terorisme dan radikalisme sesungguhnya serangan kepada Islam oleh Barat atas nama demokratisasi. Sayangnya umat Islam banyak yang buta dan tuli, sebab banyak yang telah jadi budak.

 

Oleh barat, muslim yang tidak mau berkompromi kepada kekufuran dituduh sebagai islamis. Al Qur’an sendiri tidak mengenal kata islamis dan islamisme sebagaimana barat pahami selama ini. Kata Islamis dan islamisme ala barat adalah sebuah sesat pikir (logical fallacy). Jika karakter islamis adalah a political ideology based on a reinvented version of Islamic law, maka bisa jadi orang Barat akan mengatakan bahwa Muhammad Rasulullah adalah seorang islamis. Apalagi jika orang Barat melihat bagaimana Rasulullah mendirikan Negara Madinah dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah.

 

Dalam politik Islam, pada dasarnya, mengajak kepada kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran adalah aktifitas yang harus dilaksanakan oleh setiap Muslim sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi dalam haditsnya “ barang siapa diantara kalian yang melihat kemungkaran maka hendaknya dia mengubah dengan tangannya, jika tidak sanggup maka hendaklah dengan lisannya, jika tidak sanggup maka hendaklah melalui penolakan hatinya” (HR Muslim).

 

Hadits diatas menjelaskan tiga cara dalam mengubah sebuah kemungkaran yang terjadi atau sebaliknya mengajak kepada kebaikan. Cara yang paling efektif adalah yang pertama yakni dengan dengan tangan atau berkontribusi secara langsung dengan tindakan. Dalam skala yang lebih kecil, tindakan orang perorangan atau kelompok sudah cukup untuk mengubah keburukan tersebut atau dalam melakukan kebaikan. Tapi untuk skala besar dan meluas perlu tangan kekuasaan yang bisa melaksanakan hal tersebut.

 

Dalam bidang hukum, demokrasi tidak pernah menghadirkan keadilan. Sebab hukumpun dikendalikan oleh kekuatan oligarki, diaman hukum disusun berdasarkan kepentingan mereka sendiri. Hukum bisa seenaknya mereka buat. Jika mereka melanggar, maka hukum bisa disiasati dan dicarikan dalihnya hingga mereka bebas dari jerat hukum. Namun jika pelanggaran terjadi di kalangan rakyat jelata atau yang tak pro penguasa, maka hukum dijalankan dengan tegas dan kadang melampau batas. Hukum demokrasi itu tidak adil, sebab tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Padahal hal inilah awal dari kahancuran sebuah negara.

 

Islam adalah agama yang mempelopori bahwa semua sama kedudukannya di depan hukum. Al kisah, ada seorang wanita yang telah mencuri. Dia berasal dari keluarga  terhormat dan disegani dari Bani Makhzum. Karena perbuatannya, ia pun harus dihukum sesuai dengan aturan yang diterapkan saat itu, yaitu dengan dipotong tangannya. Namun, kaum dan keluarga wanita itu merasa keberatan. Karena itu, mereka melakukan berbagai upaya untuk memaafkan wanita itu dan membatalkan hukuman potong tangan.

 

Akhirnya, mereka menemui Usamah bin Zain, seorang sahabat yang dekat dan dicintai Rasulullah. Mereka memohon kepada Usamah untuk menghadap Rasulullah dan menyampaikan maksud mereka. Setelah itu, Usamah kemudian beranjak pergi menemui Rasulullah dan menyampaikan keinginan keluarga wanita yang melakukan pencurian itu. Setelah mendengarakan permintaan itu, Rasulullah pun terlihat marah, lalu berkata, “Apakah kau meminta keringanan atas hukum yang ditetapkan Allah?”

 

Kemudian, beliau berdiri dan berkhutbah di hadapan kaum muslimin hingga sampai pada sabdanya :“Sesungguhnya yang telah membinasakan umat sebelum kalian adalah jika ada orang terhormat dan mulia di antara mereka mencuri, mereka tidak menghukumnya. Sebaliknya jika orang rendahan yang mencuri, mereka tegakkan hukuman terhadapnya. Demi Allah, bahkan seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya!”.

 

Oleh karena itu sampai kapanpun, demokrasi tidak akan melahirkan kebaikan dan kemuliaan bagi rakyatnya sendiri. Sebab demokrasi itu dikendalikan oleh oligarki yang rakus harta yang tak mengenal halal dan haram. Para pemimpin demokrasi sejatinya hanya boneka dan jongos oligarki, sebab biaya politik demokrasi itu mahal. Undang-undang yang lahir dari demorkasi hanyalah untuk melayani tuan-tuannya, bukan untuk rakyat. Demokrasi hanya menjadikan rakyat sebagai tumbal politik, tidak lebih dari itu. Pemilu hanyalah ajang untuk tipu menipu rakyat dengan dibungkus oleh bahasa-bahasa indah. Ketika rakyat tak lagi percaya kepada penguasa adalah gambaran relasi antara rakyat dan kekuasaan demokrasi. Tentu saja tidak dengan sistem Islam.

 

(AhmadSastra,KotaHujan,06/02/22 : 09.22 WIB)

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

1 komentar:

  1. sebenarnya bukannya tidak percaya namun semua ucapan penguasa memang harus di buktikan, soalnya banyak sekali contoh yang yang janji ini itu namun nyatanya setelah ia terpilih janji tersebut tinggalah janji semata

    BalasHapus

Categories