POLEMIK BATAS WILAYAH ANTARA ACEH DAN SUMATERA UTARA, SUNGGUH MEMALUKAN DAN MEMBAHAYAKAN



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Tempo.co, merilis berita terkait polemik batas pulau. Perselisihan batas wilayah antara Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) mencuat setelah penetapan kodifikasi wilayah oleh pemerintah pusat yang memicu penolakan dari sejumlah pihak di Aceh. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) memutuskan empat pulau di kawasan Aceh Singkil masuk ke dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumut.

 

Pengalihan status empat pulau ini termaktub dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) No. 300.2.2-2138/2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang terbit pada 25 April 2025. Keempat pulau tersebut adalah Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang.

 

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan Kepmendagri itu telah melewati kajian letak geografis dan pertimbangan keputusan yang melibatkan berbagai instansi. Menurut dia, sengketa perbatasan empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara rumit dan terjadi sudah lama.

 

Tito menyebutkan Kementerian Dalam Negeri harus menetapkan batas wilayah empat pulau tersebut karena berkaitan dengan penamaan pulau yang harus didaftarkan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa. “Kami terbuka terhadap evaluasi atau gugatan hukum, termasuk ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Silakan saja,” kata Tito di Istana Kepresidenan pada Selasa, 10 Juni 2025.

 

Hindari Potensi Disintegrasi

 

Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Anwar Abbas meminta pemerintah menghindari terjadinya disintegrasi akibat polemik empat pulau Aceh yang ditetapkan oleh Mendagri masuk ke Provinsi Sumatera Utara. Anwar mengingatkan banyak korban berjatuhan selama konflik bersenjata puluhan tahun di Aceh antara pihak pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Namun keduanya berdamai melalui Kesepakatan Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005.

 

Beberapa poin hasil perjanjian tersebut antara lain pemberian otonomi khusus yang lebih luas kepada pemerintah Aceh, penyelenggaraan pemilihan umum istimewa di Aceh, serta pemberian amnesti anggota GAM. Kemudian penarikan pasukan TNI dan Polri serta pembentukan Satuan Tugas Pengamanan Aceh. Anwar mengatakan, berkat konsistensi pemerintah Indonesia dalam mematuhi kesepakatan, perdamaian di Aceh bisa terwujud dengan baik.

 

Menurut dia, keputusan itu telah membuat pemerintah dan rakyat Aceh tersinggung karena keempat pulau tersebut, menurut mereka, dan juga menurut Jusuf Kalla secara formal dan historis, masuk wilayah Singkil, Aceh.

 

Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini berharap Presiden Prabowo Subianto dapat menyelesaikan polemik ini dengan sebaik-baiknya. “Sebab, kalau kita gagal menangani masalah ini, maka tidak mustahil akan  menimbulkan disintegrasi bangsa dan kita tentu saja tidak mau hal itu terjadi,” ujarnya.

 

Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh Masthur Yahya merasa prihatin atas sikap pemerintah pusat yang menetapkan empat pulau di wilayah Aceh Singkil sebagai bagian dari Sumatera Utara. 

 

Dia menuturkan keputusan itu bukan hanya soal batas wilayah administratif. “Ini menyentuh urat sensitif sejarah dan identitas masyarakat Aceh yang sedang menumbuhkembangkan rasa saling percaya pascakonflik,” ujar Masthur dalam keterangannya kepada Tempo di Banda Aceh pada Jumat, 13 Juni 2025.

 

Masthur mengatakan, saat ini, di Aceh sedang dalam proses meredam, memulihkan luka-luka lama, dan memutus mata rantai dendam pascakonflik. Upaya tersebut melalui pengungkapan kebenaran, pendekatan rekonsiliasi, dan reparasi komprehensif. “Tapi belakangan ini sepertinya muncul guratan bisul baru yang berpotensi meletus jadi sentimen konflik berikutnya,” ujarnya.

 

Dia mengajak semua kalangan menahan diri, tidak provokatif, dan juga tidak terprovokasi dengan kebijakan tersebut. Menurut dia, pada akhir 2024, Kemendagri disebut-sebut pernah ‘mengusik’ perdamaian yang sedang menguat di Aceh, yaitu menyarankan pembubaran KKR Aceh. Masthur menegaskan KKR Aceh hingga kini tetap melaksanakan mandat dan tugasnya setelah pemerintah Aceh meminta klarifikasi ke Kemendagri.

 

Dia menuturkan pendekatan administratif yang tidak sensitif terhadap sejarah dan trauma masa lalu di Aceh justru bisa menimbulkan situasi negatif yang merusak kembali kepercayaan masyarakat kepada pemerintah pusat. “Pemerintah pusat harus arif dan peka tentang Aceh. Ini bukan cuma soal peta, tapi soal perasaan, harga diri, memori sejarah dan damai yang berkelanjutan,” ucapnya.

 

Masthur mendorong dialog terbuka antara pemerintah pusat, Wali Nanggroe Aceh, pemerintah Aceh, ulama, akademikus, majelis adat, dan warga terdampak untuk menegaskan solusi yang bermartabat dan tidak mengusik damai.

 

Adapun Ketua Majelis Pertimbangan Pusat Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mulyanto meminta Komisi II DPR segera menggelar rapat dengan Gubernur Aceh Muzakir Manaf dan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution membahas pemindahan administrasi 4 pulau yang menjadi sengketa.

 

Dia mengatakan, dengan mempertimbangkan aspek historis, kondisi sosial politik, serta status Aceh sebagai daerah dengan otonomi khusus, seharusnya menjadi prioritas DPR segera menghelat rapat guna meminimalkan polemik yang berlarut. “Komisi II tidak harus menunggu masa reses selesai karena kondisinya mendesak,” kata Mulyanto dalam keterangan tertulis yang diperoleh Tempo pada Senin, 16 Juni 2025.

 

Dia menghormati keputusan Presiden Prabowo Subianto yang akan mengambil alih polemik sengketa 4 pulau yang melibatkan Aceh dengan Sumatera Utara ini. Namun, kata dia, lebih baik DPR sebagai representasi rakyat dapat bertindak lebih cepat agar dapat segera melaporkan kesimpulan rapat tanpa menunggu Presiden pulang dari kunjungan kenegaraan.

 

Sebab, kata dia, kesimpulan rapat DPR dengan dua gubernur akan menjadi landasan yang amat penting bagi Prabowo untuk menentukan sikapnya dalam menyelesaikan polemik sengketa 4 pulau. “Persoalan ini tidak bisa sepenuhnya diputuskan oleh pemerintah, harus ada keterlibatan DPR sebagai pengawasan masyarakat,” ujarnya.

 

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi II DPR Bahtra Banong mengatakan komisinya akan segera menjadwalkan rapat dengan kepala daerah, termasuk Bupati Aceh Singkil dan Bupati Tapanuli Tengah guna menyelesaikan polemik sengketa 4 pulau. “Segera kami jadwalkan, sekarang masih reses,” kata Bahtra pada Sabtu, 14 Juni 2025.

 

Bahtra juga meminta Kemendagri, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, serta masyarakat kedua wilayah menyelesaikan sengketa 4 pulau dengan asas kekeluargaan. 

 

Sebab, menurut dia, konflik batas wilayah, khususnya antarprovinsi, yang melibatkan pulau kecil sebagaimana yang terjadi antara Aceh-Sumatera Utara bukan sekadar masalah teknis peraturan. “Menyangkut juga soal identitas, histori, ekonomi, dan sosial,” kata politikus Partai Gerindra itu.

 

Potensi Cadangan Minyak dan Gas Bumi

 

Wilayah perairan di sekitar empat pulau—Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek—yang kini menjadi bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, diperkirakan kaya akan cadangan minyak dan gas bumi. Gubernur Bobby bahkan mengajak Pemerintah Provinsi (Pemprov) Aceh untuk berkolaborasi guna mengelola potensi sumber daya alam empat pulau tersebut.

 

Menanggapi isu itu Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menegaskan bahwa tidak memiliki informasi mengenai potensi kandungan migas di empat pulau yang diperebutkan oleh kedua provinsi tersebut. Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan (Adwil) Kemendagri, Safrizal Zakaria Ali, menyampaikan bahwa Tim Nasional Pembakuan RupaBumi hanya bekerja berdasarkan aspek spasial dan administrasi wilayah.

 

Kepala BPMA Nasri Djalaldi Banda Aceh, Kamis, mengatakan bahwa empat pulau yang sedang menjadi polemik itu berdekatan dengan wilayah eksplorasi migas yang dilaksanakan Conrad Asia Energy (blok Singkil). "Secara umum, keempat pulau tersebut berdekatan dengan Wilayah Kerja Offshore West Aceh (OSWA)" kata Nasri dilansir Antara, Jumat (13/6/2025).


Sebagai informasi, BPMA telah melaksanakan penandatanganan kontrak kerja sama dengan Conrad Asia Energy Ltd untuk wilayah kerja offshore south west Aceh/OSWA (blok Singkil) pada Januari 2023 lalu. Luasan wilayah kerja OSWA sebesar 8.200 km2. Conrad Asia Energy menjadi perusahaan pemenang lelang wilayah kerja penawaran langsung tahap I tahun 2022 oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM).

 

Bangsa ini mestinya bersyukur mendapatkan anugerah Allah menjadi negeri dengan sumber daya alam yang melimpah. Adalah fakta bahwa Indonesia merupakan negeri yang kaya tambang. Bahkan sangat kaya. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada 2020, Indonesia menduduki peringkat ke-6 dunia untuk negara dengan kekayaan sumber daya geologi terbesar.

 

Kekayaan sumber daya geologi tersebut mencakup berbagai jenis bahan galian, misalnya logam, non-logam, batuan dan batubara. Juga ada sumber daya energi besar yang dimiliki negeri ini seperti minyak bumi, gas alam, panas bumi dan uranium. Tak pelak, ini memang keberlimpahan.

 

Untuk timah, data World Population Review menunjukkan bahwa Indonesia merupakan penghasil timah terbesar kedua di dunia, setelah Cina. Selain itu, cadangan timah Indonesia juga yang terbesar kedua, sesudah Australia. Pada 2022, produksi Indonesia mencapai 74 ribu ton, sementara cadangan timah mencapai 800 ribu ton.

 

Indonesia juga penghasil batu bara terbesar ketiga di dunia, dengan produksi sebanyak 281,7 ton per tahun. Indonesia menempati peringkat kedua eksportir batu bara di tingkat global. Batu bara banyak ditemukan di Sumatra Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.

 

Contoh ketiga adalah nikel. Nikel juga merupakan salah satu jenis tambang berharga di Indonesia. Pada 2023 Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia. Jumlahnya mencapai 21 juta ton. Sedikitnya ada tujuh provinsi yang memiliki banyak tambang nikel berdasarkan jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP), yakni Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.

 

Sejatinya, dengan kekayaan tambang Indonesia yang luar biasa tersebut rakyat Indonesia sudah pasti hidup gemah ripah loh jinawi. Bagaimana faktanya? Apakah sudah banyak yang bisa menikmati kekayaan seperti para selebritis dan para haji batubara tadi? Perbandingannya bisa dilihat dari kondisi masyarakat yang berada di wilayah tambang-tambang tersebut.

 

Untuk timah, Kompas edisi 1 April 2024 menulis bahwa korupsi tambang timah sebesar Rp 271 triliun tersebut adalah "puncak gunung es" dari praktik pertambangan timah yang tidak memberikan manfaat. Dituliskan pula bahwa praktik culas membuat "si emas putih" itu hanya memperkaya segelintir pihak dan meninggalkan kerusakan lingkungan serta fenomena anak putus sekolah. Meski ada data yang menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di wilayah ini relatif jauh lebih baik dibandingkan wilayah lain di Indonesia, ternyata fenomena kemiskinan masih banyak ditemui.

 

Batu bara juga senada. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) pada 2019 menyebutkan bahwa wilayah tambang batu bara yang luas tak menjamin bisa menurunkan tingkat kemiskinan dan pengangguran masyarakat sekitarnya. Di tujuh provinsi yang memiliki banyak tambang nikel ada kenaikan persentase kemiskinan sepanjang September 2022 hingga Maret 2023. Hanya Papua dan Papua Barat yang sedikit (bukan drastis) mengalami penurunan tingkat kemiskinan pada periode tersebut.

 

Riset JATAM, bahkan menunjuk pada 2019 sebanyak 80 persen dari seluruh wilayah tambang di Indonesia rentan mengalami kerawanan pangan. Kemiskinan pun terjadi di wilayah-wilayah itu.

 

Dalam dua dekade terakhir kesenjangan ekonomi di Indonesia tidak mengalami perubahan signifikan, menurut World Inequality Report 2022. Laporan itu menyebutkan, dalam kurun waktu 2001-2021 sebanyak 50% penduduk Indonesia hanya memiliki kurang dari 5% kekayaan rumah tangga nasional (total household wealth). Laporan itu menulis, "Sejak 1999 tingkat kekayaan di Indonesia telah tumbuh signifikan. Namun, pertumbuhan ini meninggalkan ketimpangan kekayaan yang hampir tidak berubah." Bisa jadi salah kelola tambang berperan besar dalam menciptakan kesenjangan tersebut.

 

Persoalan lain, dampak sekaligus penyebabnya, dalam pengelolaan sumber daya alam adalah korupsi, kerusakan lingkungan, dan konflik sosial. Berbagai ironi atau anomali ini memang menjadi bukti adanya "kutukan" dari keberlimpahan SDA di Indonesia. Alih-alih jadi anugerah, tambang negeri ini tampaknya lebih banyak jadi "penuai badai" karena salah kelola dan berbagai praktik buruk lainnya.

 

Utamakan Persatuan, Bukan Perpecahan

 

Jika benar, polemik batas pulau antara Aceh dan Sumatera Utara segara kandungan minyak dan gas bumi, maka betapa memalukan bangsa ini, sekaligus sangat membahayakan persatuan bangsa ini. Indonesia adalah negeri muslim terbesar di dunia. Haram hukumnya terpecah belah dengan alasan apapun.

 

Prinsip ajaran Islam tentang persatuan sangat kuat dan mendasar. Islam mengajarkan bahwa seluruh umat Muslim adalah satu kesatuan umat (ummah wāḥidah) tanpa membedakan suku, ras, bangsa, atau tapal batas geografis.

 

Dalam pandangan Islam, seluruh umat Islam adalah saudara. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an : "Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara..." (QS. Al-Hujurat: 10). Ayat ini menunjukkan bahwa hubungan antar-Muslim adalah ukhuwah islāmiyah (persaudaraan keislaman) yang tidak dibatasi oleh nasab, etnis, atau kewarganegaraan.

 

Persatuan umat lebih utama dari perbedaan suku dan bangsa, apalagi hanya gegara rebutan pengelolaan sumber daya alam pemberikan Allah. Islam mengakui keberagaman, tetapi menekankan bahwa takwa adalah ukuran kemuliaan, bukan asal-usul.

 

Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam firmanNya : "Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa." (QS. Al-Hujurat: 13)

 

Islam sangat menolak fanatisme suku (asabiyyah). Islam dengan tegas melarang fanatisme buta terhadap kelompok atau suku, karena hal ini dapat memecah belah umat.  Hal ini sebagaimana Rasulullah SAW telah bersabda: "Bukan dari golongan kami orang yang menyeru kepada asabiyyah (fanatisme kesukuan), bukan dari golongan kami orang yang berperang karena asabiyyah, dan bukan dari golongan kami orang yang mati karena asabiyyah." (HR. Abu Dawud).

 

Islam memiliki paradigma dan Konsep bahwa umat Islam sebagai satu tubuh, sebagaimana ditegaskan Rasulullah SAW melalui sabdanya :  "Perumpamaan kaum mukminin dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan tolong-menolong di antara mereka seperti satu tubuh. Jika satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh akan ikut merasakan sakit..." (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Islam menegaskan bahwa persatuan umat adalah prinsip utama dalam kehidupan bermasyarakat. Persaudaraan dalam Islam melampaui batas-batas geografis, etnis, dan sosial, menjadikan umat Islam sebagai satu tubuh dan satu komunitas global yang saling mendukung dan menguatkan.

 

Pecah Belah Sebagai Strategi Barat Lancarkan Penjajahan

 

Kaum imperialis Barat pecah belah kaum muslimin munculkan paham nasionalisme dan primordialisme. Lalu membuat negara bangsa. Keuntungan lain bagi Barat adalah mereka leluasa menjajah dan mengendalikan para penguasa boneka.

 

Pecah belah umat Islam sebagai strategi Barat untuk melancarkan penjajahan adalah fakta sejarah yang terjadi di berbagai wilayah dunia Islam, terutama sejak masa kolonialisme. Strategi ini dikenal dengan istilah "divide et impera" (pecah belah dan kuasai), yang secara sistematis digunakan oleh kekuatan kolonial Barat untuk melemahkan kekuatan umat Islam dari dalam.

 

Strategi pecah belah (divide et impera) bertujuan untuk: (1) Membuat umat Islam saling curiga dan bertikai. (2) Memecah kesatuan kekuasaan politik Islam (khilafah dan kerajaan-kerajaan Islam). (3) Mendorong konflik internal seperti sektarianisme (Sunni vs Syiah), etnisitas, bahkan mazhab.

 

Contoh nyata seperti Inggris dan Perancis sering memanfaatkan perbedaan etnis dan agama di tanah jajahan untuk menciptakan konflik internal. Di Timur Tengah, perjanjian Sykes-Picot (1916) membagi-bagi wilayah bekas kekuasaan Khilafah Utsmaniyah kepada Inggris dan Perancis.

 

Perpecahan dunia Islam pasca runtuhnya Khilafah Utsmaniyah (1924). Khilafah Utsmaniyah adalah simbol persatuan umat Islam lintas wilayah. Runtuhnya khilafah menyebabkan munculnya negara-negara nasionalis di dunia Islam, yang membuat umat terkotak-kotak oleh batas-batas politik modern. Nasionalisme sekuler yang didorong oleh Barat menggantikan semangat ukhuwah Islamiyah.

 

Penguatan sekularisme dan penindasan simbol Islam juga menjadi faktor perpecahan umat Islam. Banyak negara pasca-kolonial melanjutkan kebijakan sekuler peninggalan penjajah. Upaya penghapusan hukum Islam, pelarangan organisasi Islam, dan pemisahan agama dari kehidupan publik diperkuat demi mencegah bangkitnya persatuan umat Islam.

 

Eksploitasi konflik internal Umat Islam sering dilakukan oleh Barat.  Barat sering memanfaatkan konflik Sunni-Syiah, atau konflik antar-kelompok Islam, untuk menjauhkan umat dari tujuan bersama. Dalam beberapa kasus, kelompok ekstrem didukung secara terselubung untuk menciptakan kekacauan internal.

 

Dampaknya hingga kini, umat Islam tercerai-berai dalam lebih dari 50 negara dengan kebijakan luar negeri yang sering saling bertentangan. Kurangnya solidaritas dalam menghadapi isu Palestina, invasi terhadap negara Muslim, dan penderitaan minoritas Muslim (seperti Rohingya, Uighur). Ketergantungan ekonomi dan politik terhadap negara-negara Barat masih tinggi.

 

Wujudkan Persatuan Umat

 

Bahaya meninggalkan persatuan adalah dihina dan dilemahkan oleh musuh. Umat menjadi bulan-bulanan kekuatan asing karena terpecah. Perpecahan akan mengakibatkan hilangnya wibawa Islam di mata dunia. Muslim juga akan tertindas dan tak mampu menolong sesama muslim di wilayah lain jika terus berpecah.

 

Perpecahan umat Islam bukan hanya akibat konflik internal, tapi juga merupakan hasil dari strategi kolonial yang disengaja untuk mencegah kekuatan Islam bersatu kembali. Karena itulah, persatuan dan kesadaran politik umat Islam menjadi sangat penting dalam menghadapi tantangan global saat ini.

 

Ukhuwah Islamiyah adalah dasar dari solidaritas dan kasih sayang antar-Muslim. Islam mengajarkan bahwa perbedaan suku, warna kulit, atau bangsa tidak boleh menjadi penghalang untuk bersatu. Rasulullah bersabda: "Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya; tidak boleh menzhaliminya, tidak boleh menyerahkannya (kepada musuh), dan tidak boleh menghinakannya." (HR. Muslim).

 

Makna kewajiban dari hadits di atas adalah : (1) Tidak boleh menebar kebencian, fitnah, atau perpecahan. (2) Wajib saling menolong dalam kebaikan dan takwa. (3) Mengutamakan persatuan atas perbedaan-perbedaan kecil.

 

Islam mengajarkan kesatuan wilayah dan kepemimpinan umat, Allah tegaskan dalam firmanNya : "Berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai..." (QS. Ali Imran: 103).

 

Rasulullah bersabda: "Apabila dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya." (HR. Muslim).  Hadis ini menunjukkan bahwa umat Islam hanya boleh memiliki satu pemimpin (khalifah) yang memimpin seluruh umat dalam satu wilayah kekuasaan Islam. Dalam sejarah, Khilafah Islamiyah adalah wujud kesatuan wilayah dan pemerintahan umat Islam secara global.

 

Saatnya umat Islam di negeri ini menghilangkan paham kebangsaan, ganti dengan ukhuwah Islam.  Saatnya umat Islam kembali pada nilai-nilai persatuan Islam (ukhuwah Islamiyah) dan meninggalkan paham kebangsaan (nasionalisme) yang memecah belah umat. Dalam perspektif ajaran Islam, nasionalisme sempit yang menuhankan bangsa atau negara di atas agama memang bertentangan dengan prinsip tauhid dan persatuan umat.

 

Nasionalisme adalah ideologi yang menempatkan bangsa dan negara sebagai identitas utama dan sumber loyalitas tertinggi seseorang. Dalam bentuk moderat, nasionalisme bisa diartikan sebagai cinta tanah air (hubbul wathan), yang diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Namun, nasionalisme sekuler atau fanatik (chauvinistik) yang memecah umat Islam berdasarkan batas negara, etnis, atau ras bertentangan dengan ajaran Islam.

 

Islam menolak nasionalisme, hal ini ditegaskan Allah dalam firmanNya : "Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku." (QS. Al-Anbiya: 92). Allah juga berfirman : "Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara..." (QS. Al-Hujurat: 10).

 

Islam memandang umat Islam sebagai satu kesatuan global, bukan terbagi-bagi berdasarkan negara. Hadis Nabi : "Barangsiapa yang menyeru kepada asabiyyah (fanatisme kesukuan/nasionalisme), maka ia bukan dari golonganku." (HR. Abu Dawud).

 

Ukhuwah islamiyah, solusi pengganti paham nasionalisme. Ukhuwah Islamiyah adalah persaudaraan lintas bangsa, warna kulit, dan negara, berdasarkan keimanan kepada Allah. Ini adalah konsep kesatuan umat (ummah wahidah) yang telah menyatukan muslim Indonesia, Palestina, Suriah, Afrika, Eropa, tanpa batas. Menolak pemecahan umat berdasarkan nasionalisme atau sekat-sekat buatan kolonial. Menjadikan takwa dan Islam sebagai identitas utama, bukan paspor atau kebangsaan.

 

Saatnya umat Islam menyerukan tegaknya khilafah untuk menjaga kesatuan wilayah dan melindungi negeri-negeri Muslim. Seruan penting ini adalah bentuk ajakan kepada umat Islam untuk kembali kepada sistem pemerintahan Islam yang menyatukan umat secara global, yaitu Khilafah Islamiyah. Ajaran ini bersumber dari prinsip-prinsip syariah yang memandang umat Islam sebagai satu umat dengan satu kepemimpinan, bukan tercerai-berai dalam puluhan negara dengan batas buatan penjajah.

 

Khilafah adalah sistem pemerintahan Islam yang menerapkan syariah secara kaffah (menyeluruh), dengan seorang khalifah sebagai pemimpin tunggal seluruh umat Islam dan menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Dalam sejarah Islam, sistem ini telah diterapkan sejak wafatnya Nabi Muhammad oleh para Khalifah Rasyidun dan dilanjutkan oleh kekhalifahan berikutnya (Umayyah, Abbasiyah, Utsmaniyah).

 

Allah berfirman : Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (QS Al baqarah : 208). Allah berfirman : "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kamu..." (QS. An-Nisa: 59). Ulil amri di sini berarti penguasa yang menjalankan hukum Allah (khalifah), bukan pemimpin sekuler. Rasulullah bersabda : "Barang siapa mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada khalifah), maka ia mati dalam keadaan jahiliyah." (HR. Muslim).

 

Khilafah adalah perisai umat dari penjajahan dan penindasan, sebagaimana sabda Nabi : "Sesungguhnya Imam (khalifah) itu laksana perisai, tempat orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya." (HR. Bukhari dan Muslim).

 

Menegakkan Khilafah adalah kewajiban syar’i dan solusi strategis untuk menyatukan umat Islam. Khilafah akan menjaga kesatuan wilayah, melindungi umat, dan menerapkan syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Saat umat bersatu di bawah satu kepemimpinan, kekuatan Islam akan bangkit kembali sebagai rahmat bagi seluruh alam.

 

Selain wajib, hadirnya khilafah juga sangat rasional, jika dikaitkan dengan kondisi empirik umat Islam di seluruh dunia. Rasionalitas khilafah berkaitan dengan keefektifan sistem tersebut dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai pemerintahan dan mengatasi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, dan keamanan yang dihadapi oleh umat Muslim. Sebagai sebuah sistem pemerintahan, khilafah mampu memberikan manfaat kepada masyarakatnya, memperjuangkan hak-hak mereka, memastikan keadilan sosial, dan memelihara keamanan dan stabilitas di wilayah yang diperintah.

 

Dalam konteks rasionalitas khilafah, keputusan dan tindakan pemerintah didasarkan pada pemikiran yang objektif, kritis, dan berdasarkan data dan fakta yang akurat serta tidak menyimpang dari hukum Allah. Pemerintah khilafah harus mampu merumuskan kebijakan yang efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya dan mampu memecahkan masalah yang dihadapi oleh umat Muslim dan warga negara.

 

Selain itu, rasionalitas khilafah juga menyangkut keterbukaan sistem pemerintahan tersebut terhadap partisipasi masyarakat dan pengawasan publik. Pemerintah khilafah mampu memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan memastikan transparansi dalam setiap tindakan dan kebijakan yang diambil yang diwakili oleh ahlu halli wal aqdi.

 

Secara keseluruhan, rasionalitas khilafah melibatkan kemampuan sistem pemerintahan dalam memberikan manfaat kepada masyarakat, memastikan keadilan, dan menjaga keamanan dan stabilitas di wilayah yang diperintah, serta memastikan keterbukaan dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan pengawasan terhadap pemerintah.

 

Akhirnya, wahai kaum Muslimin, sadarlah bahwa kekuatan kita ada dalam persatuan! Sudah saatnya kita menanggalkan batas palsu, membuang sistem buatan penjajah, dan kembali kepada sistem Khilafah Islamiyah yang telah Allah syariatkan!.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1068/16/06/25 : 20.33 WIB)

 

 

 

 

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.