MENGAPA BARAT BUTUH TERORISME ?



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

“It is much safer to be feared than loved if one of the two must be lacking.” The Prince, Nicholo Machiavelli

 

Machiavelli sangat terkenal dengan gagasannya bahwa seorang pemimpin lebih baik ditakuti daripada dicintai, jika harus memilih salah satu. Namun, ia juga menekankan bahwa seorang penguasa jangan sampai dibenci, karena kebencian bisa mengarah pada pemberontakan.

 

Alasan rasa takut penting menurut Machiavelli karena rasa takut menciptakan disiplin dan ketertiban dalam masyarakat serta dalam pemerintahan. Alasan lainnya adalah bahwa cinta bersifat sukarela dan dapat berubah, sedangkan rasa takut bertumpu pada hukuman dan lebih tahan lama.

 

Rasa takut menurut Machiavelli juga bisa menjadi alat untuk mengendalikan rakyat dan musuh politik. Pemimpin harus mampu menunjukkan kekuatan untuk mempertahankan kekuasaan dan mencegah pengkhianatan.

 

Selain machiavelli, ada juga pemikir politik yang membahas soal rasa takut ini,dia adalah David Hume. Hume tidak membahas rasa takut dalam konteks politik kekuasaan secara langsung seperti Machiavelli. Namun, ia membahas emosi, moralitas, dan politik dari sudut pandang empiris dan psikologis. Rasa takut menurut Hume adalah bagian dari passions atau dorongan emosional manusia yang memengaruhi moral dan tindakan politik.

 

Peran rasa takut menurut Hume, diantaranya adalah sebagai dasar motivasi moral dan sosial. Rasa takut terhadap hukuman sosial atau sanksi hukum membantu membentuk keteraturan dalam masyarakat. Rasa takut menurut Hume juga bisa mendorong pembentukan institusi sosial dan politik. Rasa takut akan anarki atau kekacauan mendorong manusia untuk menyetujui keberadaan pemerintah dan hukum.

 

Rasa takut menurut Hume juga bisa merupakan mekanisme psikologis alami. Rasa takut adalah bagian dari mekanisme naluriah yang membantu manusia menghindari bahaya dan bertindak secara rasional dalam batas tertentu. Hume lebih menekankan bahwa kepatuhan lahir dari kepentingan bersama dan rasa aman, bukan sekadar dari rasa takut saja seperti yang ditekankan Machiavelli.

 

Mungkin dari teori ini bisa kita memulai menganalisa, mengapa Barat butuh rasa takut dan bahkan jika perlu menciptakan rasa takut itu. Isu terorisme yang Barat ciptakan kemudian disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia. Bahkan dikatakan oleh salah satu presiden Amerika Geoge W. Bush Jr setelah mengangkat isu terorisme : bersama Amerika atau bersama teoris ?

 

Pidato terkenal Presiden Amerika Serikat saat itu, George W. Bush Jr., setelah serangan teroris pada 11 September 2001. Dalam pidatonya kepada Kongres dan rakyat Amerika Serikat pada 20 September 2001, George W. Bush mengatakan: "Every nation, in every region, now has a decision to make. Either you are with us, or you are with the terrorists." (Setiap negara, di setiap wilayah, kini harus membuat keputusan. Apakah Anda bersama kami, atau bersama para teroris.)

 

Sejarawan Prancis Patrick Boucheron menyoroti bagaimana politik sering memanfaatkan rasa takut untuk membentuk narasi dan identitas kolektif. Dalam wawancaranya mengenai upacara pembukaan Olimpiade Paris 2024, Boucheron menyatakan bahwa mereka merancang acara tersebut sebagai "manifesto melawan rasa takut," bertujuan untuk menyatukan masyarakat dan menanggapi narasi yang membangkitkan ketakutan terhadap perbedaan budaya dan identitas.

 

Boucheron juga mengkritik apa yang ia sebut sebagai "momen Machiavellian" dalam politik Amerika, di mana ketidakpastian dan manipulasi informasi digunakan untuk mengendalikan masyarakat. Ia mengaitkan fenomena ini dengan karya Niccolò Machiavelli, yang memperingatkan tentang bagaimana republik dapat berubah menjadi oligarki ketika rakyat dibiarkan terpecah dan takut.

 

Sementara itu, Corey Robin, seorang ilmuwan politik Amerika, dalam bukunya Fear: The History of a Political Idea (2004), menganalisis bagaimana rasa takut digunakan sebagai alat politik untuk mempertahankan hierarki sosial dan kekuasaan. Ia menunjukkan bahwa institusi-institusi seperti federalisme, pemisahan kekuasaan, dan pluralisme sosial di Amerika Serikat, meskipun dianggap sebagai pilar kebebasan, juga dapat berfungsi sebagai instrumen intimidasi dan represi.

 

Robin berpendapat bahwa politik yang bersandar pada rasa takut tidak hanya menciptakan ketidakamanan eksternal, tetapi juga memperdalam ketidaksetaraan sosial dan ekonomi, serta merusak komitmen terhadap kebebasan dan kesetaraan. Ia mengkritik pandangan yang menganggap rasa takut sebagai reaksi alami terhadap ancaman eksternal, dan menekankan pentingnya memahami konteks sosial dan politik di balik ketakutan tersebut.

 

Bagaimana relasinya dengan isu terorisme di belahan dunia yang diciptakan oleh Amerika ini ?. Jhon Pilgers, seorang jurnalis Australia dengan tegas mengatakan bahwa korban terbesar terorisme adalah umat Islam. Hakikatnya tak ada perang terhadap terorisme, yang ada adalah perang menggunakan alasan terorisme.  Jika hipotesis ini benar, maka sebenarnya isu terorisme adalah cara Barat untuk mengkonsolidasi kekuasaan yang rapuh dengan cara menciptakan ketakutan masyarakat. Benarlah apa yang diteorikan Machiavelli dan Hume.

 

Seorang jurnalis terkemuka dunia berkebangsaan Australia yang bekerja di Inggris. Dari berbagai pengalaman dan menjadi saksi hidup pada berbagai peristiwa yang ia liput, membangkitkan semangat dasar nurani John Pilgers untuk membongkar segala ketidakadilan terutama yang dilakukan oleh Amerika dan sekutunya (termasuk Inggris dan Australia tempat dimana ia lahir dan tinggal).

 

Istilah terorisme sendiri bukanlah istilah yang berasal dari literatur agama, Islam khususnya. Istilah yang multiinterpretasi ini diperkenalkan oleh Dinas Intelijen Amerika dan Dinas Intelijen Inggris dalam sebuah seminar yang diadakan untuk membahas makna “terorisme” pada tahun 1979 telah menyepakati bahwa “terorisme” adalah penggunaan kekerasan untuk mela-wan kepentingan-kepentingan sipil guna mewujudkan target-target politis.

 

Setelah seminar itu, banyak diselenggarakan konferensi dan seminar internasional, serta ditetapkan berbagai hukum dan undang-undang untuk membatasi aksi-aksi yang dapat digolongkan sebagai terorisme, untuk menerangkan kategori berbagai gerakan, kelompok, dan partai yang melakukan aksi terorisme, serta untuk menentukan negara-negara mana yang mensponsori terorisme. Semua aturan ini --menurut sangkaan mereka adalah dasar untuk mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan guna memerangi terorisme dan membatasi gerak-geriknya.

 

Dari tinjauan global terhadap berbagai undang-undang dan hukum yang berkaitan dengan terorisme, nampak jelas bahwa semua peraturan itu ternyata tidak mendalam dan tunduk pada orientasi politik dari negara-negara yang membuatnya. Sebagai contoh, Amerika menganggap pembunuhan Indira Gandhi sebagai aksi terorisme, sementara pembunuhan Raja Faisal dan Presiden Kennedy tidak dianggap aksi terorisme.

 

Contoh lain, Amerika pada awalnya mencap pemboman gedung Kantor Penyelidikan Federal di Oklahoma sebagai aksi terorisme. Tetapi ketika terbukti bahwa pelaku pemboman adalah kalangan milisi Amerika sendiri, pemboman yang semula dianggap aksi terorisme, kemudian hanya dianggap sebagai “aksi kriminal” belaka.

 

Di sisi lain, Amerika melalui National Intelligent Council (NIC) pada Desember 2004 merilis sebuah laporan berjudul Mapping the Global Future bahwa tahun 2020 dunia diprediksi dikuasai oleh A New Chaliphate. Lepas dari maksud prediksi itu, paling tidak, kembalinya khilafah islamiyah di kalangan analis dan intelejen Barat telah diperhitungkan berdasarkan perkembangan Islam hari ini di seluruh penjuru dunia. Jadi ironis, jika seorang muslim malah  menghambat tegaknya kembali supremasi peradaban Islam. 

 

Umat harus bersikap hati-hati dan proporsional dalam menghadapi setiap hegemoni wacana yang dibangun oleh Barat dalam menciptakan rasa takut dengan menjadikan Islam sebagai sasaran fitnah. Tidak semua harus ditolak, tapi tidak semua juga harus diterima. Allah menyuruh kita untuk melakukan tabayyun secara seksama terhadap setiap berita yang datang dari Barat.

 

Para tokoh Islam harus memiliki pandangan yang jernih dengan landasan Qur’an suci. Sebab pendapat para tokoh muslim akan menjadi panutan bagi masyarakat muslim yang lain dan akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah. Para ulama harus memiliki kesadaran politik Islam, jika tidak ingin hanya menjadi buih yang dipermainkan barat dengan kepentingan politik mereka. Sekali lagi, para ulama khususnya dan umat Islam memiliki kesadaran politik. Sebab kebutaan yang paling merusak adalah kebutaan politik.

 

Kesadaran politik bukan berarti kesadaran akan situasisituasi politik, konstelasi internasional, peristiwa-peristiwa politik, mengikuti politik internasional, atau mengikuti aktivitas-aktivitas politik. Itu semua adalah hal-hal yang melengkapi kesempurnaannya saja. Kesadaran politik tidak lain adalah pandangan terhadap dunia dengan sudut pandang khusus. Bagi kita (kaum Muslim) sudut pandang itu adalah Akidah Islam, yaitu sudut pandang Laa ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah.

 

Inilah kesadaran politik. Maka, memandang dunia tanpa sudut pandang khusus dianggap pandangan yang dangkal dan bukan kesadaran politik. Memandang dunia hanya pada wilayah lokal atau regional saja adalah sesuatu yang kualitasnya rendah dan bukan kesadaran politik.

 

Kesadaran politik tidak akan sempurna kecuali dengan terpenuhinya dua unsur, yakni adanya pandangan pada dunia secara keseluruhan, dan pandangan ini bertolak dari sudut pandang khusus yang jelas batasannya, apa pun juga sudut pandang tersebut, bisa berupa ideologi tertentu, pemikiran tertentu, kepentingan tertentu, atau yang lainnya.

 

Inilah pengertian kesadaran politik itu sendiri secara umum. Bagi seorang muslim, sudut pandangnya tentu adalah Akidah Islam. Inilah kesadaran politik. Dan selagi faktanya demikian, maka seorang politisi secara alamiah akan terjun dalam perjuangannya untuk membentuk pemahaman tertentu tentang kehidupan dalam diri manusia lain, siapa pun juga dan di mana pun juga.

 

Membentuk pemahaman yang seperti itu adalah tanggung jawab utama yang dibebankan pada pengemban kesadaran politik, yang tidak akan merasa puas kecuali dengan mencurahkan segenap kesungguhan dalam mengemban dan melaksanakan tanggung jawab ini. Umat Islam adalah orang yang wajib mengemban dakwah Islam, karena termasuk fardhu ‘ain. Karena itu wajib pula memiliki kesadaran politik Islam dan jangan sampai buta politik.

 

Kembali ke masalah, jauh hari, dalam laporan The Muslim World After 9/11 (2004), RAND mengidentifikasi berbagai kecenderungan ideologis dalam dunia Islam, mulai dari fundamentalisme radikal hingga sekularisme liberal. Laporan ini menekankan pentingnya membedakan antara kelompok moderat dan ekstremis untuk merancang strategi yang efektif dalam menghadapi radikalisasi. RAND juga merekomendasikan dukungan terhadap jaringan Muslim moderat, reformasi pendidikan, dan pembangunan ekonomi sebagai langkah untuk mengurangi dukungan terhadap ekstremisme.

 

Kajian penting pertama yang dilakukan Rand Corporation adalah melakukan klasifikasi terhadap umat Islam. Hal ini tertuang pada buku berjudul Civil Democratic Islam, Partners, Resources, and Strategies. Buku ini ditulis oleh Cheryl Benard pada tahun 2003. Pada buku ini Benard mengklasifikasikan umat Islam menjadi: (1) kaum fundamentalis; (2) kaum tradisionalis; (3) kaum modernis; (4) kaum sekularis.

 

Dalam kajian Rand Corp, kaum fundamentalis memusuhi Barat dan Amerika Serikat pada khususnya dan bermaksud, merusak dan menghancurkan demokrasi modern. Kaum tradisionalis umumnya memiliki pandangan yang lebih moderat, namun ada beragam kelompok tradisionalis. Ada yang dekat dengan kaum fundamentalis. Tidak ada yang sepenuh hati menerima demokrasi modern, budaya dan nilai-nilai modernitas, paling banter menerimanya sekadar hal itu bisa membuat kedamaian yang tidak nyaman.

 

Kaum modernis dan sekularis adalah yang paling dekat dengan Barat dalam hal nilai dan kebijakan. Namun, umumnya mereka berada pada posisi yang lebih lemah daripada kelompok lainnya; tidak memiliki dukungan kuat, sumber keuangan, infrastruktur yang efektif dan platform publik. Kaum sekular, selain kadang tidak bisa diterima sebagai bagian umat berdasarkan afiliasi ideologis mereka, juga memiliki masalah dalam menangani sektor tradisional dari umat Islam.

 

Rand Corp kemudian memberikan rekomendasi untuk melakukan strategi pecah-belah terhadap klasifikasi umat Islam tersebut. Keempat strategi tersebut antara lain: (1) Dukung kaum modernis terlebih dulu; (2) Dukung kaum tradisionalis melawan kaum fundamentalis; (3) Hadapi dan pertentangkan kaum fundamentalis; (4) Selektif dalam mendukung sekularis.

 

Maka, tak mengherankan jika diperhatikan, dari setiap peristiwa yang terjadi baik itu bom bunuh diri, penangkapan aktivis Islam, penemuan buku-buku jihad ataupun aksi-aksi terror lainnya, hampir semua dilekatkan kepada Islam. Tentu hal ini membuat umat Islam bertanya-tanya mengapa harus demikian. Mengapa Islam dan umat Islam selalu menjadi sasaran dan tuduhan radikalisme dan terorisme ?. Sementara jika mau dirunut, banyak pula aksi-aksi yang korbannya adalah orang Islam. 

 

Dampaknya yang jelas adalah terjadinya pecah belah di antara kamu muslimin sendiri, saling tuduh dan tidak jarang juga saling menfitnah. Padahal sebenarnya umat Islam sedang dijadikan sebagai buah yang terombang-ambing dalam gendang politik busuk Barat yang tidak ingin Islam bangkit disatu sisi, namun disisi lain penciptaan rasa takut sebagai upaya konsolidasi pemerintahan yang makin rapuh.

 

Akhirnya, berhasillah umat Islam menjadi buah korban narasi Barat. Upaya mengkriminalisasi Islam, pemeluk dan ajarannya pun semakin gencar dilakukan. Dapat disaksikan bersama soal penangkapan ulama-ulama dan aktivis Islam yang gigih memperjuangkan Islam, termasuk yang kini baru-baru terjadi, tentu dengan tuduhan terorisme.

 

Begitupun dengan ajaran-ajarannya, selalu saja ada upaya untuk menganggap ada beberapa ajaran Islam yang berbahaya, sehingga materi pembelajarannya dikurangi bahkan dihilangkan. Tidak lupa berbagai simbol Islam juga menjadi sasaran tuduhan radikalisme dan terorisme, sungguh menyedihkan dan memalukan.

 

Acap kali ketika ada kasus terorisme misalnya, selalu saja dikaitkan dengan jihad. Padahal bagi kaum Muslim, Jihad merupakan kewajiban dan merupakan thariqah dakwah yang dilakukan oleh Rasulullaah. Namun bagi para pembenci Islam, kemuliaan jihad dan pujian bagi para syuhada dianggap sebagai Glorifying Violence (mengagungkan kekerasan), mereka pun menuduh bahwa bibit kejahatan itu ada dari inti ajaran Islam itu sendiri.

 

Sebenarnya jika ditelusuri genealoginya, narasi melawan terorisme sesungguhnya perang melawan Islam itu sendiri. Sebab awal narasi ini dicetuskan oleh Barat. Sementara perang melawan radikalisme hanya hanya perpanjangan agenda dari perang melawan terorisme. Ini murni politik peradaban Barat yang tidak ingin Islam bangkit dan Berjaya.

 

Namun sayangnya, justru banyak umat Islam yang mendukung agenda ini, baik karena tidak tahu, maupun karena diuntungkan sebagai proyek. Artinya ada orang yang memancing di air keruh, ada orang yang mencari materi dalam proyek anti Islam ini, termasuk banyak dari kalangan muslim sendiri. Jika demikian, apa arti syahadat yang diikrarkan, jika pada akhirnya justru tidak digunakan untuk berkomitmen terhadap Islam.

 

Jadi sampai disini bisa kita pahami bahwa mengapa Barat,  khusunya Amerika membutuhkan teorisme ?

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 1049/28/05/25 : 08.50 WIB)

 

 

 

 

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.