MENYUDAHI PRO-KONTRA DATA KEMISKINAN DI INDONESIA ANTARA BANK DUNIA DAN BPS, MESTINYA PEMERINTAH SEGERA MELAKUKAN TRANSFORMASI SISTEMIK

 


 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Heboh, laporan terbaru Macro Poverty Outlook dari Bank Dunia edisi April 2025 menyebut 60,3% penduduk Indonesia, sekitar 171,8 juta jiwa, masih hidup di bawah garis kemiskinan hingga akhir tahun 2024. Sedangkan di sisi lain, BPS menggunakan metode kebutuhan dasar (Cost of Basic Needs/CBN) untuk mengukur tingkat kemiskinan di Indonesia. Garis kemiskinan ditentukan berdasarkan pengeluaran minimal yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan nonpangan, seperti pendidikan, perumahan, dan transportasi, dan diukur dalam skala rumah tangga.

 

Menurut Bank Dunia, jumlah penduduk miskin Indonesia, sebagai negara berpendapatan menengah atas, mencapai 171,8 juta penduduk atau 60,3 persen dari jumlah populasi pada tahun 2024. Tingkat kemiskinan yang sangat tinggi ini menempatkan Indonesia di urutan keempat negara termiskian di dunia, dari 54 negara dengan klasifikasi yang sama. Indonesia hanya lebih baik dari Afrika Selatan (63,4 persen), Namibia (62,5 persen) dan Botswana (61,9 persen).

 

Menurut Anthony Budiawan, Bank Dunia membagi ekonomi dunia menjadi empat kelompok berdasarkan klasifikasi pendapatan nasional bruto atau PNB. Keempat kelompok tersebut yaitu negara berpendapatan rendah (low-income countries), negara berpendapatan menengah bawah (lower middle-income countries), negara berpendapatan menengah atas (upper middle-income countries), dan negara berpendapatan tinggi (high-income countries).

 

Pro-Kontra Data Kemiskinan

 

Badan Pusat Statistik (BPS) pada tanggal 2 Mei 2025 merilis sebuah tulisan berjudul : Memahami Perbedaan Angka Kemiskinan versi Bank Dunia dan BPS. Dituliskan bahwa awal April 2025, Bank Dunia melalui Macro Poverty Outlook menyebutkan bahwa pada tahun 2024 lebih dari 60,3 persen penduduk Indonesia atau setara dengan 171,8 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan. Di sisi lain, data resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan Indonesia per September 2024 sebesar 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa.

 

Perbedaan angka ini memang terlihat cukup besar, namun penting untuk dipahami secara bijak bahwa keduanya tidak saling bertentangan. Perbedaan muncul disebabkan adanya perbedaan standar garis kemiskinan yang digunakan dan untuk tujuan yang berbeda.

 

Bank Dunia memiliki 3 pendekatan atau standar garis kemiskinan untuk memantau pengentasan kemiskinan secara global dan membandingkan tingkat kemiskinan antarnegara, yaitu: international poverty line untuk menghitung tingkat kemiskinan ekstrem (US$ 2,15 per kapita per hari), US$3,65 per kapita per hari untuk negara-negara berpendapatan menengah bawah (lower-middle income), dan US$ 6,85 per kapita per hari untuk negara-negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income).

 

Ketiga garis kemiskinan tersebut dinyatakan dalam US$ PPP atau purchasing power parity, yaitu metode konversi yang menyesuaikan daya beli antarnegara. Nilai dollar yang digunakan bukanlah kurs nilai tukar yang berlaku saat ini melainkan paritas daya beli. US$ 1 PPP tahun 2024 setara dengan Rp5.993,03.

 

Angka kemiskinan Indonesia sebesar 60,3 persen, diperoleh dari estimasi tingkat kemiskinan dengan menggunakan standar sebesar US$6,85 PPP yang disusun berdasarkan median garis kemiskinan 37 negara berpendapatan menengah atas, bukan berdasarkan kebutuhan dasar penduduk Indonesia secara spesifik. Bank Dunia juga menyarankan agar tiap negara menghitung garis kemiskinan nasional (National Poverty Line) masing-masing yang disesuaikan dengan karakteristik serta kondisi ekonomi dan sosial masing-masing negara.

 

Walaupun Indonesia saat ini berada pada klasifikasi negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income country/UMIC) dengan Gross National Income (GNI) per kapita sebesar US$4.870 pada tahun 2023, namun perlu diperhatikan bawah posisi Indonesia baru naik kelas ke kategori UMIC dan hanya sedikit di atas batas bawah kategori UMIC, yang range nilainya cukup lebar, yaitu antara US$4.516- US$14.005. Sehingga, bila standar kemiskinan global Bank Dunia diterapkan, akan menghasilkan jumlah penduduk miskin yang cukup tinggi.

 

BPS mengukur kemiskinan di Indonesia dengan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN). Jumlah rupiah minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar ini dinyatakan dalam Garis Kemiskinan. Garis kemiskinan dihitung berdasarkan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan.

 

Komponen makanan didasarkan pada standar konsumsi minimal 2.100 kilokalori per orang per hari, disusun dari komoditas umum seperti beras, telur, tahu, tempe, minyak goreng, dan sayur, sesuai pola konsumsi rumah tangga Indonesia. Komponen non-makanan mencakup kebutuhan minimum untuk tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pakaian, dan transportasi.

 

Garis kemiskinan dihitung berdasarkan hasil pendataan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang memotret atau mengumpulkan data tentang pengeluaran serta pola konsumsi masyarakat. Susenas dilaksanakan 2 kali dalam setahun. Tahun 2024, Susenas dilaksanakan pada bulan Maret dengan cakupan 345.000 rumah tangga di seluruh Indonesia, dan pada bulan September dengan cakupan 76.310 rumah tangga. Pengukuran dilakukan pada tingkat rumah tangga, bukan individu, karena pengeluaran dan konsumsi dalam kehidupan nyata umumnya terjadi secara kolektif.

 

Oleh karenanya, garis kemiskinan yang dihitung oleh BPS dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat Indonesia. Penghitungan serta rilis angka garis kemiskinan BPS dilakukan secara rinci berdasarkan wilayah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, dengan membedakan antara perkotaan dan perdesaan. Pada September 2024, garis kemiskinan nasional per kapita tercatat Rp595.242 per bulan.

 

Namun, perlu diperhatikan, konsumsi terjadi dalam konteks rumah tangga, bukan per orang. Rata-rata rumah tangga miskin terdiri dari 4,71 anggota rumah tangga, sehingga garis kemiskinan untuk satu rumah tangga secara rata-rata nasional adalah Rp2.803.590 per bulan. Garis kemiskinan berbeda untuk setiap provinsi, sebab garis kemiskinan dan rata-rata anggota rumah tangga miskin untuk setiap provinsi berbeda.

 

Sebagai contoh, garis kemiskinan rumah tangga di DKI Jakarta mencapai Rp4.238.886, di Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar Rp3.102.215, dan di Lampung sebesar Rp2.821.375. Perbedaan ini mencerminkan perbedaan tingkat harga, standar hidup, dan pola konsumsi di setiap daerah.

 

Perlu kehati-hatian dalam membaca angka garis kemiskinan. Garis kemiskinan adalah angka rata-rata yang tidak memperhitungkan karakteristik individu seperti usia, jenis kelamin, atau jenis pekerjaan. Secara mikro, angka ini tidak bisa langsung diartikan sebagai batas pengeluaran orang per orang. Sebagai contoh, di DKI Jakarta, garis kemiskinan per kapita pada September 2024 adalah Rp846.085 per bulan. Jika ada satu rumah tangga dengan lima anggota (ayah, ibu, dan tiga balita) maka tidak tepat jika diasumsikan bahwa kebutuhan atau pengeluaran ayah sama dengan balita.

 

Karena konsumsi terjadi dalam satu rumah tangga, pendekatan yang lebih tepat adalah melihat garis kemiskinan rumah tangga. Dalam kasus ini, garis kemiskinan rumah tangga tersebut adalah Rp 4.230.425 per bulan. Angka inilah yang lebih representatif untuk memahami kondisi sosial ekonomi rumah tangga tersebut.

 

Dengan memahami konsep garis kemiskinan yang benar, maka kemiskinan tidak dapat diterjemahkan sebagai pendapatan per orang, dan bahkan tidak bisa diartikan sebagai gaji 20 ribu/hari bukan orang miskin.

 

Terakhir, perlu dipahami pula bahwa penduduk yang berada di atas garis kemiskinan (GK) belum tentu otomatis tergolong sejahtera atau kaya. Di atas kelompok miskin, terdapat kelompok rentan miskin (1,0-1,5 x GK), kelompok menuju kelas menengah (1,5-3,5 GK), kelas menengah (3,5-17 x GK), dan kelas atas (17 x GK).

 

Kondisi September 2024, persentase kelompok miskin adalah 8,57 persen (24,06 juta jiwa), kelompok rentan miskin adalah 24,42 persen (68,51 juta jiwa); kelompok menuju kelas menengah 49,29 persen (138,31 juta jiwa), kelas menengah 17,25 persen (48,41 juta jiwa), dan kelas atas 0,46 persen (1,29 juta jiwa).

 

Menanggapai rilis bank Dunia, Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies), 12 Juni 2025 menulis artikel dengan judul  Peringkat Empat Negara Termiskin Dunia, Indonesia Mendekati Negara Gagal.  Dia menegaskan bahwa tidak terbayangkan, Indonesia yang kita banggakan, Indonesia dengan kekayaan alam berlimpah dan tanah nan subur, faktanya mempunyai jumlah penduduk miskin sedemikian besar, dan menempati peringkat 4 negara dengan jumlah penduduk miskin terbanyak di dunia. Sungguh ironi.

 

Anthony menegaskan bahwa data di atas membuktikan Indonesia gagal dalam menjalankan perintah konstitusi untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Indonesia gagal mewujudkan cita-cata kemerdekaan 1945. Indonesia gagal mewujudkan cita-cita reformasi tahun 1998 yang membuat Presiden Soeharto mengundurkan diri setelah 32 tahun berkuasa.

 

Kalau kondisi seperti ini terus berlanjut, tegasnya, Indonesia semakin dekat menjadi negara gagal dalam membangun bangsa yang bermartabat dan berdaulat. Hanya perubahan signifikan dan menyeluruh yang dapat mencegah bangsa ini masuk ke jurang kemiskinan. Semoga para tokoh dan elit bangsa ini segera menyadarinya dan mencari solusi bersama. Pemberantasan korupsi, dan mengadili para koruptor, termasuk pejabat tinggi negara, menjadi prasyarat utama untuk memberantas kemiskinan.

 

Sungguh, perbedaan standar kemiskinan antara Bank Dunia dan pemerintah tidak lantas membuat kemiskinan di negeri kita bisa diatasi secara tuntas. Rendahnya standar kemiskinan yang meski pemerintah klaim lebih riil dengan kondisi masyarakat Indonesia, sejatinya hanya kesuksesan semu pemerintah untuk mengurangi angka kemiskinan secara nasional.

 

Lebih buruk lagi, hal itu tidak ubahnya manipulasi angka yang suatu saat nanti bisa digunakan untuk menarik investasi. Namun toh lagi-lagi datangnya investasi itu tidak akan berdampak positif bagi masyarakat luas, melainkan hanya “numpang lewat” di tangan korporasi. Dengan kata lain, sungguh kapitalisme yang tegak di negeri ini telah gagal menyejahterakan rakyat.

 

Kemiskinan di Indonesia nyatanya tidak hanya miskin yang biasa-biasa saja, sebagaimana rakyat yang gajinya di bawah garis kemiskinan. Namun, di negeri yang gemah ripah loh jinawi ini ternyata ada warga miskin dengan status ekstrem. Merujuk data BPS, tingkat kemiskinan ekstrem per Maret 2024 mencapai 0,83%. Angka tersebut menurun dibandingkan data Maret 2023, yakni 1,12%.

 

Mengutip laman Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesejahteraan Sosial Kemenko PMK (2024), kemiskinan ekstrem menggambarkan keadaan seseorang atau kelompok yang tidak mampu memenuhi kebutuhan paling dasar, seperti makanan, air bersih, sanitasi, layanan kesehatan, tempat tinggal yang layak, pendidikan, serta akses terhadap informasi dan layanan sosial yang penting untuk kehidupan sehari-hari. Namun faktanya, kelompok masyarakat yang seperti ini tidaklah sedikit.

 

Menurut Kemenko PMK pula, kemiskinan ekstrem bisa dilihat ketika penghasilan seseorang kurang dari Rp45 ribu/hari. Masalahnya jika di dalam satu keluarga hanya satu orang yang bekerja, tentunya nominal Rp45 ribu itu digunakan untuk biaya hidup harian sekeluarga. Pemerintah Indonesia menargetkan penghapusan kemiskinan ekstrem pada 2024. Meskipun ada penurunan angka kemiskinan ekstrem, target penghapusan kemiskinan ekstrem tentu membutuhkan dukungan dan solusi sistemis dari luar sistem kapitalisme.

 

Penerapan Sistem Kapitalisme Penyebab Utama Kemiskinan

 

Apakah rakyat miskin 8 persen sebagaimana yang diungkap oleh BPS ataukah 60 persen sebagaimana hasil penelitian Bank Dunia. Intinya keduanya mengungkap bahwa di negeri ini ternyata masih sangat banyak rakyat yang miskin, padahal negeri ini dikenal sebagai negeri yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang sangat melimpah. Logikanya, semestinya jika memiliki sumber daya alam yang melimpah, maka rakyat tidak akan terjerat kemiskinan.

 

Mengapa kapitalisme bisa menyebabkan kemiskinan. Pertama karena adanya ketimpangan distribusi Kekayaan. Kapitalisme memungkinkan individu atau perusahaan yang memiliki modal besar untuk terus memperbesar kekayaannya. Mereka yang tidak memiliki modal (buruh, petani kecil, pedagang kecil) bisa tertinggal karena tidak punya akses yang sama terhadap sumber daya dan peluang.

 

Kemiskinan rakyat yang makin menganga akibat penerapan sistem kapitalisme juga karena adanya eksploitasi tenaga kerja. Dalam kapitalisme, perusahaan sering kali memaksimalkan keuntungan dengan cara menekan biaya, termasuk upah buruh. Ini bisa menyebabkan banyak pekerja menerima upah minimum atau di bawah standar hidup yang layak.

 

Akses yang tidak merata ke pendidikan dan kesehatan akibat penerapan sistem kapitalisme juga akan menyebabkan kemiskinan rakyat. Di sistem kapitalis, layanan seperti pendidikan dan kesehatan sering dikomersialisasi. Orang miskin sulit mengakses layanan berkualitas karena biayanya mahal, yang memperkuat siklus kemiskinan.

 

Pengabaian terhadap kebutuhan sosial juga menjadi karakter sistem kapitalisme.  Kapitalisme fokus pada keuntungan, bukan pada keadilan sosial atau kesejahteraan bersama. Masalah sosial seperti kemiskinan ekstrem, pengangguran, dan tunawisma bisa diabaikan jika tidak menguntungkan secara ekonomi.

 

Bukan hanya sampai disitu, kapitalisme yang melahirkan oligarki, sistem ekonomi di mana sebagian besar kekayaan dan kekuasaan dikuasai oleh segelintir orang atau keluarga kaya juga berkarakter transaksional. Kekuasaan dan kebijakan dijalankan melalui transaksi politik, seperti suap, lobi, atau pembelian regulasi, disinilah sering terjadi tindak korupsi para penguasa. Korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi, biasanya melibatkan pejabat publik dan pebisnis besar. Entah sudah berapa ribu triliun uang rakyat digarong para penjahat birokrasi.

 

Di Indonesia banyak terjadi kasus di mana perusahaan besar mendapat konsesi lahan, tambang, dan proyek negara melalui hubungan politik (korupsi dan kolusi), sementara rakyat di sekitarnya tetap miskin dan termarginalkan. Di Amerika Latin, negara-negara seperti Brasil dan Venezuela pernah mengalami bentuk kapitalisme oligarkis yang memperparah ketimpangan sosial. Bahkan di Rusia, setelah Uni Soviet bubar, kapitalisme oligarki membuat segelintir "oligark" menguasai kekayaan nasional, sementara rakyat miskin. Dengan demikian, kemiskinan di Indonesia tidak akan pernah turun, bahkan akan terus naik angkanya selama masih menerapkan sistem kapitalisme oligarki yang memang busuk secara sistemik.

 

Transformasi Sistemik

 

Transformasi sistemik dari kapitalisme ke sistem ekonomi Islam adalah sebuah keharusan yang mendesak karena melihat kondisi ketimpangan, eksploitasi, dan kemiskinan akibat Penerapan sistem kapitalisme yang tidak terkendali. Sistem Islam adalah solusi alternatif yang lebih adil, beretika, dan berbasis kesejahteraan kolektif (maslahah umum).

 

Ada tahapan transformasi dari sistem kapitalisme ke sistem Islam. Tahap pertama adalah menumbuhkan kesadaran ideologis dan sosial di tengah-tengah masyarakat Indonesia.  Pemerintah atau ulam perlu melakukan edukasi publik tentang bahaya kapitalisme transaksional dan keunggulan ekonomi Islam. Membangun kesadaran bahwa kemiskinan bukan nasib, tapi akibat sistem juga penting dipahamkan kepada rakyat mayoritas muslim ini.

 

Pada tahap ini fungsi pendidikan dan dakwah Islam sangat penting untuk menumbuhkan kesadaran dan pemahaman kaum muslimin di negeri ini akan kebobrokan dan kebatilan sistem kapitalisme sekuler yang terbukti telah merusak negeri ini. Pemahaman akan melahirkan kesadaran, kesadaran akan melahirkan komitmen, sedangkan komitmen akan melahirkan konsistensi.

 

Islam sebagai agama dakwah dan muslim sebagai penyerunya telah dinyatakan Allah dalam firmanNya : Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma´ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik [QS Ali Imran : 110]

 

Umat Islam harus dididik agar memiliki kesadaran politik Islam dengan memandang fenomena politik ini dengan sudut pandang Islam. Kaum muslimin tidak boleh menjadi buih di tengah gelombang politik sekuler yang terjadi di negeri ini. Kaum muslimin harus memiliki pemikiran ideologis sehingga mampu melakukan pembacaan atas segala realitas negeri ini dengan sudut pandang Islam.

 

Dalam pandangan Islam, masyarakat diibaratkan sebagai sekelompok penumpang kapal. Para penumpang itu berada di ruang bawah dan ruang atas kapal. Jika suatu saat penumpang yang berada di ruang bawah kapal menginginkan air dengan cara melubangi dinding kapal berharap mendapat kucuran air laut dengan asumsi agar tidak mengganggu penumpang yang diatas, maka apa yang akan terjadi.

 

Justru dengan perbuatan itu, kapal bisa tenggelam dan seluruh penumpang akan terkena dampaknya. Karena itu penumpang yang diatas harus mengingatkan untuk tidak melakukan tindakan itu, jika menginginkan keselamatan seluruh penumpang. Begitulan Islam, mengingatkan manusia agar tidak membuat lubang-lubang kezoliman dan kemaksiatan karena akan berdampak buruk kepada seluruh manusia.

 

Kapal itu ibarat universalitas Islam yang dengan sistem nilainya mampu menampung segala manusia dari berbagai ragam yang melekat pada dirinya. Selama manusia itu bisa memberikan ketaatan kepada nilai-nilai agung Islam, maka manusia akan mendapatkan kehidupan yang damai dan sejahtera. Sebab Islam lahir untuk mengubah berbagai bentuk kezoliman  menjadi kemuliaan.

 

Dakwah ini memerlukan keimanan dan pemahaman tentang realitas sebagai hakekat keimanan dan wilayahnya dalam sistem kehidupan. Keimanan dan tataran inilah yang akan menjadikan kebergantungan secara total kepada Allah, serta keyakinan bulat akan pertolonganNya kepada kebaikan serta perhitungan akan pahala di sisiNya, sekalipun jalannya sangat jauh. Orang yang bangkit untuk memikul tanggungjawab ini tidak akan menunggu imbalan di dunia, atau penilaian dari masyarakat yang tersesat dan pertolongan dari orang-orang jahiliyah dimana saja.

 

Meski oleh Allah, Rasulullah adalah manusia paling agung akhlaknya dan lemah lembut sikap dan tutur katanya, namun dakwah Nabi tidaklah sepi dari ujian dan cobaan. Sepanjang dakwah di Makkah, ketika Rasulullah menyerukan Islam sebagai ajaran terbaik yang datang dari Allah, maka kaum kafir Quraisy mulai merasa terganggu dan terusik. Dengan berbagai cara, mereka mencoba menghadang laju dakwah Nabi yang semakin mendapat simpati masyarakat Arab.

 

Kemiskinan di negeri ini tidaklah berdiri sendiri, bukan hanya soal faktor ekonomi semata, namun faktor ideologis yang bersifat sistemik. Karena itu negeri ini harus mentransformasi dari ideologi kapitalisme sekuler menuju penerapan Islam secara kaffah. Islam kaffah meniscayakan penerapan Islam dalam semua aspek ketatanegaran negeri ini. Termasuk bidang ekonomi, khususnya kepemilikkan sumber daya alam yang berorientasi pada Kesejahteraan masyarakat, bukan oligarki.

 

Islam memiliki pendekatan yang komprehensif dalam mengentaskan kemiskinan struktural, tidak hanya dengan solusi individual, tetapi juga sistem sosial dan ekonomi yang menekankan keadilan, pemerataan, dan tanggung jawab kolektif.

 

Zakat adalah kewajiban bagi setiap Muslim yang mampu dan merupakan salah satu rukun Islam. Zakat berfungsi sebagai. Pertama, Instrumen keadilan sosial. Kekayaan tidak menumpuk pada segelintir orang saja. Kedua, sumber dana untuk orang miskin. Zakat diberikan kepada 8 golongan penerima, termasuk fakir, miskin, dan orang yang terlilit utang (QS At-Taubah: 60). Ketiga, mengatasi kemiskinan secara struktural. Karena dana zakat dikelola oleh negara (baitul maal) untuk distribusi ke kelompok yang membutuhkan, termasuk pelatihan kerja atau modal usaha.

 

Sistem ekonomi Islam jelas ada larangan riba dan eksploitasi sumber daya alam ala kapitalisme.  Islam melarang riba (bunga) karena dapat menciptakan ketimpangan dan penindasan ekonomi. Sistem riba membuat yang kaya semakin kaya, sementara yang miskin terjerat utang. Islam mendorong transaksi bisnis yang adil, seperti mudharabah (bagi hasil) dan musyarakah (kemitraan), agar orang miskin juga bisa ikut serta dalam kegiatan ekonomi tanpa ditindas. Eksploitasi sumber daya alam (privatisasi) gaya kapitalisme diharamkan dalam Islam.

 

Kepemilikan umum dan akses sumber daya alam adalah salah satu karakter dalam hukum Islam. Sumber daya alam adalah milik umum yang wajib dikelola negara untuk Kesejahteraan rakyat. Haram diprivatisasi apalagi dikuasai oleh asing penjajah. Dalam Islam, sumber daya alam yang vital (seperti air, energi, dan tambang) harus dikelola oleh negara untuk kemaslahatan umat, bukan dikuasai oleh individu atau korporasi.

 

Sistem kepemilikan umum atas sumber daya alam dalam Islam ini akan mencegah privatisasi oleh asing atau swasta yang membuat rakyat tidak mendapat akses. Keuntungan dari sumber daya alam digunakan untuk kepentingan publik, seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial.

 

Islam melarang kekayaan hanya berputar di kalangan orang-orang kaya saja, karena hal itu menimbulkan ketimpangan sosial, penindasan ekonomi, dan memperbesar jurang antara si kaya dan si miskin. Allah berfirman : "Agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu." (QS Al-Hasyr: 7)

 

Mengapa Islam melarang kekayaan hanya berputar pada orang kaya, karena bisa merusak keadilan sosial.  Islam menekankan 'adl (keadilan). Jika kekayaan hanya dimiliki dan dinikmati oleh golongan kaya, itu akan menghilangkan prinsip keadilan sosial dan memperparah kemiskinan struktural.

 

Dalam sistem kapitalis, uang cenderung mengalir kepada yang sudah kaya (misalnya melalui bunga bank, pasar modal, korporasi besar). Islam menolak model ini, karena membuat yang miskin semakin sulit keluar dari kemiskinan. Islam mengatur agar harta bisa dinikmati semua lapisan masyarakat, termasuk melalui zakat, infak, sedekah, wakaf, dan distribusi sumber daya.

 

Islam juga memiliki cara untuk mencegah kemiskinan sistemik yakni dengan mekanisme wakaf sebagai sumber dana sosial berkelanjutan. Aset wakaf seperti tanah, bangunan, atau usaha digunakan untuk pendidikan, layanan kesehatan, dan kesejahteraan umum. Wakaf produktif bisa dijadikan modal usaha bagi rakyat miskin agar mandiri.

 

Islam menempatkan negara sebagai pihak yang bertanggung jawab langsung atas kesejahteraan rakyat.  Negara dalam pandangan Islam harus menjamin kebutuhan pokok: pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan. Negara Islam (khilafah) wajib menciptakan lapangan kerja dan peluang ekonomi bagi warganya (bukan membiarkan pasar bebas yang merugikan).

 

Islam juga menekankan pada pendidikan dan Pemberdayaan rakyat. Islam sangat menekankan pentingnya ilmu. Pendidikan gratis dan berkualitas harus dijamin negara agar rakyat bisa keluar dari lingkaran kemiskinan. Pemberdayaan ekonomi berbasis komunitas dan koperasi Islami juga bisa menjadi solusi, menghindari ketergantungan pada sistem kapitalistik.

 

Islam memiliki sistem sosial-ekonomi yang terintegrasi untuk menghapus kemiskinan struktural. Dengan prinsip keadilan, zakat, pelarangan riba, distribusi sumber daya yang adil, dan peran aktif negara, Islam tidak hanya menyantuni orang miskin, tetapi juga mencabut akar struktural kemiskinan. Jika diterapkan secara kaffah dalam institusi khilafah, solusi islam ini mampu menciptakan masyarakat yang sejahtera, adil, dan bermartabat dan akan terhindar dari kemiskinan struktural yang disebabkan oleh sistem kapitalisme saat ini.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1067/16/06/25 : 10.15 WIB)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.