DI NEGERI YANG SAKIT, PEMIMPIN PEMBOHONG DIPUJA SETINGGI LANGIT



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Untuk memahami mengapa banyak orang pada zaman dahulu mendukung Fir’aun (raja Mesir Kuno) yang jelas-jelas jahat dan pembohong, maka perlu melihat konteks sosial, politik, dan keagamaan Mesir kuno. Fir’aun dianggap sebagai penguasa absolut—baik secara politik maupun spiritual.

 

Ia memiliki kuasa penuh atas hidup dan mati rakyatnya. Pemerintahan bersifat otoriter, dan siapa pun yang menentang bisa dihukum berat, bahkan dibunuh. Dalam situasi seperti ini, banyak orang mendukung atau setidaknya berpura-pura mendukung karena takut.

 

Di Mesir kuno, Fir’aun dianggap sebagai inkarnasi dewa (biasanya Dewa Horus atau anak Dewa Ra). Rakyat meyakini bahwa ketaatan pada Fir’aun adalah bagian dari ibadah. Ini membuat banyak orang mendukungnya bukan hanya karena takut, tetapi juga karena keyakinan religius.

 

Masyarakat Mesir kuno terbagi dalam kelas-kelas sosial yang sangat ketat. Para pejabat, imam, tentara, dan bangsawan diuntungkan oleh sistem ini. Mereka punya alasan untuk mendukung Fir’aun karena status dan kekayaan mereka tergantung pada stabilitas kekuasaannya.

 

Sejak kecil, rakyat Mesir dididik untuk menghormati Fir’aun. Kuil, tulisan hieroglif, dan monumen (seperti piramida) digunakan untuk memuliakan Fir’aun dan menunjukkan bahwa ia adalah penguasa yang bijaksana dan diberkahi dewa. Ini memperkuat citra Fir’aun sebagai pemimpin suci dan tak tergantikan.

 

Rakyat biasa pada umumnya tidak punya akses ke informasi atau pandangan alternatif. Mereka hanya tahu apa yang disampaikan oleh negara dan para imam. Dalam kondisi seperti ini, tidak aneh kalau banyak yang mendukung penguasa, bahkan jika pemerintahan itu menindas.

 

Beberapa Fir’aun (seperti Ramses II) membawa masa-masa kemakmuran, stabilitas, dan pembangunan besar. Dalam masa seperti itu, dukungan terhadap Fir’aun meningkat karena rakyat merasakan manfaat langsung dari pemerintahannya.

 

Banyak orang mendukung Fir’aun bukan semata karena mereka setuju, tetapi karena kombinasi antara ketakutan, doktrin keagamaan, sistem sosial yang menguntungkan sebagian orang, propaganda, dan kadang-kadang karena kondisi hidup yang stabil di bawah pemerintahannya.

 

Jika ada rakyat memuja pemimpin pembohong, maka jawabannya kompleks karena melibatkan psikologi massa, sistem politik, media, serta faktor ekonomi dan budaya. Pemimpin yang pandai berbicara, karismatik, dan mampu menyentuh emosi rakyat sering kali bisa "menghipnotis" pendengarnya. Bahkan ketika mereka berbohong, banyak yang tetap percaya karena merasakan kedekatan emosional atau harapan akan perubahan.

 

Setelah mendukung seorang pemimpin, banyak orang merasa sulit mengakui bahwa mereka salah. Maka, mereka lebih memilih membenarkan kebohongan itu (“semua pemimpin juga berbohong”) daripada merasa tertipu. Ini dikenal sebagai cognitive dissonance dalam psikologi.

 

Di banyak negara, politik sudah sangat terpolarisasi. Pendukung fanatik akan membela pemimpin mereka apapun yang terjadi, karena menganggap lawan politik adalah "musuh bersama". Kebohongan dianggap sebagai bagian dari "perjuangan" melawan pihak lain.

 

Di negara-negara tertentu, pemimpin bisa mengontrol media atau memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan propaganda, informasi palsu, atau menciptakan narasi tandingan. Ini membuat banyak orang tidak bisa membedakan mana fakta dan mana kebohongan.

 

Jika pemimpin tersebut memberi bantuan langsung, lapangan kerja, atau subsidi, sebagian rakyat akan merasa berterima kasih dan loyal, meskipun tahu sang pemimpin tidak jujur. Dalam keadaan sulit, kebutuhan ekonomi bisa mengalahkan idealisme moral.

 

Banyak orang tidak memiliki akses informasi yang baik atau tidak diajarkan berpikir kritis. Mereka mudah percaya pada janji-janji atau narasi populis yang sederhana. Di sinilah pentingnya pendidikan politik dan literasi media.

 

Kadang-kadang rakyat tahu pemimpinnya berbohong, tetapi tetap memilihnya karena lawan politik dianggap lebih buruk, korup, atau tidak mampu. Ini bukan dukungan mutlak, tapi lebih ke pilihan "yang paling sedikit mudaratnya".

 

Dukungan terhadap pemimpin pembohong bukan semata-mata karena kebodohan, tapi hasil dari kombinasi banyak faktor: psikologis, ekonomi, media, dan politik. Untuk mengatasinya, butuh pendidikan, media yang independen, serta kesadaran kolektif akan pentingnya integritas dalam kepemimpinan.

 

Kepemimpinan pembohong dan pemujaan rakyat atasnya menunjukkan bahwa negeri itu sedang sakit. Negeri sakit biasanya ditandai dengan tindak korupsi merajalela. Korupsi sistemik di level pemerintah, hukum, dan swasta. Pemimpin yang bohong seringkali menutupi korupsi sendiri atau lingkarannya. Akibatnya hilangnya kepercayaan publik dan stagnasi pembangunan.

 

Di negeri yang sakit, kebebasan pers dan informasi ditekan. Media dikendalikan atau dibungkam. Narasi dibentuk berdasarkan kepentingan elite, bukan fakta. Pemimpin pembohong butuh ini untuk menjaga citranya. Akibatnya rakyat sulit membedakan fakta dan propaganda.

 

Di negeri yang sakit, hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas. Penegakan hukum tidak adil, oposisi ditindak, pendukung dibiarkan. Pemimpin yang berbohong cenderung mengatur hukum untuk kepentingan pribadi. Akibatnya masyarakat kehilangan rasa keadilan dan ketertiban.

 

Di negeri yang sakit, ekonomi tidak merata dan rakyat makin susah. Jurang kaya-miskin makin lebar, subsidi untuk rakyat kecil dikurangi. Oligarki penjajah jadi raja, sementara rakyat jadi budaknya. Pembohong biasanya menyembunyikan angka atau melebih-lebihkan keberhasilan ekonomi. Akibatnya frustrasi sosial dan konflik kelas.

 

Di negeri yang sakit, polarisasi dan permusuhan antarwarga. Rakyat dibelah jadi kubu “pro” dan “anti”, bahkan hingga antaragama, antaretnis, atau antardaerah. Pemimpin pembohong memanfaatkan ini untuk mengalihkan isu utama. Akibatnya kehilangan rasa kebersamaan dan kohesi sosial.

 

Di negeri yang sakit, institusi lemah, tergantung figure. Negara hanya “hidup” karena satu tokoh, bukan sistem yang kuat. Pemimpin pembohong sering membangun kultus individu untuk menghindari akuntabilitas. Akibatnya negara mudah goyah saat tokoh tersebut jatuh.

 

Di negeri yang sakit, ketidakpercayaan publik tumbuh subur. Masyarakat apatis, tidak percaya pada pemilu, partai politik, atau parlemen. Pemimpin pembohong membuat janji manis yang tidak ditepati, sehingga kepercayaan publik makin hancur. Akibatnya lemahnya partisipasi dalam pemilihan pemimpin. Rakyat makin hari makin muak.

 

Apakah Indonesia negeri yang sakit ?. Iya jelas sakit, sakit parah malah.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 20/05/25 : 18.44 WIB) 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.