Oleh : Ahmad Sastra
Ungkapan “membangun kekuasaan di atas
kebohongan" mengandung makna yang sangat kuat secara etis, politis, dan
filosofis. Ini merujuk pada situasi di mana seseorang atau sekelompok orang
memperoleh dan mempertahankan kekuasaan dengan cara yang tidak etis.
Cara tidak etis untuk memperoleh dan
mempertahankan kekuasaan misalnya dengan menyebarkan informasi palsu
(disinformasi atau propaganda), memutarbalikkan fakta, menutupi kebenaran demi
keuntungan pribadi atau kelompok dan menciptakan narasi palsu untuk mendapatkan
dukungan rakyat.
Implikasi dari membangun kekuasaan di atas
kebohongan bisa menjadikan poliitk dan kekuasaan tidak stabil. Kekuasaan yang
dibangun di atas kebohongan cenderung rapuh. Saat kebenaran mulai terungkap,
kepercayaan publik bisa runtuh, dan legitimasi pemimpin bisa hilang tak
bersisa. Sejarah bangsa itu akan mencatat kebohongan pemimpin untuk selamanya
yang akan diceritakan ke anak cucu tanpa batas waktu.
Kebohongan para pemimpin dalam meraih
kekuasaan dan mempertahankannya akan merusak institusi dan nilai etika
bernegara. Jika kebohongan menjadi alat utama dalam berkuasa, maka
lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi penjaga keadilan dan kebenaran akan
ikut tercemar. Lebih dari itu, jika pemimpinnya pembohong, maka rakyatnya akan
berbuat lebih dari itu, karena seolah mendapatkan legitimasi dari pemimpinnya.
Kebohongan para pemimpin dalam meraih
kekuasaan dan mempertahankannya akan menjadikan rakyat hidup dalam kebingungan,
kehilangan kepercayaan pada informasi, dan sulit membuat keputusan rasional
jika terus-menerus disuguhi kebohongan. Jika pemimpin memberi contoh bahwa
kebohongan bisa diterima demi kekuasaan, maka nilai-nilai moral di masyarakat
bisa ikut terkikis tak tersisa.
George Orwell dalam bukunya "Political
language is designed to make lies sound truthful and murder respectable
menyoroti masalah etika berpolitik ini. Dalam esai tersebut, Orwell menyoroti
bahwa bahasa yang buruk dan manipulatif bukan hanya akibat dari politik yang
busuk, tapi juga memperparahnya. Ia memperingatkan bahwa jika dibiarkan, bahasa
seperti ini bisa merusak kemampuan berpikir kritis masyarakat.
Kutipan ini merupakan kritik tajam
terhadap bahasa politik dan bagaimana ia digunakan oleh penguasa atau elite
politik untuk membungkus kebohongan dengan bahasa yang indah. Politik sering
menggunakan istilah-istilah samar, eufemisme, atau bahasa teknis agar tindakan
yang sebenarnya salah atau kejam terdengar sah dan masuk akal.
George Orwell juga menyoroti bahasa politik
sering untuk membuat kejahatan terdengar
terhormat. Dengan bahasa yang disusun hati-hati, tindakan kejam seperti perang,
penyiksaan, atau pembunuhan politik bisa dipresentasikan seolah-olah itu demi
kebaikan bersama atau demi stabilitas negara. Bahasa politik bisa digunakan
untuk mengaburkan kebenaran dan menciptakan realitas semu. Hal ini membuat
rakyat sulit membedakan antara fakta dan propaganda.
Kekuasaan yang dibangun di atas kebohongan
lebih mendekati praktek politik gaya machiavelis. Politik gaya machiavellistik
mengacu pada pendekatan kekuasaan yang berlandaskan prinsip-prinsip dari karya
Niccolò Machiavelli, terutama dalam bukunya Il Principe (The Prince). Meski
pemikiran Machiavelli bersifat realistis, bahkan brutal, banyak yang menafsirkan
pendekatannya sebagai menghalalkan segala cara untuk mencapai dan
mempertahankan kekuasaan, termasuk manipulasi, tipu daya, kebohongan dan
kekerasan.
Hal paling prinsip dalam politik gaya
Machiavellistik mengorbankan etika dan moral. Prinsip “tujuan menghalalkan
cara” bisa membenarkan kebohongan, pengkhianatan, bahkan kekerasan. Ini
mendorong budaya politik tanpa hati nurani. Pemimpin yang berbohong demi
menjaga citra atau menyingkirkan lawan politik tanpa memedulikan kebenaran atau
keadilan menjadi ciri khas politik machiavelistik.
Kekuasaan yang dibangun di atas kebohongan
gaya machiavelis pada akhirnya akan mengakibatkan erosi kepercayaan publik. Ketika
rakyat menyadari bahwa politik hanya permainan kuasa dan manipulasi, mereka
kehilangan kepercayaan pada sistem. Hal ini akan mengakibatkan munculnya apatisme
politik meningkat, partisipasi publik menurun, dan sistem politik negara itu
melemah dan lumpuh.
Kekuasaan yang dibangun di atas kebohongan
gaya machiavelis juga mungkin akan mengakibatkan stabilitas jangka pendek, tapi
mewariskan kekacauan jangka panjang. Politik Machiavellistik bisa efektif untuk
waktu singkat. Tapi karena dibangun di atas ketakutan dan tipu daya, ia tidak
mampu membangun tatanan sosial yang adil dan berkelanjutan. Contohnya pada rezim
otoriter yang terlihat stabil tetapi runtuh dalam kekacauan saat pemimpin
jatuh.
Jika politik seperti ini dibiarkan,
masyarakat bisa mulai menganggap tirani sebagai hal biasa. Ini menciptakan
ruang bagi pemimpin diktator yang memusatkan kekuasaan dan menindas oposisi. Politik
penuh intrik dan adu domba akan menciptakan polarisasi ekstrem, memecah
masyarakat menjadi kubu-kubu yang saling mencurigai dan membenci. Gaya politik
machiavelistik yang penuh dengan tipu daya dan kebohongan benar-benar akan
membahayakan suatu bangsa dalam jangka panjang.
Niccolò Machiavelli adalah figur penting
dalam sejarah pemikiran politik Barat. Karyanya Il Principe (1513) dikenal
karena pendekatannya yang realistik dan bahkan sinis terhadap kekuasaan. Ia
menegaskan bahwa seorang pemimpin harus siap melakukan tindakan tidak bermoral
jika hal itu diperlukan untuk mempertahankan kekuasaan dan kestabilan negara.
Dalam konteks modern, pendekatan ini
melahirkan istilah “politik Machiavellistik”, yang mengandung konotasi negative
yakni kekuasaan yang dibangun melalui manipulasi, kebohongan, dan ancaman atau
kriminalisasi.
Kritik akademik dilakukan oleh banyak
ilmuwan politik dan filsuf terhadap pendekatan machiavellistik ini dengan
argumentasi (1) Tidak memadai dalam menjelaskan kompleksitas moral masyarakat
modern (2) Merusak jangka panjang karena mengandalkan rasa takut dan represi
(3) Mengabaikan potensi kepemimpinan etis sebagai sumber kekuatan politik. Tokoh
seperti Hannah Arendt menekankan bahwa kekuasaan sejati bersumber dari
konsensus, bukan dari dominasi.
Dalam "Republik", Plato membahas
"noble lie" (kebohongan mulia), tapi ini justru mengundang kritik
bahwa kebenaran harus menjadi dasar keadilan. Konsep ini telah menjadi salah
satu bagian paling kontroversial dari filsafat politiknya.
Apa Itu "Noble Lie" Menurut
Plato?. Dalam Republik, Plato, melalui tokoh Socrates mengusulkan bahwa
penguasa ideal (para filsuf-raja) dapat menyebarkan kebohongan terencana dan
disengaja kepada rakyat demi menjaga stabilitas sosial dan ketertiban politik.
Contoh Noble Lie dalam Republik adalah
penegasan Plato yang menggambarkan sebuah mitos tentang asal-usul manusia, yang
menyatakan bahwa: (1) Semua manusia sebenarnya dilahirkan dari bumi yang sama
(agar merasa bersaudara). Tuhan mencampurkan emas, perak, dan besi ke dalam
jiwa mereka. Artinya Emas merepresentasikan para penguasa/filosof. Perak
mewakili para prajurit/pembela. Sementara Besi dan tembaga mewakili para
pekerja/pedagang. Mitos ini dimaksudkan untuk melegitimasi stratifikasi sosial
dan meyakinkan orang bahwa tempat mereka dalam masyarakat adalah kehendak ilahi
dan alami.
Mengapa disebut "kebohongan mulia"?
sebagaimana aliran machiavelistik, pertama, karena tidak benar secara factual. Kedua,
tetapi dianggap berguna secara sosial ketiga, tujuannya untuk membentuk
keteraturan, kesetiaan, dan stabilitas masyarakat. Apakah Machiavelli terinspirasi
dari Plato ?.
Banyak filsuf setelah Plato, seperti
Immanuel Kant, menentang segala bentuk kebohongan, bahkan demi kebaikan. Kebenaran
dipandang sebagai fondasi utama dari keadilan dan moralitas. Sebab, kebohongan kekuasaan bisa memberi
justifikasi bagi elite untuk memanipulasi rakyat serta membuka peluang
penyalahgunaan kekuasaan oleh mereka yang merasa diri “paling tahu”.
Jika masyarakat dibangun di atas
kebohongan, apakah keadilannya benar-benar adil? Muncul pertanyaan etis, apakah
tatanan sosial yang tertib tapi dibangun dengan manipulasi lebih baik dari
tatanan yang jujur tapi kacau? Ini Pertanyaan paradoks dan logical fallacy.
Plato menganggap noble lie sebagai alat
moral demi tujuan kolektif. Namun, banyak filsuf dan pemikir modern berpendapat
bahwa kebenaran seharusnya menjadi dasar utama dari keadilan suatu bangsa.
Ketika kebohongan, betapapun mulianya, menjadi fondasi tatanan sosial, maka
masyarakat berisiko kehilangan otentisitas, kepercayaan, dan kemualiaan.
Berbeda dengan aliran noble lie nya Plato
dan Nir-etiknya Machiavelli, etika politik dalam Islam adalah cabang pemikiran
yang mengatur bagaimana kekuasaan seharusnya dijalankan berdasarkan
prinsip-prinsip akhlak, kejujuran, kebenaran, amanah, keadilan, dan tanggung
jawab ilahiah. Tidak seperti politik Machiavellistik yang pragmatis dan
menghalalkan segala cara, politik dalam Islam menekankan moralitas sebagai inti
dari kepemimpinan.
Dalam pandangan Islam, kekuasaan bukanlah
hak pribadi, melainkan amanah (titipan) dari Allah yang harus
dipertanggungjawabkan. Hal ini sebagaimana Allah tegaskan dalam firmanNya : “Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya...” (QS.
An-Nisa: 58).
Tujuan politik dalam Islam adalah mewujudkan
keadilan dan maslahat sejalan dengan amanah Allah SAW, sebab manusia berfungsi
sebagai khalifah di muka bumi. Politik dalam Islam bertujuan untuk menegakkan
keadilan (al-‘adl) dan membawa kemaslahatan (maslahah) bagi umat manusia, bukan
semata-mata untuk mempertahankan kekuasaan. Dengan menerapkan maqhosid syariah,
maka kehidupan Islam akan terwujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik
Islam melahirkan negara yang berperadaban Islam, karena semua kebijakan politiknya
didasarkan pada hukum syariah.
Prinsip-prinsip etika politik Islam
diantaranya adalah keadilan (‘Adl). Hakikat keadilan adalah pelaksanaan
hukum-hukum Allah, Tuhan Yang Maha Adil. Ukuran keadilan adalah hukum Islam,
bukan consensus sosial. Pemimpin harus berlaku adil kepada semua rakyat,
termasuk kepada lawan politik dan non-Muslim sekalipun. Allah menegaskan : "Wahai
orang-orang yang beriman, jadilah kalian penegak keadilan..." (QS.
Al-Ma’idah: 8).
Prinsip etika politik Islam lainnya adalah
shura (musyawarah). Islam mendorong pengambilan keputusan yang partisipatif
melalui syura, bukan otoritarianisme. Ada banyak masalah teknis yang bisa
dimusyawarahkan dalam Islam, utamanya bagaimana strategi pelaksanaanya. Musyawarah
dalam Islam bukan bertujuan untuk mengganti hukum Allah dengan hukum manusia. Allah menegaskan dalam firmanNya : "...dan
urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka..." (QS.
Ash-Shura: 38)
Etika politik Islam juga sangat menekankan
kejujuran dan transparansi (Shidq dan Amanah). Pemimpin harus jujur, bisa
dipercaya, dan tidak memanipulasi fakta atau menyebarkan kebohongan. Rasulullah pernah bersabda : “Tidaklah seorang
pemimpin yang menipu rakyatnya, kecuali Allah akan haramkan surga atasnya.” (HR.
Ahmad dan Bukhari)
Karena kekuasaan adalah amanah yang sangat
sangat berat, maka etika politik Islam melarang kegilaan pada kekuasaan hingga
melahirkan kerakusan dan ketamakan. Islam
melarang seseorang yang tamak terhadap kekuasaan dan mencarinya untuk ambisi
pribadi.
Dalam hal ini, Rasulullah pernah bersabda
: “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta jabatan. Karena jika
engkau diberi tanpa memintanya, engkau akan ditolong. Tapi jika engkau diberi
karena memintanya, engkau akan dibiarkan.” (HR. Bukhari-Muslim)
Etika terhadap oposisi dan perbedaan
pendapat juga menjadi ciri khas sistem politik Islam. Islam mengajarkan adab
dalam berbeda, termasuk dalam urusan politik. Oposisi tidak boleh diberangus
secara zalim, dan kritik konstruktif harus diterima dengan lapang dada. Meski dalam
institusi negara Islam (khilafah), negara juga sangat menjaga aqidah umat, namun
tidak anti perbedaan.
Nabi Muhammad SAW sebagai kepala negara
Madinah adalah model utama etika politik Islam. Beliau memimpin dengan kasih
sayang, bukan kekerasan. Rasulullah menerapkan hukum Islam dengan adil, tanpa
pandang bulu. Rasulullah selalu menghindari korupsi dan nepotisme. Bahkan Rasulullah
sangat terbuka terhadap kritik dan saran dari sahabat.
Etika politik Islam tetap relevan, bahkan
mendesak, di tengah kondisi krisis integritas pemimpin seperti saat ini. Terlebih adanya kebohongan politik dan
manipulasi media, maka etika politik Islam menjadi kebutuhan yang mendesak. Praktik
otoriter, sebagaimana fir’aun dahulu juga menegaskan pentingnya penerapat etika
politik Islam.
Politik Islam menawarkan alternatif yang
berbasis nilai spiritual dan tanggung jawab moral, bukan sekadar kekuasaan
teknokratik atau populisme kosong. Praktek etika politik Islam tidaklah berdiri
sendiri, dia melekat dalam sistem dan institusi negara.
Etika politik Islam menolak kekuasaan yang
dibangun atas dasar ambisi pribadi, tipu daya, atau kebohongan. Politik adalah
ladang pengabdian kepada masyarakat dan pertanggungjawaban di hadapan Allah.
Maka, pemimpin ideal dalam Islam adalah yang adil, jujur, amanah, dan bersedia
mendengar rakyatnya yang dalam studi politik disebut sebagai khalifah,
sementara institusi negaranya disebut khilafah.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 19/05/25 :
09.25 WIB)