Oleh : Ahmad Sastra
Beberapa hadis menunjukkan sikap tegas terhadap
praktik pemungutan pajak yang zalim (muks). Dalam satu riwayat: “Tidak akan
masuk surga para pemungut pajak (cukai).”
Rasulullah saw. bersabda bahwa “Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat,
dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.”
Hadis ini merefleksikan bahwa setiap bentuk pemungutan
pajak yang tidak sah secara syariah dianggap sebagai penzaliman dan ditolak
dalam Islam. Pada level pemikiran, sistem pajak harus dibingkai sebagai amanah
dan bukan semata instrumen penerimaan negara.
Istilah pajak, dalam fikih Islam, dikenal dengan
dharîbah. Al-‘Allamah Syaikh Rawwas Qal’ah Jie menyebutnya dengan, “Apa yang ditetapkan
sebagai kewajiban atas harta maupun orang di luar kewajiban syara’.” [Mu’jam
Lughat al-Fuqaha’, hal. 256]. Sedangkan al-‘Allamah Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum,
mendefinisikannya dengan, “harta yang diwajibkan Allah kepada kaum Muslim untuk
membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika
tidak ada harta di Baitul Mal kaum Muslim untuk membiayainya.” [al-Amwal fi
Daulati al-Khilafah, hal. 129]
Sejarah menunjukkan bahwa khalifah Umar bin Khattab
mengembangkan sistem administrasi kharaj dan jizyah dengan struktur yang
sistematis, dan menegakkan prinsip keadilan: tidak ada pemaksaan yang memberatkan
rakyat non-Muslim.
Dalam APBN Khilafah (APBN-K), sumber pendapat tetap
negara yang menjadi hak kaum Muslim dan masuk ke Baitul Mal adalah: (1) Fai’
[Anfal, Ghanimah, Khumus]; (2) Jizyah; (3) Kharaj; (4) ‘Usyur; (5) Harta milik
umum yang dilindungi negara; (6) Harta haram pejabat dan pegawai negara; (7)
Khumus Rikaz dan tambang; (8) Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; (9)
Harta orang murtad. Inilah pendapatan tetap negara, ada atau tidaknya
kebutuhan.
Berbeda dengan pendapatan tidak tetap. Pendapatan ini
bersifat instrumental dan insidental. Bersifat instrumental, karena Islam
menetapkan kepada kaum Muslim fardhu kifayah untuk memikul kewajiban
pembiayaan, ketika dana tidak ada di Baitul Mal.
Karena itu, ini menjadi instrumen untuk memecahkan
masalah yang dihadapi negara, yang dibebankan hanya kepada umat Islam. Disebut
insidental, karena tidak diambil secara tetap, bergantung kebutuhan yang
dibenarkan oleh syara’ untuk mengambilnya.
Syara’ telah menetapkan sejumlah kewajiban dan pos,
yang ada atau tidak adanya harta di Baitul Mal tetap harus berjalan. Jika di
Baitul Mal ada harta, maka dibiayai oleh Baitul Mal. Jika tidak ada, maka
kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum Muslim.
Sebab, jika tidak, maka akan menyebabkan terjadinya
dharar bagi seluruh kaum Muslim. Dalam rangka menghilangkan dharar di saat
Baitul Mal tidak ada dana inilah, maka khilafah boleh menggunakan instrumen
pajak. Namun, hanya bersifat insidental, sampai kewajiban dan pos tersebut bisa
dibiayai, atau Baitul Mal mempunyai dana untuk mengcovernya.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 1103/20/08/25 : 08.30 WIB)