Oleh : Ahmad Sastra
KOMPAS.com - Pengakuan status nonhalal
Ayam Goreng Widuran di Solo, Jawa Tengah, mendapat perhatian publik selama
sepekan. Pasalnya, setelah berdiri 52 tahun, Ayam Goreng Widuran baru
mengumumkan status nonhalal di seluruh gerai restoran pada Jumat (23/5/2025). Polemik
status nonhalal Ayam Goreng Widuran bermula dari kicauan media sosial Thread
milik akun @pedalranger.
Menurut pantauan Kompas.com pada Selasa
(27/5/2025), akun tersebut menulis penggunaan minyak babi dalam kremes di
warung ayam goreng terkenal di Solo, tanpa menyebut nama restoran secara
eksplisit. "Lagi rame ya warung ayam goreng terkenal di Solo yang ternyata
kremesannya pake minyak babi. Yg jadi masalahnya warungnya ga terbuka ke
customer shg banyak yg muslim makan di situ," tulis akun @pedalranger pada
Senin (19/5/2025). Unggahan ini mendapat ratusan komentar berisi dugaan nama
restoran yang dimaksud, termasuk Ayam Goreng Widuran.
Fakta tentang produk Ayam Goreng Widuran
Solo yang ternyata non-halal menyedot perhatian publik. Lantas, siapakah
pemilik rumah makan legendaris Ayam Goreng Widuran Solo? Berdasarkan
penelusuran Espos, Selasa (27/5/2025) dalam sebuah video Youtube yang diunggah
Jony Rahardja, pada 29 Mei 2021, pemilik Ayam Goreng Widuran Solo bernama
Indra.
Sayangnya pemilik warung tidak berada di
lokasi saat didatangi Respati dan rombongan Pemkot Solo. Karyawan warung juga
tidak bersedia memberikan keterangan. Kendati
demikian, pemilik rumah makan yang telah beroperasi sejak 1973 itu meminta maaf
dan berharap diberi ruang untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Pasalnya,
selama ini mereka tidak menjelaskan secara transparan mengenai kehalalan produk
tersebut.
"Pemberitahuan. Kepada seluruh
pelanggan Ayam Goreng Widuran, Kami menyampaikan permohonan maaf yang
sebesar-besarnya atas kegaduhan yang beredar di media sosial belakangan ini.
Kami memahami bahwa hal ini menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Sebagai langkah
awal, kami telah mencantumkan keterangan NON-HALAL secara jelas di seluruh
outlet dan media sosial resmi kami. Kami berharap masyarakat dapat memberi kami
ruang untuk memperbaiki dan membenahi semuanya dengan itikad baik. Hormat kami,
Manajemen Ayam Goreng Widuran," Jumat (23/5/2025).
Di sisi lain, Badan Penyelenggara Jaminan
Produk Halal (BPJPH) bersama Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan 9
produk pangan olahan yang terdeteksi mengandung unsur babi (porcine). Ini
berdasarkan hasil pengujian laboratorium menggunakan parameter uji DNA dan/atau
peptida spesifik porcine. (www.cnbcindonesia.com)
Temuan ini merupakan hasil dari pengawasan
bersama BPJPH dan BPOM yang dilakukan berdasarkan Perjanjian Kerja Sama Nomor
10 Tahun 2024 (BPJPH) dan Nomor KS.01.01.2.06.24.05 (BPOM) tentang Pengawasan
Jaminan Produk Halal di bidang obat dan makanan.
Dari 9 produk yang terdeteksi, 7 produk di
antaranya telah bersertifikat halal. BPJPH langsung menjatuhkan sanksi berupa
penarikan produk dari peredaran, sesuai dengan ketentuan PP Nomor 42 Tahun 2024
tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal.
Sementara itu, 2 batch produk lainnya
tidak bersertifikat halal dan terbukti memberikan data tidak akurat saat
registrasi. Untuk kasus ini, BPOM telah mengeluarkan peringatan keras dan
instruksi penarikan produk dari pasar, mengacu pada UU No. 18 Tahun 2012
tentang Pangan serta PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
Kapitalisme Sekuler Abaikan Halal Haram
Beredarnya produk makanan haram karena
mengandung babi adalah bagian kecil dari
akibat sistem ekonomi kapitalisme sekuler yang selama ini berlaku di
negeri mayoritas mulim ini. Bisnis ala sistem kapitalisme sekuler tidak peduli
halal-haram. Sebab kapitalisme sekuler merupakan sistem ekonomi yang memisahkan
urusan ekonomi dari nilai-nilai dan hukum agama.
Selain tidak mempertimbangkan nilai-nilai
agama seperti halal dan haram, sistem ekonomi kapitalisme sekuler juga hanya berorientasi pada keuntungan materi
semata (profit motive) , serta menjadikan pertumbuhan ekonomi dan akumulasi
kapital sebagai tujuan utama.
Dengan adanya temuan 9 jenis produk
makanan yang mengandung babi ini, bukan tidak mungkin masih banyak makanan yang
beredar di masyarakat muslim negeri ini juga mengandung babi. Tentu saja
peristiwa ini sangat miris, sebab sebagai negeri muslim terbesar di dunia
semestinya makanan yang diproduksi dan dikonsumsi masyarakat muslim telah
benar-benar dijamin kehalalannya oleh negara.
Allah telah menegaskan bahwa babi adalah
haram dalam firmanNya : Katakanlah:
"Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -- karena sesungguhnya semua
itu kotor -- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. (QS Al An’am
: 145)
Sebalinya, Allah memerintahkan agar kaum
muslimin mengkonsumsi makanan yang halal dan baik, sebagainya ditegaskan dalam
firmanNya : Hai sekalian manusia,
makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah
kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah
musuh yang nyata bagimu. (QS Al Baqarah : 168).
Makanan yang halal adalah makanan yang
sesuai dengan hukum syariat dan dibolehkan hukum Islam untuk dikonsumsi (bukan
dari babi, bangkai, darah, tidak mengandung khamr, disembelih dengan nama
Allah.). Sementara toyyib adalah baik, bersih, sehat, tidak merugikan tubuh dan
lingkungan (bisa mencakup gizi, higienis, tidak beracun, tidak najis).
Dampak Buruk Konsumsi Produk Haram
Menghindari makanan haram, bagi individu
muslim adalah bagian dari perwujudkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah.
Begitu juga dengan masyarakat yang bertaqwa
adalah masyarakat yang tunduk pada perintah Allah dan menjauhi larangan
Allah. Antara individu dan masyarakat muslim wajib bersinergi dalam mencegah adanya
peredaran produk makanan yang mengandung babi. Ada beberapa dampak buruk akibat
mengkonsumsi makanan haram :
Pertama, makanan haram akan menjadi
penghalang dikabulkannya doa. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam sabda
Rasulullah SAW : "Sesungguhnya
Allah itu Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik. ... kemudian
disebutkan seorang laki-laki yang telah lama bersafar, rambutnya kusut dan
berdebu, sambil menengadahkan tangan ke langit seraya berdoa: 'Ya Rabb, ya
Rabb', padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan dia
dikenyangkan dengan yang haram. Maka bagaimana mungkin doanya dikabulkan?"
(HR. Muslim no. 1015).
Kedua, makanan haram akan menimbulkan hati
gelap dan keras serta kecenderungan untuk berbuat keburukan dan kemaksiatan.
Jika tubuh dibangun dari sumber yang haram, maka akhlak dan perilaku pun akan
cenderung rusak. Makanan haram bisa mengundang pengaruh setan, karena ia suka
dengan sesuatu yang kotor dan dilarang. Karena itu, orang yang biasa
mengonsumsi yang haram akan lebih mudah terdorong melakukan maksiat.
Allah selalu menegaskan bahwa makanan atau
minuman haram dikaitkan dengan perbuatan setan. Hal ini sebagaimana firmanNya :
Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS Al Maidah : 90).
Diketahui bahwa alkohol bekerja langsung
pada otak, melemahkan kontrol diri, menurunkan kesadaran, bahkan bisa
menyebabkan hilang akal. Dalam Islam, akal adalah salah satu hal paling dijaga
(maqashid syariah), karena dari akal muncul kesadaran beragama dan tanggung
jawab. Jika hilang akal dan kesadaran pada manusia, maka akan menimbulkan
berbagai kerusakan sosial.
Ketiga, mengkonsumsi makanan haram merusak
amal ibadah dan mendapatkan ancaman siksa neraka. Hal ini sejalan dengan sabda
Rasulullah SAW : "Tidaklah tumbuh daging dari yang haram kecuali neraka
lebih layak baginya. (HR. At-Tirmidzi no. 614, sahih).
Karena makanan bukan hanya untuk tubuh,
tapi juga menyusun karakter, memengaruhi spiritualitas, mempengaruhi kesehatan
akal serta menentukan keberkahan hidup. Maka, Allah memerintahkan kaum muslimin
untuk makan yang halal dan thayyib, bukan sekadar yang enak atau mengenyangkan
semata.
Butuh Solusi Sistemik
Diriwayatkan oleh An-Nu’man bin Basyir
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ï·º
bersabda: "Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan yang haram itu jelas. Di
antara keduanya ada perkara-perkara syubhat (samar), yang tidak diketahui oleh
kebanyakan manusia. Barang siapa menjaga diri dari perkara syubhat, maka ia
telah membersihkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus ke dalam
syubhat, maka ia telah terjatuh ke dalam yang haram...”. (HR. Bukhari no. 52
dan Muslim no. 1599)
Selama negeri ini masih menerapkan sistem
ekonomi kapitalisme sekuler yang mengabaikan hukum halal dan haram, maka kaum
muslimin akan terus menghadapi dilema dalam kehidupannya, khususnya jaminan
halal atas makanan yang dibeli dan dikomsumsi. Fungsi pengawasan tidak akan
berjalan efektif jika akar masalahnya tidak tidak pernah dihilangkan. Akar
masalah di negeri ini bersifat sistemik, maka solusinya juga harus bersifat
sistemik.
Islam sebagai sistem kehidupan yang
mengatur hubungan manusia dengan Allah, mengatur hubungan dengan dirinya, dan
mengatur hubungan dengan orang lain yang didasarkan oleh perintah dan larangan
Allah adalah yang paling layak diterapkan di negeri mayoritas muslim ini,
menggantikan sistem sekuler yang sangat merugikan dan membahayakan kaum muslimin.
Dalam sistem Islam, selain ketaqwaan
individu dan kepekaan masyarakat, seorang penguasa (khalifah) bertanggung jawab
penuh atas pemeliharaan urusan umat. Maka, menjamin makanan halal adalah bagian
dari tanggung jawab negara dalam menjaga agama (hifzh ad-din) dan jiwa (hifzh
an-nafs). Rasulullah ï·º bersabda: "Imam (khalifah) adalah
pemelihara dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya." (HR.
Bukhari dan Muslim).
Produk makanan yang diimpor ke wilayah
khilafah akan disaring dan diperiksa kehalalannya sebelum masuk pasar. Khilafah
tidak akan menjalin kerja sama dagang yang memungkinkan peredaran makanan haram
di wilayahnya. Selain itu, Khilafah juga akan menjamin dan memastikan produk
halal bagi rakyatnya karena termasuk bagian dari ketaatan khalifah kepada
Allah.
Dalam sejarah kekhalifahan, Khalifah Umar
bin Khattab pernah menolak menerima daging yang berasal dari hewan yang tidak
disembelih secara syar’i. Sistem pasar Islam di Madinah dijaga ketat oleh
Rasulullah ï·º dan dilanjutkan oleh para khalifah untuk
menjamin perdagangan yang sesuai syariah.
Dalam sejarah Khilafah Islam (misalnya
pada masa Umar bin Khattab), dikenal adanya Qadhi Hisbah yang bertugas
mengawasi pasar agar tidak ada penipuan, kecurangan, dan penjualan makanan
haram atau kadaluarsa. Qadhi Hisbah ini adalah otoritas independen yang bisa
menindak pedagang secara langsung di tempat jika terbukti melanggar syariah.
Dengan demikian, hanya sistem pemerintahan
Islam yang menjadikan halal dan haram sebagai standar produksi dan konsumsi
yang bisa menjamin kehalalan bagi seluruh rakyatnya. Sebab pemerintahan Islam
akan menerapkan syariah Islam secara total pada semua aspek kehidupan rakyatnya
untuk mewujudkan kehidupan yang penuh keberkahan dan kemuliaan. Hanya
pemerintahan Islam yang mendasarkan sistem kepemimpinan dan kebijakan di atas
ketundukan kepada Allah dan Rasulullah SAW.
Allah menegaskan dalam firmanNya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
(QS An Nisaa’ : 59).
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 1050/28/05/25 :
09.09 WIB)