Oleh : Ahmad Sastra
Idul Adha bukan hanya tentang menyembelih
hewan kurban secara fisik, tetapi juga mengandung makna spiritual yang sangat
dalam. Salah satu hikmah terbesarnya adalah mengendalikan dan
"menyembelih" nafsu yang merusak, termasuk nafsu kekuasaan.
Peristiwa Idul Adha berakar dari kisah
pengorbanan Nabi Ibrahim yang rela "menyembelih" putranya demi
ketaatan kepada Allah. Ini adalah bentuk penaklukan total terhadap kehendak
Ilahi, bukan terhadap keinginan pribadi atau kekuasaan. Kekuasaan bukanlah tujuan,
tapi amanah. Jika tidak dikendalikan, kekuasaan bisa menjadi bentuk ibadah yang
tercemar oleh ego dan ambisi.
Dalam konteks modern, nafsu kekuasaan bisa
menjadi berhala baru yang menuntut pengorbanan nilai-nilai kemanusiaan dan
keadilan. Ketika seseorang lebih memilih mempertahankan kekuasaan ketimbang
memperjuangkan kebenaran, maka kekuasaan itu telah menjadi tuhan kecil dalam
dirinya. Idul Adha mengajarkan kita untuk menyembelih berhala-berhala batin:
keserakahan, ambisi kosong, dan dominasi atas orang lain.
Menyembelih hewan adalah simbol. Yang
lebih penting adalah menyembelih ego, keinginan berkuasa tanpa batas, dan
ketakutan kehilangan posisi. Kekuasaan yang tidak dilandasi oleh pengabdian
kepada kebenaran hanya akan melahirkan tirani dan kezaliman.
Idul Adha mengajak setiap individu, terutama
mereka yang memegang kekuasaan—untuk bertanya: Apakah kekuasaan ini saya
gunakan untuk menegakkan keadilan, atau sekadar memuaskan ego?. Sudahkah saya
menyembelih hawa nafsu dalam diri sendiri sebelum saya "menyembelih"
yang lainnya?
Kekuasaan adalah ujian. Dalam banyak
kasus, kekuasaan justru membuka celah bagi munculnya kerakusan dan
keserakahan—nafsu untuk menguasai, mengendalikan, dan mempertahankan kedudukan.
Ketika seseorang berada di puncak kekuasaan,
ia mudah terjebak dalam ilusi, yakni merasa tak tersentuh oleh hukum atau
kritik. Ia memandang jabatan sebagai milik pribadi. Akhirnya dia mengejar lebih
banyak harta, pengaruh, dan loyalitas, bahkan dengan cara yang menindas. Inilah
yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai “hubb al-jah” (cinta kekuasaan berlebihan)
yang bisa menyesatkan hati.
Padahal kekuasaan dalam Islam adalah
amanah, bukan warisan atau alat untuk memperkaya diri. Namun ketika nafsu
mendominasi, kekuasaan berubah menjadi alat untuk mengeruk keuntungan pribadi,
mempertahankan gengsi, dan membungkam suara yang berbeda. Ini adalah bentuk
kezaliman batin yang sering tidak disadari karena dibungkus oleh justifikasi
“demi rakyat” atau “demi stabilitas”.
Idul Adha mengajarkan bahwa yang harus
disembelih bukan hanya hewan, tapi juga: (1) Nafsu untuk terus berkuasa meski
dengan cara haram (2) Nafsu untuk menyingkirkan kebenaran demi mempertahankan
posisi (3) Nafsu untuk terus menimbun kekayaan dengan dalih pengabdian
Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail bukan hanya
tentang ketaatan, tapi tentang melepaskan apa yang paling dicintai, bahkan jika
itu adalah anak, jabatan, atau kuasa, demi Tuhan dan kebenaran. Kekuasaan
memang menggoda. Tapi jika tidak dikendalikan, ia akan menelan manusia
bulat-bulat, menjadikannya rakus, buta, dan jauh dari nilai kemanusiaan.
Dalam Islam, kepemimpinan bukanlah hadiah
atau komoditas politik yang bisa diperebutkan dengan segala cara. Ia adalah
amanah yang berat, yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Kepemimpinan bukan kehormatan, tapi beban,
sebagaimana sabda Nabi Muhammad : "Wahai Abdurrahman bin Samurah,
janganlah kamu meminta jabatan, karena jika kamu diberi tanpa memintanya, kamu
akan dibantu; tapi jika kamu diberi karena kamu memintanya, kamu akan
diserahkan kepadanya (tanpa pertolongan Allah)." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa semakin
seseorang mengejar kekuasaan, semakin besar potensi dia tergelincir dalam
fitnah jabatan itu. Rebutan Kekuasaan Melahirkan Kerusakan, misalnya akan lahir
intrik, manipulasi, dan pengkhianatan, akan hancur etika dan kejujuran, serta jabatan
tak lagi dipilih karena kelayakan, tapi karena kekuatan lobi dan ambisi. Padahal pemimpin sejati bukan yang ingin
berkuasa, tapi yang siap memikul tanggung jawab besar untuk melayani dan
menegakkan keadilan.
Nabi Ibrahim tidak mengejar kekuasaan. Ia
menjadi pemimpin karena ketaatan mutlaknya kepada Allah. Itulah kepemimpinan
yang lahir dari pengabdian, bukan ambisi. Kepemimpinan sejati lahir dari
kerendahan hati, kejujuran, dan keteladanan, bukan dari ambisi pribadi.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No. 1056/06/06/2025
: 04.40)