Oleh : Ahmad Sastra
TEMPO.CO. Ambisi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu meraih kemenangan
militer Israel di Gaza dengan segala cara harus dibayar dengan
harga yang sangat besar: pengucilan dunia dan perpecahan di dalam negeri.
Negara-negara yang semula menjanjikan dukungan tak
tergoyahkan kepada Israel untuk memburu Hamas dan bahkan sempat menutup mata
akan begitu banyak korban sipil yang berjatuhan kini mulai menjauhkan diri.
Jerman mengancam untuk membatalkan bantuan militer. Sementara Prancis mulai
bergerak mendorong negara-negara Eropa untuk mengakui negara Palestina.
Bahkan Amerika Serikat, yang menjadi
sekutu terkuat Israel, dalam beberapa kebijakan Timur Tengahnya tidak lagi
melibatkan negara tersebut. Di dalam negeri, Israel
mengalami gejolak internal yang meningkat seiring dengan berlarut-larutnya
perang di Gaza, memperdalam perpecahan di dalam masyarakatnya.
Dalam beberapa minggu terakhir, para aktivis
perdamaian dan organisasi-organisasi antiperang di Israel telah meningkatkan
penentangan mereka terhadap konflik tersebut, sementara mereka yang mendukung
perang telah melipatgandakan upaya mereka untuk memastikan perang terus
berlanjut, terlepas dari dampak kemanusiaan, politik, atau diplomatik.
Perbedaan pendapat muncul dari dalam jajaran militer,
dengan beberapa anggota militer menerbitkan surat terbuka yang mengkritik
motivasi politik di balik kampanye yang sedang berlangsung di Gaza, Al Jazeera melaporkan.
Mereka memperingatkan bahwa serangan saat ini, yang
secara sistematis menghancurkan Gaza, dapat membahayakan sandera Israel yang
masih ditahan di sana. Para akademisi di universitas dan perguruan tinggi
Israel juga telah mengambil langkah yang tidak biasa dengan menyoroti
penderitaan warga Palestina secara terbuka-sesuatu yang jarang terlihat sejak
pecahnya perang pada Oktober 2023.
Protes dan kampanye yang mendorong kaum muda Israel
untuk menolak wajib militer semakin meluas, dipicu oleh keinginan untuk
perdamaian dan rasa frustrasi yang semakin besar terhadap penanganan perang
oleh pemerintah. Gerakan-gerakan ini mengancam untuk melemahkan upaya perang
Israel, yang sangat bergantung pada partisipasi kaum mudanya.
Para pengkritik perang berpendapat bahwa Netanyahu
telah bergantung pada faksi-faksi sayap kanan untuk menjaga koalisinya tetap
bersama, sementara oposisi tidak memiliki keberanian untuk menantangnya, bahkan
ketika tuduhan internasional tentang genosida meningkat.
Seiring dengan meningkatnya serangan di Gaza-dengan
lebih dari 54.000 warga Palestina terbunuh-penolakan terhadap perang menjadi
lebih vokal. Pada bulan April, lebih dari seribu pilot dan mantan pilot
mengeluarkan surat terbuka yang mengutuk perang tersebut karena dianggap lebih
mementingkan kepentingan politik dan pribadi daripada keamanan nasional.
Surat-surat tambahan dan upaya-upaya terorganisir untuk mendorong penolakan
terhadap rancangan tersebut telah menyusul.
Dunia juga banyak yang bersuara memprotes kekejaman
israel atas palestina. Juru bicara
Kementerian Luar Negeri Cina, Mao Ning, menyuarakan keprihatinan serius atas
situasi ini, dan mendesak semua pihak untuk menghindari tindakan yang dapat
memperburuk konflik atau memicu krisis kemanusiaan yang lebih besar.
Kremlin memperingatkan tentang eskalasi berbahaya
setelah serangan Israel, menyoroti laporan yang mengkhawatirkan tentang korban
sipil yang signifikan. Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan bahwa Rusia
memantau perkembangan dengan seksama dan berharap untuk kembali ke perdamaian.
Sebagai mediator utama bersama Qatar dan AS, Mesir
mengutuk serangan udara Israel sebagai pelanggaran terang-terangan terhadap
gencatan senjata dan eskalasi berbahaya yang mengancam stabilitas regional.
Kementerian Luar Negeri Qatar mengkritik keras
serangan tersebut, dan memperingatkan bahwa kebijakan Israel yang semakin
meningkat berisiko memicu konflik yang lebih luas dan merusak keamanan di
wilayah tersebut.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran menyatakan
bahwa Amerika Serikat bertanggung jawab secara langsung atas kekerasan yang
sedang berlangsung dan menggambarkan situasi ini sebagai kelanjutan dari
genosida di wilayah Palestina.
Kementerian Luar Negeri Arab Saudi mengeluarkan kecaman
keras terhadap kembalinya serangan Israel dan pengeboman wilayah sipil. Juru
bicara pemerintah Mohammed Momani mengutuk kampanye pengeboman agresif Israel
dan menekankan perlunya menghentikan kekerasan.
Turki menyebut serangan tersebut sebagai fase baru
dalam kebijakan genosida Israel terhadap warga Palestina, mengutuk siklus
kekerasan dan memperingatkan bahwa sikap bermusuhan Israel mengancam masa depan
Timur Tengah.
Negara-negara Eropa juga banyak bersuara memprotes
kekejaman israel. Perancis
menyerukan penghentian permusuhan segera, menekankan ancaman terhadap nyawa
warga sipil dan upaya pembebasan sandera. Inggris mendesak Israel dan
Hamas untuk menerapkan gencatan senjata secara penuh dan kembali berdialog,
serta mengutuk jatuhnya korban sipil.
Irlandia mengutuk serangan Israel dan menyerukan
penghormatan terhadap gencatan senjata dan negosiasi. Belgia mendesak
pelaksanaan gencatan senjata tahap kedua untuk memungkinkan rekonstruksi dan
perdamaian, dan mengecam blokade Israel terhadap bantuan kemanusiaan.
Italia menyatakan keprihatinannya bahwa pertempuran
baru membahayakan pembebasan sandera dan akses kemanusiaan. Spanyol berduka
atas kekerasan yang terjadi dan mengutuk pengeboman tanpa pandang bulu yang
menimpa warga sipil.
Jerman menyuarakan keprihatinannya atas
serangan-serangan tersebut dan menyoroti penderitaan anak-anak dan pengungsi
yang terlantar. Belanda menyerukan penghentian permusuhan secara permanen dan
penghormatan penuh terhadap gencatan senjata dan kesepakatan penyanderaan.
Norwegia menggambarkan serangan tersebut sebagai
pukulan tragis bagi penduduk Gaza yang rentan. Swiss menuntut agar gencatan
senjata segera diberlakukan, pembebasan sandera tanpa syarat, dan bantuan
kemanusiaan tanpa hambatan.
Entitas yahudi adalah manusia-manusia
binatang yang tak memiliki rasa kemanusiaan sama sekali. Berbagai kebiadaban
telah mereka pertontonkan di depan masyarakat dunia. Di dukung oleh negara penjajah
Amerika, yahudi semakin membabi buta melakukan genosida atas bangsa Palestina,
khususnya anak-anak dan kaum perempuan.
Logika paling sederhana untuk penjajah
adalah diusir dari bumi palestina. Mengusir penjajah adalah dengan perang,
jihad fi sabilillah. Tidak ada solusi yang lebih baik dan lebih tepat, selain
jiha fi sabilillah. Jihad harus dimulai dari persatuan umat Islam dan
negeri-negeri muslim seluruh dunia. Jihad harus dikomandoi pemimpin tertinggi
negeri-negeri muslim yang bersatu.
Sikap yang benar didasarkan dari pemahaman
dan persepsi yang benar atas fakta. Karena itu sikap umat Islam atas konflik
palestina bisa salah jika persepsinya salah. Persepsi yang benar atas konflik
Palestina Israel adalah bahwa bumi Palestina adalah milik kaum Muslimin, bukan
milik entitas yahudi. Di sanalah Masjidil Aqsa, masjid Mulia Qiblat pertama
Umat Islam berada.
Namun, Sejak Perisai Umat hilang dihancur
leburkan dimana umat Islam sejatinya adalah satu tubuh menjadi terpecah belah,
lantas Yahudi berusaha menguasainya dengan cara nista, 78 persen
tanah Palestina dicaplok Otoritas Zionisme Yahudi pada 1948 dan disusul
pendudukan Yerusalem dan wilayah Palestina lain pada 1967. Umat Islam Palestina
pun kian menderita dengan Penjajahan yang tiada henti mereka alami hingga kini.
Dengan demikian, Klaim kaum Yahudi dibantu
Barat yang selalu menyatakan bahwa apa yang mereka lakukan selama ini terhadap
bangsa Arab, khususnya penduduk Palestina, sebagai ’self defense’ (membela
diri) adalah kebohongan. Nyatanya setiap hari mereka melakukan penggusuran,
pengusiran dan pembunuhan terhadap rakyat Palestina. Termasuk membunuhi wanita,
lansia dan anak-anak.
Klaim mereka sebagai penduduk asli tanah
Palestina dan pemilik tanah yang dijanjikan Tuhan juga dusta besar. Pernyataan
itu sesungguhnya adalah kedustaan yang dikarang oleh pendiri negara yahudi,
theodor herzl. Hakikatnya mereka adalah agresor keji. Tak ada satu pun ayat
dalam kitab suci terdahulu, apalagi dalam al-Quran, yang menyatakan Palestina
sebagai tanah yang dijanjikan Tuhan untuk mereka.
Kaum Zionis Yahudi mendapatkan tanah
Palestina lewat bantuan Inggris dan Prancis melalui Perjanjian Sykes-Picot.
Kedua negara tersebut mendukung pembentukan negara yahudi di tanah Palestina.
Kedua negara ini bersekongkol untuk menyembelih Khilafah Utsmaniyah. Mereka lalu
menjadikan tanah air kaum muslim, termasuk tanah Palestina, sebagai harta
rampasan mereka.
Karena itu usaha paling penting bagi umat
Islam di seluruh dunia adalah membebaskan Palestina dari penjajahan Israel.
Sebab Islam adalah agama anti penjajahan. Islam adalah agama yang membebaskan
manusia dari keterjajahan dalam berbagai bentuknya.
Bagi seorang muslim, persoalan Palestina bukanlah
persoalan sekedar persoalan kemanusiaan, kolonialisme dan kezaliman, namun
lebih dari itu adalah persoalan agama, yakni persoalan aqidah, syariah dan
politik Islam. Umat Islam wajib melek politik Islam dalam melihat krisis
palestina, bukan sekedar dari sisi solidaritas kemanusiaan.
Dikatakan sebagai persoalan aqidah karena Masjidil
Aqsa (Palestina) adalah tanah suci ketiga bagi kaum Muslimin. “Nabi pernah
bersabda, tidak ada perjalanan yang sengaja ke masjid kecuali ke Masjidil
Haram, masjidku (Masjid Nabawi, red) dan Masjidil Aqsa. Jadi tanah Palestina
juga tanah yang diberkati.Dikatakan sebagai persoalan syariah Islam, karena
ajaran Islam sangat mengharamkan berbagai bentuk penjahahan, ketidakadilan,
kezaliman dan kemungkaran.
Keharaman atas segala bentuk penjajahan dibuktikan
oleh umat Islam yang sejak awal telah menjadi garda terdepan dalam mengusir
penjajah Belanda dan Portugis dari tanah pertiwi ini. Kemerdekaan RI sebagai
rahmat dari Allah adalah merupakan jerih payah para kyai dan santri yang dengan
gigih angkat senjata berjihad melawan penjajah.
Bahkan oleh KH Hasyim Asyari pernah dicetuskan
resolusi jihad. Artinya jihad adalah kemuliaan kaum muslimin, sekaligus solusi
terbaik atas adanya penjajahan. Jihad adalah kemuliaan, bukan radikalisme
apalagi terorisme sebagaimana tuduhan para kafir penjajaha dan antek-anteknya.
Begitupun yang kini terjadi di Palestina, dimana
anak-anak yang tak berdosa menjadi korban kebiadaban zionis Israel. Islam
sendiri melarang pembunuhan, bahkan dinyakan jika terbunuh seorang muslim tanpa
hak, disamakan dengan membunuh semua umat manusia. Ini membuktikan bahwa
syariat Islam bukan hanya persoalan kemanusiaan, namun lebih dari itu adalah
persoalan syariah.
Jika ditinjau dari perspektif politik Islam, maka bisa
ditelusuri secara historis bahwa penjajahan zionis atas palestina adalah ketika
umat Islam kehilangan pelindungnya, yakni khilafah Islamiyah. Sebab ketika
masih ada khilafah, negeri Palestina mendapat perlindungan maksimal dari
berbagai bentuk ancaman.
Bahkan Khalifah Umar bin Khaththab ra, memberikan
amanah kepada kaum muslimin untuk melindungi kaum Nashrani dari ancaman Yahudi
dengan mencegah Yahudi tinggal di Palestina. Hal itu dituangkan dalam
Perjanjian Umariyah/Perjanjian Illiya tatkala penduduk Palestina yang semuanya
Nashrani menyerahkan secara sukarela tanahnya kepada kaum Muslimin.
Ketika khilafah islamiyah runtuh pada tahun 1924, maka
tak ada lagi perlindungan atas bumi Palestina yang diberkahi itu. Sebaliknya,
dengan leluasa zionis Israel terus melakukan berbagai bentuk kezaliman atas
kaum muslimin dan bahkan merubut tanah-tanah palestina sedikit demi sedikit.
Palestina adalah persoalan umat Islam sedunia, karena tanah Palestina
adalah milik umat Islam.
Persoalan pokok Palestina itu adalah adanya penjajah
Israel yang merampas tanah kaum muslimin dan melakukan pendudukan dan
penjajahan. Jadi perjuangan ini harus fokus pada bagaimana agar Israel terusir dan lenyap dari Palestina.
Perjuangan untuk membuat mundur Israel dari tanah Palestina, tidak mungkin bisa
diraih dengan perdamaian, diplomasi atau perjuangan orang perorang.
Mengapa perdamaian bukan merupakan opsi solusi atas
krisis Palestina Israel, sebab perdamaian mensyaratkan dua hal : pengakuan
eksistensi negara penjajah Israel dan yang kedua Israel dan Palestina akan
menjadi dua negara yang berdampingan. Jalan satu-satunya adalah jihad fi
Sabilillah mengusir zionis dari bumi Palestina, sebagai dahulu para pahlawan
mengusir penjajah Belanda dan Portugis dari bumi Indonesia.
Menghapi imperialisme negara tidaklah bisa dilakukan
oleh orang perorang, namun idealnya harus dihadapi lagi oleh sebuah institusi
negara. Untuk itu adalah keharusan negeri-negeri muslim segera bertobat kepada
Allah, lantas bangki dan bersatu padu melawan segala bentuk penjajahan. Jika
dahulu khilafah Islam mampu melindungi Palestina, karena semua negeri muslim
bersatu padu, tidak tercerai berai.
Membantu Palestina dengan lantunan doa, harta dan
gerakan solidaritas tidaklah sia-sia, insyaaallah mendapat pahala dari Allah.
Namun semua itu bukanlah solusi fundamental atas krisis Palestina. Sebab
persoalan Palestina adalah masalah penjajahan yang harus diusir dari negeri
para Nabi itu.
Ilustrasinya sederhana, jika ada saudara kita sedang
disiksa dan mau dibunuh oleh penjahat, bantuan apa yang paling tepat untuk
saudara kita itu. Membantu makanan tentu tidak tepat, sebab saat disiksa dan
hendak dibunuh, dia tidak butuh makanan. Bantuan terbaik adalah membantu
melawan dan mengalahkan penjahat itu, hingga teman kita terbebas dari kejahatan
tersebut.
Namun perlu diingat juga bahwa dalam setiap peristiwa
penjajahan negara atas negara, akan ada saja orang-orang yang justru berkhianat
menjadi antek dan budak penjajah untuk mendapatkan seonggok dunia. Dahulu di
zaman penjajahan belanda dan postugis maupun jepang juga muncul para
pengkhianat yang rela makan tulang saudaranya sendiri. Dalam kasus palestina
juga jangan kaget jika ada rakyat Indonesia yang justru memuja penjajah zionis
dan membenci palestina, merekalah para pengkhianat itu.
Akhirnya, oleh karena yang kita hadapi adalah
negara-negara imperialis, maka kekuatan yang seimbang itu tidak ada yang lain
kecuali Daulah Khilafah Islam. Negara global yang menyatukan kaum muslim.
Daulah Khilafah ini nanti akan menyerukan jihad fi sabilillah kepada kaum
muslim seluruh dunia untuk membebaskan Palestina. Perlu kita catat, Palestina
saat dibebaskan oleh Sholahuddin al Ayyubi pada saat kaum muslim memiliki
Daulah Khilafah Islam.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 1053/01/06/25 : 09.14 WIB)