KETIKA ULAH TANGAN OLIGARKI SERAKAH MENYEBABKAN KERUSAKAN EKOLOGI



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Deforestasi di Indonesia

 

Kementerian Kehutanan merilis hasil pemantauan tahunan mengenai kondisi hutan dan angka deforestasi di Indonesia. Pemantauan ini dilakukan secara menyeluruh di seluruh daratan Indonesia yang mencakup 187 juta hektare, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan, menggunakan citra satelit Landsat yang disediakan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

 

Hasil pemantauan menunjukkan bahwa luas lahan berhutan di Indonesia pada tahun 2024 mencapai 95,5 juta hektare, atau 51,1% dari total daratan. Dari angka tersebut, sekitar 91,9% (87,8 juta hektare) berada di dalam kawasan hutan.

 

Sementara itu, angka deforestasi netto tahun 2024 tercatat sebesar 175,4 ribu hektar. Angka ini diperoleh dari deforestasi bruto sebesar 216,2 ribu hektare dikurangi hasil reforestasi yang mencapai 40,8 ribu hektare. Mayoritas deforestasi bruto terjadi di hutan sekunder dengan luas 200,6 ribu hektare (92,8%), di mana 69,3% terjadi di dalam kawasan hutan dan sisanya di luar kawasan hutan.

 

Ketua Auriga Nusantara Timer Manurung mengatakan angka deforestasi hutan di Indonesia sepanjang 2024 mengalami penambahan 4.191 hektare menjadi 261.575 hektare. Dari jumlah hutan yang hilang sepanjang 2024, Kalimantan menjadi pulau yang mengalami deforestasi terparah dengan 129.896 hektare.

 

Adapun Kalimantan Timur menjadi provinsi tertinggi terjadinya deforestasi seluas 44.483 hektare. Lalu Kalimantan Barat seluas 39.598 hektare, Kalimantan Tengah 33.389 hektare, Riau 20.812 hektare, Sumatra Selatan 20.184 hektare, Jambi 14.839 hektare, Aceh 8.962 hektare, Kalimantan Utara 8.767 hektare, Bangka Belitung 7.956 hektare, Sumatra Utara 7.303 hektare, dan 27 provinsi lainnya 55.282 hektare.

 

Kampanye "Save Raja Ampat" tiba-tiba mencuat ke publik. Publik menuntut penghentian eksploitasi alam di kawasan Raja Ampat yang dijuluki sebagai “surga terakhir di bumi”. Pasalnya, eksploitasi tambang nikel dinilai telah mengancam keberlangsungan ekosistem laut dan hutan tropis di kawasan itu.

 

 

Lanskap laut biru kehijauan yang berkilau, gugusan pulau karst, serta keanekaragaman hayati bawah laut yang mengagumkan menjadikan Raja Ampat sebagai salah satu destinasi wisata unggulan Indonesia di mata dunia. Terletak di ujung barat Pulau Papua, Raja Ampat dikenal sebagai surga penyelam berkat kekayaan terumbu karangnya yang menjadi rumah bagi ribuan spesies laut. Namun, di balik pesona tersebut, Raja Ampat tengah menjadi sorotan publik. Isu aktivitas tambang nikel di kawasan sekitarnya mencuat ke permukaan.

 

Greenpeace dan Masyarakat Adat Papua memprotes dampak buruk pertambangan dan hilirisasi nikel dalam Indonesia Critical Mineral Conference & Expo 2025, di Jakarta, Selasa (3/6/2025). Dalam konferensi dan pameran yang pesertanya dari berbagai negara itu, mereka menyuarakan penghentian eksploitasi industri nikel yang menyebabkan kerusakan ekosistem alam dan sosial masyarakat.

 

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mencatat, ada 380 Izin Usaha Pertambangan (IUP) Nikel dengan total luas 983.300,48 hektar di berbagai wilayah di Indonesia. Alih-alih membawa kesejahteraan, pengerukan nikel justru menimbulkan kerusakan alam dan meningkatkan kemiskinan masyarakat.

 

Indonesia bahkan mengalami kerusakan hutan tropis akibat industri pertambangan paling tinggi di dunia dengan menyumbang 58,2 persen deforestasi (penggundulan hutan) dari 26 negara yang diteliti. Deforestasi tropis dari industri pertambangan di Indonesia ini mencapai puncaknya pada periode 2010–2014 dan terus berlanjut hingga hari ini (Kompas, 13 September 2022).

 

Inilah akibat Pemerintah mengizinkan berbagai pembukaan tambang oleh korporasi, termasuk di daerah konservasi. Padahal menyerahkan sumber daya alam milik rakyat kepada oligarki sama dengan menjual negeri ini.

 

Kehancuran Ekologi Akibat Kerasukan Oligarki

 

Kerusakan lingkungan hidup dapat diartikan sebagai proses deteriorasi atau penurunan mutu (kemunduran) lingkungan. Deteriorasi lingkungan ini ditandai dengan hilangnya sumber daya tanah, air, udara, punahnya flora dan fauna liar, dan kerusakan ekosistem.

 

Deforestasi (penggundulan hutan) besar-besaran yang terjadi di negeri ini tidak bisa dilepaskan dari penerapan sistem ekonomi Kapitalisme. Ekonomi Kapitalisme dikuasai oleh segelintir oligarki. Sistem ini memungkinkan para pemilik perusahaan besar atau individu kaya untuk berinvestasi dalam proses politik, baik melalui lobi, sumbangan politik, atau bahkan mempengaruhi kebijakan publik.

 

Dalam Kapitalisme, tanah dan sumber daya alam adalah komoditas. Negara menjadi fasilitator kepentingan pemilik modal. Atas nama investasi dan pertumbuhan ekonomi, segala hal dapat dikorbankan: mulai dari hutan lindung, laut hingga hak masyarakat adat. Inilah yang kini terjadi juga di Raja Ampat. Wilayah yang semestinya dijaga karena status konservasinya justru dilepas untuk dikeruk demi nikel. Nikel adalah komoditas yang sedang diburu pasar global untuk baterai kendaraan listrik.

 

Oligarki adalah anak kandung Kapitalisme. Merekalah penguasa dan pengendali ekonomi. Bukan Pemerintah. Dalam hal eksplorasi tambang, para oligarki bisa menggunakan lobi, kampanye politik dan media untuk mempertahankan status quo dan menghindari tanggung jawab ekologis.

 

Dampak gabungan dari sistem Kapitalisme yang rakus dan kekuasaan oligarki menciptakan berbagai kerusakan lingkungan. Misalnya, deforestasi (penggundulan hutan) untuk pertanian komersial atau tambang; pencemaran udara dan air oleh industri; perubahan iklim akibat pembakaran bahan bakar fosil; eksploitasi berlebih terhadap lahan, laut dan keanekaragaman hayati.

 

Dalam banyak kasus, segelintir elite ekonomi dan politik memanfaatkan kekuasaan mereka untuk menguras sumber daya alam demi keuntungan pribadi. Mereka sering mengorbankan kesejahteraan masyarakat luas dan keberlanjutan lingkungan.

 

Korporasi raksasa mengambil-alih ribuan hektar tanah untuk perkebunan monokultur (seperti sawit dan tebu). Oligarki dengan pongahnya sering mengusir masyarakat adat dan petani kecil. Proyek infrastruktur skala besar seperti bendungan, tambang dan kawasan industri sering merusak lingkungan lokal dan melanggar hak-hak komunitas.

 

Kerakusan kaum oligarki ini tidak mendapat hambatan karena memiliki koneksi langsung ke kekuasaan politik. Mereka mampu membentuk undang-undang, meloloskan izin dan menghindari sanksi hukum. Aparat negara sering justru melindungi kepentingan korporat, bukan rakyat.

 

Dampak sosial dan ekologis akibat kerakusan kaum oligarki ini adalah adanya ketimpangan ekonomi yang makin tajam. Sering juga terjadi konflik agraria dan kriminalisasi terhadap pembela lingkungan. Bahkan kerakusan oligarki juga sering menimbulkan krisis iklim global dan kehilangan keanekaragaman hayati.

 

Bencana Akibat Kerusakan Lingkungan

 

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sepanjang 2024 terjadi 2.107 bencana di Indonesia, menurun dibandingkan 2023. Bencana banjir bandang dan tanah longsor menjadi penyebab kematian terbanyak. 

Dibandingkan 2023 yang mencatat sedikitnya 5.400 bencana, 2024 lalu terjadi penurunan, yaitu menjadi 2.107 bencana. Namun, hal ini lebih dikarenakan mekanisme baru yang digunakan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) saat mencatat kejadian bencana, yang setahun terakhir ini menggunakan Petunjuk Pelaksanaan Standar Data Kejadian dan Dampak Bencana Tahun 2023. Aturan itu menetapkan standarisasi data kejadian dan dampak bencana yang minimal harus memenuhi salah satu dari 6 kriteria.

 

Kejadian bencana alam mendominasi bencana di Indonesia sepanjang 2024 berupa bencana hidrometeorologi, yaitu sebesar 98,86 persen; dan bencana geologi sebanyak 1,14 persen.

 

Dampak bencana alam di seluruh Indonesia sepanjang 2024 menyebabkan 489 orang meninggal dunia, 58 orang hilang, 11.538 orang luka atau sakit, dan lebih dari 6 juta orang menderita dan mengungsi. Selain itu bencana alam juga menyebabkan 60 ribu rumah rusak, 954 fasilitas umum rusak seperti satuan pendidikan, rumah ibadat dan fasilitas pelayan kesehatan.

 

Sepanjang 2024 terdapat 1.088 bencana banjir dan 135 bencana tanah longsor yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Korban meninggal dan hilang dalam bencana banjir bandang sebanyak 248 orang sedangkan bencana tanah longsor berjumlah 233 orang.

 

Ditambahkannya, pada 2024 lalu BNPB melakukan uji coba sistem peringatan dini khusus untuk banjir lahar dingin di Gunung Marapi dan Gunung Ibu yang diharapkan dapat memberikan informasi kenaikan debit air di sungai yang berhulu di gunung. Upaya itu dilakukan menyikapi banjir bandang lahar dingin yang pada Mei 2024 menewaskan 56 orang dan 10 lainnya hilang di Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Agam Provinsi Sumatra Barat.

 

Diwawancarai secara terpisah Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan, Muhammad Al Amin menilai tingginya bencana banjir dan tanah longsor sepanjang 2024 merupakan cerminan dari kondisi lingkungan di Indonesia yang rusak oleh masifnya pembukaan lahan, deforestasi dan degradasi hutan.

 

Ia mengingatkan perubahan iklim telah mempengaruhi curah hujan tinggi yang memicu banjir dan longsor sehingga dibutuhkan kebijakan pemerintah untuk memitigasi perubahan iklim dengan kebijakan moratorium izin tambang nikel serta menghentikan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara, khususnya PLTU, untuk pabrik-pabrik smelter nikel di Sulawesi dan Maluku Utara

 

Haram Merusak Lingkungan

 

Sampai kapanpun ulah jahat Kapitalisme melalui tangan-tangan oligarki akan terus menciptakan kerusakan ekologi dan memiskinkan rakyat bahkan mendatangkan berbagai bentuk bencana. Padahal Allah SWT telah dengan tegas melarang manusia untuk melakukan tindakan fasad/kemaksiatan, di antaranya adalah menghancurkan lingkungan:

Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi sesudah bumi itu Allah perbaiki. Berdoalah kalian kepada Dia dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sungguh rahmat Allah amat dekat dengan kaum yang berbuat baik (TQS al-A’raf [7]: 56).

 

Ironisnya, proyek tambang ini diklaim sebagai bagian dari "transisi hijau". Padahal metode penambangannya jelas merusak hutan, mencemari laut dan mengganggu kehidupan masyarakat lokal. Inilah watak Kapitalisme: menyulap perusakan menjadi keuntungan; membungkus eksploitasi dengan jargon pembangunan berkelanjutan. Hal ini sebenarnya telah Allah ingatkan dalam firman-Nya:

 

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena ulah tangan manusia. (Dengan itu) Allah bermaksud menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (TQS ar-Rum [30]: 41).

 

Jelas, berdasarkan ayat ini, berbagai bencana kerusakan di daratan dan di lautan—seperti kekeringan, minimnya hujan, pencemaran sungai, banyaknya penyakit dan wabah, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan—disebabkan oleh ulah (kemaksiatan) manusia. Dalam sistem Kapitalisme, pelaku utama kerusakan alam adalah oligarki kapitalis.

 

Berbagai bentuk bencana tersebut adalah “hukuman” sebagai konsekuensi dari sebagian kemaksiatan manusia di dunia. Tujuannya adalah agar mereka bertobat kepada Allah SWT dan kembali pada syariah-Nya. Di antaranya dengan mengembalikan pengelolaan sumber daya alam sesuai dengan tuntunan syariah Islam sehingga tidak sampai merusak alam.

 

Pengelolaan SDA Sesuai Syariah Islam

 

Berbagai bentuk kerusakan ekologi akibat penambangan oleh para oligarki adalah akibat kesalahan konsep kepemilikan. Dalam Islam, tambang, sebagaimana sumber daya strategis lainnya, adalah milik umum (milkiyyah ‘âmmah) yang wajib dikuasai dan dikelola oleh negara untuk kesejahteraan rakyat. Semua SDA yang menguasai hajat orang banyak itu haram dimiliki oleh swasta apalagi asing atau diprivatisasi.

 

Dalilnya adalah sabda Nabi saw.: Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad).

 

Oleh karena itu, dalam sistem Islam, tambang nikel (dalam skala besar), misalnya, haram dimiliki oleh swasta apalagi asing. Dalam sistem Islam, tambang akan dikelola sepenuhnya—tanpa merusak ekologi—oleh negara. Hasilnya untuk kemaslahatan umat secara adil.

 

Dalam pandangan Islam, manusia berfungsi sebagai khalifah di bumi (QS al-Baqarah [2]: 30). Karena itu Islam memandang alam sebagai amanah dari Allah SWT yang harus mereka jaga. Alam boleh dimanfaatkan, tetapi tidak boleh sampai merusak lingkungan. Karena itu Islam akan memastikan pengelolaan sumber daya alam harus sesuai dengan tuntunan syariah yang tidak menimbulkan kerusakan dan kerugian. Allah SWT berfirman:

 

Dia (Allah) telah menciptakan kalian dari bumi (tanah) dan menjadikan kalian pemakmurnya. Karena itu mohonlah ampunan-Nya, lalu bertobatlah kepada Dia. “Sungguh Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).” (TQS Hud [11]: 61).

 

Dengan demikian hanya sistem Islamlah yang mampu mengelola sumber daya alam. Sumber daya milik umum ini akan dikelola oleh negara sesuai dengan tuntunan syariah Islam semata-mata untuk kesejahteraan rakyat tanpa merusak ekologinya. Dalam hal penambangan, dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), Khalifah (kepala Negara Islam) adalah râ'in (pengurus rakyat).

 

Karena itu Negara (Khilafah) bertanggung jawab penuh dalam hal pengelolaan milik umum demi kemaslahatan umat. Negara tidak boleh menjadi mitra bisnis korporasi tambang. Hasil tambang nikel atau sumber daya alam lain wajib dikelola oleh Khilafah dan hasilnya disalurkan ke Baitul Mal untuk pelayanan publik, bukan untuk investor atau elit politik.

 

Eksploitasi tambang nikel di Raja Ampat adalah cermin dari kegagalan sistem hukum jahiliah Kapitalisme dalam menjaga dan merawat amanah bumi. Ia adalah pengingat bahwa selama sistem kufur ini masih menguasai tata kelola negara dan sumber daya alam, maka kerusakan demi kerusakan akan terus terjadi.

 

Saatnya bangsa ini melepaskan diri dari jeratan sistem Kapitalisme yang selama ini telah terbukti rusak dan merusak. Selanjutnya, bangsa ini harus segera menerapkan sistem Islam secara kâffah. Penerapan sistem Islam secara kâffah adalah wujud keimanan dan ketakwaan hakiki. Saat demikian niscaya keberkahan akan turun kepada bangsa ini. Demikian sebagaimana firman-Nya:

 

Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu. Karena itu Kami menghukum mereka karena perbuatan mereka itu (TQS al-A’raf [7]: 96)

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1063/14/06/25 : 05.15 WIB) 



__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.