TAUHID DAN JIHAD: BASIS TEOLOGI KEMERDEKAAN INDONESIA



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia tak lepas dari peran para tokoh agama dan nilai-nilai Islam yang tertanam kuat di tengah masyarakat. Dua konsep sentral dalam Islam yang menonjol dalam konteks ini adalah tauhid dan jihad. Keduanya bukan hanya doktrin teologis, tetapi juga menjadi landasan moral dan spiritual bagi perlawanan terhadap penjajahan.

 

Kemerdekaan Indonesia bukanlah hadiah, melainkan hasil perjuangan panjang yang melibatkan berbagai elemen bangsa. Di antara yang paling menonjol adalah kontribusi para pahlawan Muslim, ulama, santri, dan tokoh masyarakat yang berjuang dengan landasan akidah Islam. Mereka mengangkat senjata, berdiplomasi, dan memimpin masyarakat dalam semangat tauhid dan jihad demi mengusir penjajah dan menegakkan keadilan.

 

Dalam konteks sejarah Indonesia, tauhid dan jihad menjadi penggerak utama kesadaran umat Islam untuk bangkit, melawan penindasan, dan memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Tauhid adalah inti ajaran Islam, yaitu keyakinan bahwa hanya Allah yang berhak disembah dan ditaati secara mutlak.

 

Dalam konteks sosial-politik, tauhid memunculkan kesadaran bahwa tidak ada kekuasaan manusia yang boleh menindas atau dijadikan tuhan-tuhan kecil. Penjajahan yang dilakukan oleh bangsa asing dipandang sebagai bentuk penindasan terhadap fitrah kemanusiaan yang bertentangan dengan nilai tauhid.

 

Ulama-ulama seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, Cut Nya Dien, Pangeran Diponegoro dan Tuanku Imam Bonjol menanamkan nilai tauhid sebagai dasar perjuangan. Tauhid membentuk mental merdeka, bahwa manusia hanya tunduk kepada Allah SWT, bukan kepada kolonialis. Dalam makna ini, tauhid bukan hanya ajaran ibadah personal, tetapi juga memiliki dimensi sosial-politik yang membebaskan dan menginspirasi perjuangan.

 

Jihad: Semangat Perlawanan dan Pengorbanan

 

Jihad dalam Islam memiliki makna yang luas, mulai dari perjuangan melawan hawa nafsu hingga perjuangan fisik membela Islam melawan berbagai bentuk kezoliman dan penjajahan. Dalam konteks kolonialisme, jihad dimaknai sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan, penindasan, dan penjajahan. Jihad bukanlah semata perang bersenjata, tetapi sebuah ikhtiar total untuk membela agama.

 

Dalam sejarah Indonesia, berbagai perlawanan terhadap penjajah seperti Perang Diponegoro (1825–1830), Perang Aceh, dan Perang Banjar mengandung unsur jihad fi sabilillah. Para pejuang memaknai perlawanan mereka bukan hanya sebagai perjuangan politik, tetapi juga sebagai panggilan iman. Semangat ini menguatkan keyakinan para pejuang, bahkan dalam kondisi kalah jumlah dan senjata sekalipun. Mereka begitu yakin akan pertolongan Allah SWT.

 

Ulama dan Pesantren sebagai Basis Perlawanan

 

Lembaga pesantren dan para ulama memiliki peran penting dalam menyebarkan semangat tauhid dan jihad. Pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi juga menjadi pusat perlawanan terhadap penjajah Belanda dan Portugis. Ulama tidak tinggal diam melihat umat Islam dijajah oleh para penjajah kafir; mereka tampil di garis depan perjuangan.

 

KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, misalnya, mengeluarkan fatwa wajibnya jihad melawan penjajah Jepang dalam Resolusi Jihad 22 Oktober 1945. Fatwa ini menjadi dasar gerakan bagi peristiwa heroik Pertempuran 10 November di Surabaya. Ini menunjukkan bahwa konsep jihad yang didasari tauhid mampu memobilisasi massa secara masif dan terorganisir.

 

Tokoh-tokoh seperti Mohammad Natsir, KH Wahid Hasyim, HOS Cokroaminoto, dan HAMKA menunjukkan bahwa Islam bisa menjadi kekuatan gerakan dalam membangun negara yang merdeka dan berdaulat. Konsep tauhid dan jihad menjadi spirit utama kemerdekaan atas berkat rahmat Allah SWT. Spirit inilah yang mestinya terus dihidupkan dan dikobarkan.

 

Tauhid dan jihad bukan hanya ajaran teologis dalam Islam, tetapi juga menjadi landasan spiritual dan ideologis dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tauhid menanamkan kesadaran akan kemerdekaan hakiki, sedangkan jihad menjadi semangat perlawanan terhadap penindasan. Melalui peran ulama dan pesantren, dua konsep ini diterjemahkan dalam tindakan nyata yang membentuk semangat kemerdekaan.

 

Kini, saat bangsa Indonesia telah merdeka secara fisik, tantangan berikutnya adalah mewujudkan kemerdekaan yang sejati: kebebasan dari kemiskinan, kebodohan, dan ketimpangan sosial. Dalam konteks ini, melanjutkan perjuangan para pahlawan Muslim berarti menghadirkan nilai-nilai Islam dalam seluruh aspek kehidupan bangsa melalui transformasi penerapan syariah secara kaffah (menyeluruh), dengan niat sebagai refleksi rasa syukur atas berkat dan rahmat Allah SWT. Ini bukan sekadar simbolisasi agama dalam negara, tetapi sebuah ikhtiar untuk membawa kemaslahatan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

Syariah sebagai Jalan Peradaban

 

Syariah bukan sekadar hukum pidana atau simbol hukum agama. Lebih dari itu, syariah mencakup sistem nilai, moralitas, dan tata kelola kehidupan yang menciptakan keadilan, kesejahteraan, dan keamanan.

 

Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: "Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (aturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu mengikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui." (QS. Al-Jatsiyah: 18)

 

Para pahlawan Muslim tidak sekadar berjuang untuk kemerdekaan tanah air, tetapi juga untuk menegakkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa. Mereka sadar bahwa penjajahan bukan hanya fisik, tetapi juga nilai dan sistem hidup. Maka, pascakemerdekaan, perjuangan ini harus dilanjutkan dalam bentuk penguatan nilai-nilai Islam dalam sistem sosial, hukum, pendidikan, dan ekonomi.

 

Transformasi Syariah: Dari Ide ke Aksi

 

Transformasi syariah secara kaffah berarti penerapannya di semua aspek kehidupan, termasuk: pertama, Pendidikan Islami. Mewujudkan sistem pendidikan yang tidak sekadar mentransfer ilmu, tetapi juga menanamkan akhlak, adab, dan tauhid. Pendidikan Islam harus menjadi arus utama, bukan pelengkap.

 

Kedua, sistem ekonomi Islam. Mengembangkan ekonomi berbasis keadilan, zakat, wakaf, dan larangan riba serta kepemilikan sumber daya alam sejalan dengan Islam. Hal ini akan menekan ketimpangan sosial dan menghidupkan solidaritas ekonomi umat. Sudah waktunya negeri ini membuang sistem ekonomi kapitalisme dan atau komunisme ke tong sampah peradaban.

 

Ketiga, Hukum dan Kebijakan Publik. Mendorong agar prinsip-prinsip syariah seperti keadilan (adl), kemaslahatan (maslahah), dan penegakan hak (haq) menjadi acuan dalam penyusunan kebijakan dan perundang-undangan. Al Qur’an dan As Sunnah harus dijadikan sebagai sumber hukum dan perundang-undangan di negeri ini. Kedaulatan mutlak di tangan Allah, sementara kekuasaan di tangan umat.

 

Keempat, Etika Kepemimpinan. Mencontoh kepemimpinan Rasulullah SAW yang amanah, adil, dan berpihak pada rakyat kecil. Dalam konteks ini, syariah melahirkan pemimpin yang takut kepada Allah dan cinta kepada rakyat. Rasulullah sebagai Kepala negara Islam Madinah dan dilanjutkan para khalifah yang memimpin institusi khilafah, mestinya menjadi inspirasi dan aspirasi bagi model kepemimpinan di negeri ini.

 

Transformasi syariah tentu menghadapi tantangan: stigma radikalisme, sekularisasi, dan mispersepsi tentang intoleransi. Namun, tantangan ini justru membuka ruang dialog dan dakwah untuk memperkenalkan syariah secara lebih bijaksana dan rahmatan lil ‘alamin.

 

Strategi utama yang bisa dilakukan antara lain: Pertama, Penguatan dakwah intelektual yang menyentuh elite pembuat kebijakan. Kedua, Kolaborasi ulama–umara dalam menata kehidupan berbangsa. Ketiga, Revitalisasi peran pesantren dan ormas Islam dalam mencetak generasi pemimpin yang berwawasan Islam ideologis.

 

Perjuangan para pahlawan Muslim belum selesai. Mereka telah membebaskan negeri ini dari penjajahan fisik. Kini, tugas generasi penerus adalah membebaskan bangsa dari penjajahan nilai-nilai asing yang merusak tatanan moral dan sosial. Transformasi penerapan syariah secara kaffah harus menjadi agenda semua umat Islam di negeri ini.

 

Syariah, jika diterapkan secara bijak, progresif, dan kontekstual, justru menjadi solusi terhadap berbagai problematika bangsa. Dengan cara inilah kita benar-benar menghormati warisan para pahlawan Muslim: bukan dengan seremonial tahunan, tetapi dengan melanjutkan perjuangan mereka secara nyata untuk mewujudkan kemerdekaan yang hakiki.

 

Referensi

  • Al-Qur’an, Surah Al-Jatsiyah: 18
  • Antonio, Muhammad Syafii. (2001). Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani.
  • Boland, B.J. (1971). The Struggle of Islam in Modern Indonesia. The Hague: Martinus Nijhoff.
  • Azra, Azyumardi. (2004). Islam Substantif. Jakarta: Mizan.
  • Madjid, Nurcholish. (1992). Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 1102/20/08/25 : 05.27 WIB) 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad