Oleh : Ahmad Sastra
Setiap kali perayaan Hari Raya Kurban, kita selalu
diingatkan dengan keteladanan KhalilulLaah Nabi Ibrahim as. dan keluarganya.
Tentu karena begitu besarnya keteladanan mereka sehingga Allah SWT pun memuji
mereka. Gelar khalilullah adalah bukti betapa cinta Allah kepada Nabi Ibrahim,
hingga dinobatkan sebagai bapak para nabi dan rasul.
Allah SWT berfirman: Sungguh pada mereka itu (Ibrahim
dan keluarganya) ada teladan yang baik bagi kalian; (yaitu) bagi orang-orang
yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) Hari Akhir. Siapa saja
yang berpaling, sungguh Allah, Dialah Yang Mahakaya lagi Maha Terpuji (TQS
al-Mumtahanah [60]: 6).
Nabi Ibrahim as. adalah sosok hamba Allah yang
menghabiskan seluruh hidupnya dalam perjuangan di jalan-Nya. Ia menegakkan
kalimat tauhid secara nyata. Ia menentang keyakinan dan pemahaman batil
kaumnya. Hal itu ia sampaikan secara terbuka. Ia tak pernah menutup-nutupi
kebenaran yang memang seharusnya ia nyatakan.
Allah SWT berfirman: (Ingatlah) ketika Ibrahim berkata
kepada bapaknya dan kaumnya, "Patung-patung apakah ini, yang kalian
kelilingi (dengan penuh penghormatan)?" Mereka menjawab, "Kami
mendapati bapak-bapak kami menyembah patung-patung ini." Ibrahim berkata,
"Sungguh kalian dan bapak-bapak kalian berada dalam kesesatan yang
nyata!" (TQS al-Anbiya’ [20]: 52-54).
Nabi Ibrahim as. sanggup berhadapan dengan penguasa
kufur dan zalim. Ia menyampaikan dakwah tauhid ini secara terbuka dan
terangan-terangan. Padahal risiko yang ia hadapi amatlah besar. Namun, Allah SWT
senantiasa menolong hamba-Nya yang beriman dan senantiasa bersabar.
Demikian sebagaimana firman-Nya: Mereka berkata,
"Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kalian jika kalian benar-benar
hendak bertindak." Kami berfirman, "Hai api! Jadilah engkau dingin
dan selamatkanlah Ibrahim!" (TQS al-Anbiya’ [20]: 68-69).
Nabiyullah Ibrahim as. juga memberikan keteladanan
berupa ketaatan kepada Allah tanpa keraguan. Ketika Allah SWT memerintahkan
dirinya untuk meninggalkan sanak-keluarganya di negeri yang kering dan tandus,
maka perintah itu ia laksanakan tanpa kebimbangan.
Pada saat itu istrinya, Hajar, bertanya tentang
tindakan suaminya, "Ibrahim, ke mana engkau pergi? Mengapa engkau
meninggalkan kami di lembah yang tidak berpenghuni dan tanpa apa pun?" Ia
mengulangi pertanyaannya berkali-kali. Namun, Ibrahim as. tidak menoleh kepada
istrinya itu. Akhirnya, Hajar bertanya, "Apakah Allah yang memerintahkanmu
untuk melakukan ini?" Ibrahim as. baru menjawab, "Ya." Mendengar
jawaban itu, Hajar pun berkata, "Kalau begitu, Dia tidak akan
menyia-nyiakan kami."
Setelah itu Nabi Ibrahim as. berdoa sambil mengangkat
tangannya: Wahai Tuhan kami, sungguh aku telah menempatkan sebagian keturunanku
di lembah yang tandus, dekat rumah-Mu yang suci, wahai Tuhan kami, agar mereka
melaksanakan shalat. Karena itu jadikanlah hati sebagian manusia cenderung
kepada mereka dan berilah mereka rezeki berupa buah-buahan agar mereka
bersyukur (TQS Ibrahim [14]: 37).
Karena itu dalam rangka mengambil hikmah Idul
Adha, kita bisa belajar dari keteladanan
kepemimpinan Nabi Ibrahim. Sebab beliau adalah pemimpin rumah tangga yang telah
berhasil mendidik dan memimpin anggota keluarganya. Belajar dari kepemimpinan
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam memberikan banyak pelajaran berharga, baik dari segi
spiritual, moral, maupun strategi kepemimpinan.
Kepemimpinan berbasis tauhid adalah pelajaran pertama
yang bisa kita teladani. Tauhid dan prinsip yang teguh menjadi karakter utama
Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim dikenal sebagai Bapak Tauhid, karena sejak muda ia
berani menentang sistem penyembahan berhala yang telah mendarah daging di
masyarakatnya, termasuk oleh ayahnya sendiri.
Kememimpinan suatu negara mestinya berbasis tauhid,
yakni senantiasa mengajak rakyatnya untuk menjadi rakyat yang beriman dan
bertaqwa kepada Allah, bukan pemimpin yang justru menjauhkan rakyatnya dari
agama. Bukan hanya rakyatnya, namun dasar negaranyapun harus berlandaskan
tauhid.
Kepemimpinan yang selalu menjauhkan rakyatnya dari
agama adalah kepemimpinan sekuler. Negara yang memisahkan antara pemerintahan
dengan agama adalah negara sekuler. Sebagaimana Nabi Ibrahim, semestinya negeri
ini juga berlandaskan tauhid dengan rakyatnya yang beriman dan bertaqwa,
sehingga mendatangkan keberkahan hidup dari Allah.
Demikian, sebagaimana firman Allah : Jikalau sekiranya
penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan
kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat
Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS Al A’raf : 96)
Demikan pula sebaliknya, sebagaimana firman Allah : Dan
barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan
yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan
buta". (QS Tha ha : 124)
Kepemimpian berbasis tauhid bisa kita ambil pelajaran
kepemimpinannya bahwa seorang pemimpin harus memiliki prinsip yang kokoh dan
tidak goyah meski menghadapi tekanan dari lingkungan terdekat. Kepemimpinan
dimulai dari keyakinan dan keberanian untuk membela kebenaran. Begitulah Nabi
Ibrahim yang layak menjadi teladan bagi para pemimpin muslim seluruh dunia,
utamanya di negeri-negeri muslim saat ini.
Pelajaran kedua dari kepemimpinan Nabi Ibrahim adalah
gaya komunikasi yang bijaksana. Saat menghadapi ayahnya, Nabi Ibrahim tetap
berbicara dengan lemah lembut: Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah setan.
Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. (QS Maryam : 44)
Pelajaran kepemimpinan yang bisa kita ambil bahwa
seorang pemimpin yang hebat tidak hanya tegas dalam prinsip, tetapi juga
bijaksana dalam menyampaikan pendapat dengan menjaga adab dalam berdialog,
bahkan kepada yang berbeda pandangan. Jangan sampai pemimpin ngawur dalam
berbicara apalagi kasar gaya komunikasinya sehingga lidahnya selalu menyakiti
hati rakyatnya.
Pelajaran ketiga dari kepemimpinan Nabi Ibrahim adalah
pengorbanan untuk visi besar. Kisah penyembelihan Nabi Ismail adalah contoh
puncak pengorbanan demi menjalankan perintah Allah. Seorang pemimpin adalah
pelayan yang selalu mengorbankan pikiran, harta bahkan nyawa demi kebaikan
rakyatnya. Bukan sebaliknya, pemimpin yang justru rakus dan kerjanya hanya
menipu dan menumpuk-numpuk harta dengan melakukan korupsi.
Pemimpin sejati siap mengorbankan hal-hal pribadi demi
tujuan yang lebih besar. Kadang, memimpin berarti membuat keputusan sulit yang
penuh konsekuensi, tapi tetap dijalani dengan tawakal dan ikhlas. Pemimpin mestinya
selalu berorientasi kepada misi besar bagi kebaikan rakyatnya. Misi besar suatu
bangsa adalah menjadikan negeri yang maju, sejahtera, mulia, berdaulat, berkah
dan mendapatkan ridho Allah.
Pelajaran keempat dari kepemimpinan Nabi Ibrahim
adalah jiwa visioner dan membangun masa depan. Nabi Ibrahim membangun Ka'bah bersama
anaknya, bukan untuk kepentingan sesaat, tapi untuk generasi mendatang, bahkan
hingga kiamat kelak. Sebuah visi besar dan dalam jangka panjang, mengabaikan
kepentingan dirinya dan keluarganya.
Pemimpin yang pantas menjadi teladan, bukanlah
kepemimpinan pragmatis yang selalu berpikir jangka pendek, apalagi hanya untuk
kepentingan dirinya dan keluarganya semata. Seorang pemimpin berpikir jangka
panjang dan membangun fondasi yang kuat untuk masa depan umat dan agama. Daulah
Madinah yang dibangun oleh Rasulullah adalah contoh nyata dari suatu negara
yang memiliki misi besar dan jangka panjang.
Pelajaran kelima dari kepemimpinan Nabi Ibrahim adalah
senantiasa berdoa dan keterhubungan dengan Allah demi kebaikan rakyatnya. Dalam
banyak kesempatan, Nabi Ibrahim berdoa untuk keturunannya, untuk negeri, dan
untuk umat manusia seluruhnya. Pemimpin yang layak jadi teladan adalah pemimpin
yang dekat dengan Allah, senantiasa beribadah dan berdoa kepadaNya.
Seorang pemimpin harus senantiasa bersandar pada
kekuatan spiritual. Kekuatan doa menunjukkan bahwa kesuksesan bukan hanya
karena strategi manusia, tetapi karena pertolongan Allah semata. Pemimpin yang
selalu menyandarkan hidupnya kepada Allah akan menjadi pemimpin yang kuat dan
tidak takut kepada siapapun dalam memperjuangkan kebenaran agama.
Pelajaran keenam dari kepemimpinan Nabi Ibrahim adalah
kesanggupan untuk migrasi demi misi. Nabi Ibrahim rela meninggalkan tanah
kelahiran demi menyebarkan risalah Allah ke wilayah yang lebih luas (Palestina,
Mesir, dan Makkah). Pemimpin kadang harus berani berpindah, mengambil risiko,
dan membuka jalan baru jika itu yang dibutuhkan demi kemajuan negara, rakyat
dan agamanya. Hijrahnya Rasulullah juga merupakan migrasi demi membangun
peradaban Islam di Madinah.
Pelajaran ketujuh dari kepemimpinan nabi Ibrahim
adalah senantiasa memberdayakan keluarga dalam misi yang lebih besar. Istrinya,
Siti Hajar, memainkan peran penting dalam sejarah Makkah dan lahirnya peristiwa
Sa’i (lari antara Shafa dan Marwah). Kepemimpinan yang kuat melibatkan
keluarga.
Pemimpin yang baik menciptakan lingkungan yang
mendukung visi dan menyatukan orang-orang terdekat dalam perjuangannya. Jangan
sebaliknya, istri justru menjadi penghalang dan pengganggu kepemimpinan dan
kemajuan. Istri adalah mitra bagi seorang suami yang mendapat amanah
kepemimpinan. Pemimpin hebat adalah yang memberdayakan keluarga demi kesuksesan
kepemimpinan, bukan malah rusak dan lemah karena gangguan keluarga yang
disorientasi.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, #1055/02/06/25 : 20.56 WIB)