Oleh : Ahmad Sastra
Tempo.Co, Jakarta -Presiden Prabowo Subianto
menyatakan bahwa Indonesia membuka peluang untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Israel apabila
mereka itu mengakui kemerdekaan Palestina. Pernyataan itu Prabowo sampikan saat
menghadiri konferensi pers bersama Presiden Prancis Emmanuel Macron di Istana
Merdeka, Jakarta, pada Rabu, 28 Mei 2025.
"Begitu negara Palestina diakui oleh Israel, Indonesia
siap untuk mengakui Israel dan kita siap membuka hubungan diplomatik dengan
Israel," kata Prabowo, dikutip dari siaran kanal YouTube Sekretariat
Presiden.
Perancis secara aktif mendorong beberapa negara Eropa
– termasuk Inggris, Belgia, dan Belanda-untuk secara resmi mengakui kenegaraan
Palestina pada konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dijadwalkan
berlangsung bulan depan, Middle East Eye melaporkan.
Konferensi yang diprakarsai oleh Prancis dan Arab
Saudi ini akan menampilkan delapan diskusi meja bundar yang bertujuan untuk menghasilkan
"dokumen yang berorientasi pada tindakan" yang berfokus pada resolusi
damai atas masalah Palestina dan implementasi solusi dua negara.
Tempo.Co, Jakarta - Menteri Luar
Negeri Belgia Maxime
Prevot untuk pertama kalinya menggunakan istilah ‘’genosida’’ untuk
menggambarkan apa yang terjadi di Gaza. "Hanya kata genosida yang dapat menggambarkan apa
yang terjadi di Gaza saat ini", kata Maxime Prevot seperti dilansir Anadolu dan Middle East Eye.
Memposisikan Israel sebagai negara
penjajah atas Palestina adalah pandangan yang dianut oleh banyak kalangan, baik
di tingkat masyarakat sipil, organisasi internasional, maupun negara-negara
tertentu. Pandangan ini tidak hanya muncul dari perspektif moral atau
ideologis, tetapi juga berdasarkan kerangka hukum internasional dan realitas di
lapangan. Mestinya seluruh negara di dunia memposisikan israel sebagai negara penjajah,
agar solusi yang diambil menjadi lebih tegas dan jelas.
Ada dasar sejarah singkat yang memperkuat arguman
bahwa israel adalah negara penjajah atas Palestina. Setelah jatuhnya Kekaisaran Ottoman, wilayah
Palestina berada di bawah mandat Inggris (1920–1948). Pada 1947, PBB
mengusulkan pembagian wilayah menjadi dua negara: satu Yahudi dan satu Arab.
Israel menyatakan kemerdekaannya pada 1948, sementara negara Palestina tidak
pernah terbentuk sesuai rencana. Dalam Perang 1967 (Perang Enam Hari),
Israel merebut Tepi Barat (termasuk Yerusalem Timur), Jalur Gaza, dan wilayah
lain.
Dalam perspektif kerangka hukum internasional: apakah
israel "penjajah" ?. Menurut hukum internasional, terutama Konvensi
Jenewa Keempat dan resolusi-resolusi PBB: (1) Tepi Barat (termasuk Yerusalem
Timur) dan Jalur Gaza dianggap wilayah pendudukan. (2) Resolusi Dewan Keamanan
PBB 242 (1967) yang meminta penarikan Israel dari wilayah yang didudukinya
dalam perang 1967.
(3) Resolusi PBB 2334 (2016) yang menegaskan bahwa
permukiman Israel di wilayah Palestina yang diduduki (terutama Tepi Barat dan
Yerusalem Timur) "tidak sah secara hukum" dan merupakan pelanggaran
hukum internasional. Maka, secara legal dan formal artinya Israel secara luas
diakui sebagai kekuatan pendudukan atas wilayah Palestina.
Bagaimana dengan fakta di lapangan ?. Berikut beberapa praktik yang membuat posisi
"penjajah" itu menguat, (1) Permukiman ilegal Israel di Tepi Barat
dan Yerusalem Timur terus diperluas. (2) Kontrol militer penuh atas pergerakan,
perbatasan, dan kehidupan sipil Palestina (checkpoint, tembok pemisah, blokade
Gaza). (3) Penggusuran dan perampasan tanah milik warga Palestina. (4) Hukum
ganda: Orang Yahudi dan Palestina yang tinggal di wilayah yang sama tunduk pada
sistem hukum yang berbeda (militer vs sipil).
Menganalisis logical fallacy (kesalahan logika) dalam
gagasan solusi dua negara dari perspektif bahwa Israel adalah negara penjajah
memberi sudut pandang yang kritis terhadap bagaimana solusi itu dikemas dan
dibenarkan secara politis dan moral. Dalam kerangka ini, solusi dua negara
sering dikritik karena mengabaikan ketimpangan kekuasaan dan legitimasi
pendudukan.
Logical Fallacy pertama adalah False Equivalence
(Kesetaraan Palsu) dengan adanya argumentasi yang menyatakan "Kedua belah
pihak harus mengalah dan berbagi tanah secara adil."
Kesalahan logika argumentasi ini adalah karena menyamakan
posisi penjajah (Israel) dan yang dijajah (Palestina) seolah-olah mereka berada
dalam konflik simetris, padahal ada ketimpangan kekuasaan yang sangat besar. Hal
Ini menutupi fakta bahwa satu pihak (Israel) memiliki kekuatan militer,
ekonomi, dan dukungan internasional yang jauh lebih besar, serta melakukan
pendudukan ilegal menurut hukum internasional.
Logical Fallacy kedua adalah Appeal to Peace (Banding
pada Perdamaian) dengan adanya argumentasi yang menyatakan "Solusi dua
negara adalah satu-satunya jalan untuk mencapai perdamaian." Kesalahan
logika argumentasi ini adalah menganggap bahwa jika suatu solusi terdengar
damai, maka itu otomatis benar atau adil, padahal bisa saja perdamaian yang
ditawarkan bersifat semu atau dibangun di atas ketidakadilan.
Titik kritisnya adalah bahwa perdamaian yang dibangun
tanpa pengakuan atas kejahatan penjajahan dan tanpa pemulihan hak-hak korban
bisa menjadi “perdamaian palsu” (false peace), bukan keadilan sejati.
Logical Fallacy ketiga adalah Red Herring (Pengalihan
Isu), seperti munculnya argeumentasi "Jika kita terus bicara soal
penjajahan, kita tidak akan pernah bisa membangun masa depan." Kesalahan
logikanya adalah bahwa hal ini berarti mengalihkan fokus dari kejahatan utama
(penjajahan, pendudukan, apartheid) ke isu masa depan seolah masa lalu dan
ketidakadilan struktural bisa diabaikan.
Titik kritis argumentasi ini adalah bahwa tanpa
pengakuan dan pertanggungjawaban atas penjajahan, solusi apa pun akan timpang
dan tidak menyelesaikan akar masalah.
Logical fallacy keempat adalah Slippery Slope (Lereng
Licin) dengan munculnya argumentasi dan narasi "Kalau kita tidak mendukung
solusi dua negara, maka akan terjadi kekacauan, perang saudara, atau kehancuran
Israel."
Kesalahan logika argumentasi ini adalah karena mengasumsikan
bahwa menolak satu solusi pasti membawa pada bencana besar, tanpa
mempertimbangkan alternatif yang adil dan berbasis hak asasi manusia seperti
solusi satu negara demokratis.
Logical fallacy kelima adalah Moral Equivalence /
Bothsidesism dengan adanya argumensi "Kedua belah pihak melakukan
kesalahan, jadi keduanya harus mengalah."
Kesalahan logika argumentasi ini adalah menganggap
bahwa karena ada kesalahan di kedua pihak, maka tanggung jawab moralnya setara.
Ini mengaburkan peran struktural Israel sebagai penjajah dan Palestina sebagai
korban kolonialisme.
Logical fallacy keenam adalah Begging the Question
(Berputar-putar pada Premis yang Dipertanyakan) dengan munculnya narasi "Solusi
dua negara diperlukan karena Israel berhak atas tanahnya dan Palestina
juga."
Kesalahan logika narasi ini adalah bahwa asumsinya
sudah mengandung kesimpulan bahwa pendudukan Israel sah, tanpa membuktikan
bahwa Israel memang punya klaim sah atas wilayah yang didudukinya.
Dari sudut pandang bahwa Israel adalah penjajah,
banyak argumen untuk solusi dua negara mengandung kesalahan logika yang
menyamakan penjajah dan yang dijajah, mengabaikan realitas kekuasaan yang
timpang, dan menggambarkan kompromi palsu sebagai keadilan.
Ajaran Islam sangat clear dalam menyelesaikan
penjajahan, karena menyentuh aspek teologis, sejarah perjuangan umat, dan etika
keadilan dalam Islam. Cara Islam menyelesaikan masalah penjajahan tidak hanya
berdasarkan teks (dalil), tetapi juga praktik umat Islam dalam sejarah.
Pertama, prinsip
dasar Islam terhadap penjajahan. Islam secara tegas menolak penjajahan dan
penindasan, baik secara fisik, ekonomi, maupun kultural. Allah dengan tegas
berfirman : "Janganlah kalian menzalimi, dan jangan pula dizalimi." (QS.
Al-Baqarah: 279). Di lain ayat, Allah berfirman : "Mengapa kamu tidak
berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang tertindas?" (QS.
An-Nisa: 75)
Dengan demikian dalam Islam, penjajahan adalah bentuk
kezaliman. Membebaskan orang dari penjajahan adalah bagian dari jihad fi
sabilillah. Keadilan dan tauhid menjadi prinsip dasar pembebasan, bukan
penguasaan atau balas dendam. Jihad melawan dan mengusir penjajah adalah sebuah
kewajiban sekaligus kemuliaan. Adalah wajib hukumnya kaum muslimin mengusir
israel dari tanah Palestina.
Strategi Islam dalam menghapus penjajahan tidak
sekadar menolak secara normatif, tetapi menawarkan langkah-langkah konkret,
historis maupun konseptual. Pertama, pendidikan dan kesadaran tauhid. Tauhid
tidak hanya berarti ibadah ritual, tapi juga menolak ketundukan kepada manusia
lain selain Allah. Dalam sejarah, semangat tauhid mendorong umat Islam bangkit
dari penjajahan karena tidak rela diperbudak oleh manusia lain (seperti yang
dikatakan oleh Rab'i bin 'Amir kepada Rustum: “Kami datang untuk membebaskan
manusia dari penghambaan kepada sesama manusia kepada penghambaan kepada Allah
semata.”)
Strategi kedua adalah perlawanan aktif (jihad melawan
penjajahan). Dalam konteks penjajahan, jihad berarti perlawanan fisik, politik,
maupun intelektual untuk membela tanah, umat, dan kehormatan dari kekuasaan
asing.
Contoh jihad dalam sejarah, pertama, Perang Aceh
melawan Belanda. Kedua, Perang Diponegoro dengan semangat Islam melawan
dominasi kolonial. Ketiga, Perlawanan Al-Mukhtar dan Umar Mukhtar di Libya. Keempat,
Gerakan Ikhwanul Muslimin, Sarekat Islam, Hizbullah Indonesia, Hamas dll.
Strategi ketiga adalah keadilan setelah kemenangan. Islam
tidak mengajarkan pembalasan dendam setelah penjajahan runtuh, tapi keadilan,
rekonsiliasi, dan reformasi struktural. Contoh: saat Rasulullah ï·º membebaskan Makkah (Fathu Makkah), beliau
tidak membalas kezaliman Quraisy dengan kekerasan, tapi memberikan amnesti dan
menghapus struktur penindasan.
Ajaran Islam dan tatanan dunia pasca-penjajahan adalah
untuk menegakkan keadilan global (al-‘adl). Islam menghormati hak umat dan
bangsa lain (hurriyah dan haq al-umam). Islam akan mencegah bentuk kolonialisme
baru (neo-kolonialisme). Islam menekankan persaudaraan umat manusia (ukhuwwah
basyariyah), tapi tetap menjaga identitas Islam. Karena Islam hadir untuk
menjadi rahmat bagi seluruh manusia dan alam semesta.
Islam menyelesaikan penjajahan melalui prinsip tauhid,
perlawanan terhadap kezaliman (jihad), dan penegakan keadilan. Islam tidak
hanya menyerukan pembebasan dari penjajahan fisik, tetapi juga dari dominasi
pemikiran, ekonomi, dan budaya yang menghilangkan kemerdekaan hakiki umat
manusia. Karena itu, skema solusi dua negara atas israel dan palestina jelas
bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Bagi Islam, penjajahan harus
dihapuskan dari muka bumi ini dengan jihad.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 1052/31/05/25 : 12.41 WIB)