Oleh : Ahmad Sastra
Dalam sejarah peradaban manusia, kepemimpinan yang
ideal selalu menjadi topik sentral yang diperbincangkan. Islam sebagai agama
yang sempurna tidak hanya memberikan panduan tentang ibadah, tetapi juga
mengatur tata kelola kehidupan sosial, termasuk dalam hal kepemimpinan.
Salah satu prinsip dasar dalam kepemimpinan Islam
adalah cinta antara pemimpin dan rakyatnya. Pemimpin yang terbaik adalah mereka
yang dicintai oleh rakyat, bukan karena pencitraan atau kekuasaan, tetapi
karena keadilan, keteladanan, dan kasih sayang yang mereka tunjukkan.
Rasulullah ï·º adalah teladan utama dalam semua aspek kehidupan, termasuk
dalam hal memimpin. Dalam banyak riwayat, diceritakan bahwa para sahabat
mencintai beliau dengan kecintaan yang luar biasa. Mereka rela berkorban jiwa
dan raga demi beliau. Hal ini bukan tanpa sebab. Rasulullah ï·º tidak hanya menjadi pemimpin formal, tetapi juga menjadi
pelindung, pendidik, dan sahabat bagi umatnya.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah ï·º bersabda: "Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian
cintai dan mereka mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka
mendoakan kalian. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci
dan mereka membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka melaknat
kalian." (HR. Muslim, no. 1855)
Hadits ini dengan sangat jelas menunjukkan bahwa cinta
antara rakyat dan pemimpin adalah indikator kualitas kepemimpinan. Pemimpin
yang baik bukan hanya efektif secara administratif, tetapi juga menyentuh hati
rakyatnya, menghadirkan rasa aman, keadilan, dan perhatian yang tulus.
Salah satu sifat utama Rasulullah ï·º adalah rahmah, atau kasih sayang. Allah SWT berfirman: "Dan
tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi
seluruh alam." (QS. Al-Anbiya: 107)
Sebagai pemimpin, Rasulullah ï·º mencontohkan kepemimpinan yang penuh kasih sayang. Dalam sirah,
diceritakan bagaimana beliau memperlakukan rakyatnya, bahkan orang-orang yang
menentangnya, dengan penuh kelembutan dan pengertian. Ketika penduduk Thaif
melempari beliau dengan batu, Rasulullah tidak membalas dengan kebencian.
Sebaliknya, beliau mendoakan mereka agar kelak mendapatkan hidayah. Sikap ini
mencerminkan pemimpin sejati: mereka tidak memerintah dengan ketakutan,
melainkan dengan cinta. Mereka tidak menjatuhkan, tetapi mengangkat. Pemimpin
seperti ini akan dengan mudah dicintai oleh rakyatnya.
Keadilan adalah pilar utama dalam kepemimpinan Islam.
Dalam sebuah hadits disebutkan: "Sesungguhnya orang-orang yang adil di
sisi Allah berada di atas mimbar dari cahaya, yaitu orang-orang yang adil dalam
hukum mereka, terhadap keluarga mereka, dan apa yang mereka pimpin." (HR.
Muslim, no. 1827)
Pemimpin yang adil tidak memihak, tidak korup, dan
tidak menyalahgunakan kekuasaan. Mereka mengayomi semua lapisan masyarakat
tanpa diskriminasi. Keadilan ini membuahkan kepercayaan, dan dari kepercayaan
itu tumbuhlah cinta rakyat terhadap pemimpinnya.
Contoh klasik adalah Khalifah Umar bin Khattab. Beliau
dikenal sangat tegas dan adil, namun rakyat sangat mencintainya. Bahkan, ketika
beliau wafat, umat Islam merasakan kehilangan yang sangat besar. Ini
menunjukkan bahwa keadilan dan ketegasan tidak menghalangi kecintaan rakyat,
selama disertai ketulusan dan kepedulian.
Ketika pemimpin dicintai rakyatnya, stabilitas sosial
lebih mudah terwujud. Rakyat lebih patuh, partisipatif, dan bersatu. Tidak ada
rasa curiga atau perlawanan terhadap pemerintah, karena rakyat merasa bahwa
mereka dipimpin oleh seseorang yang memikirkan dan memperjuangkan kepentingan
mereka.
Sebaliknya, ketika pemimpin dibenci rakyatnya, bahkan
kebijakan yang baik pun akan ditolak. Kepercayaan yang rusak sulit untuk
diperbaiki, dan bisa menjadi sumber konflik sosial yang berkepanjangan.
Kepemimpinan dalam Islam bukan hanya urusan politik,
tetapi juga merupakan bagian dari ibadah dan tanggung jawab besar di hadapan
Allah. Islam menempatkan kepemimpinan sebagai amanah yang harus dijalankan
dengan penuh keadilan, kasih sayang, dan keteladanan.
Dalam sejarah Islam, dua sosok agung tampil sebagai
panutan utama dalam kepemimpinan: Rasulullah Muhammad ï·º dan Khalifah Umar bin Khathab ra.. Keduanya tidak hanya sukses secara
spiritual dan moral, tetapi juga berhasil membangun masyarakat yang kuat, adil,
dan sejahtera.
Rasulullah ï·º adalah pemimpin sejati yang memadukan kelembutan hati dengan
ketegasan dalam prinsip. Kepemimpinan beliau bukan didasarkan pada kekuasaan,
melainkan pada akhlak mulia, kesabaran, dan cinta kepada umat.
Allah SWT berfirman: "Sungguh telah datang
kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu,
sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi
penyayang terhadap orang-orang mukmin." (QS. At-Taubah: 128)
Dalam ayat ini tergambar sifat utama Rasulullah
sebagai pemimpin: peduli, penuh kasih sayang, dan sangat memperhatikan kondisi
umatnya. Namun, beliau juga sangat tegas ketika berhadapan dengan kezaliman dan
pelanggaran prinsip.
Contoh keteladanan beliau sebagai pemimpin terlihat
jelas dalam Piagam Madinah, yang mengatur hubungan antarumat beragama dan
menjadikan beliau sebagai pemimpin negara yang adil dan inklusif.
Rasulullah ï·º membangun sistem pemerintahan berdasarkan syura (musyawarah),
hukum (syariah), dan keadilan sosial. Kepemimpinan beliau juga sangat
partisipatif; beliau mendengarkan pendapat sahabat-sahabatnya dan menghargai
masukan dari siapa pun.
Setelah wafatnya Rasulullah ï·º, para sahabat melanjutkan kepemimpinan dengan sistem khilafah,
dan Umar bin Khathab ra. menjadi khalifah kedua setelah Abu Bakar ash-Shiddiq.
Umar dikenal sebagai pemimpin yang sangat tegas dalam menegakkan keadilan,
tetapi juga sangat peduli terhadap rakyat kecil.
Rasulullah ï·º pernah bersabda: "Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran
di lisan dan hati Umar." (HR. Tirmidzi, no. 3682).
Kepemimpinan Umar dikenal dengan berbagai reformasi
besar dalam pemerintahan Islam. Ia membentuk sistem administrasi pemerintahan,
memperluas wilayah Islam dengan tetap menjaga prinsip keadilan terhadap
non-Muslim, dan menjamin hak-hak sosial masyarakat.
Salah satu kisah terkenal adalah ketika Umar melakukan
investigasi malam hari untuk memastikan tidak ada rakyat yang kelaparan. Ia
pernah memikul sendiri karung gandum untuk seorang ibu yang kelaparan bersama
anak-anaknya, tanpa menyuruh pengawal atau pembantunya.
Umar juga mencetuskan sistem diwan (pencatatan
administrasi), pembagian wilayah administratif, serta menetapkan gaji untuk
pasukan dan pegawai negara. Ia sangat disiplin dalam pengawasan terhadap para
gubernur dan pejabat daerah. Tidak ada toleransi bagi penyalahgunaan kekuasaan.
Dalam Islam, pemimpin disebut sebagai khalifah, yang
berarti wakil atau pengganti Allah dalam mengelola bumi. Fungsi ini sangat
mulia, tetapi juga sangat berat. Rasulullah ï·º bersabda: "Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin
akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya." (HR. Bukhari dan
Muslim)
Baik Rasulullah ï·º maupun Umar bin Khathab menjalankan kepemimpinan sebagai bentuk
pengabdian, bukan sebagai sarana untuk mencari kehormatan duniawi. Mereka
mendahulukan maslahat umat, menolak hidup mewah, dan menjadikan keadilan
sebagai fondasi dalam pengambilan kebijakan.
Sistem kepemimpinan Islam yang dicontohkan oleh
keduanya berbasis pada nilai-nilai utama: (1) Tauhid (Ketundukan hanya kepada
Allah) (2) Syura (Musyawarah) (3) Adil (Menempatkan sesuatu pada tempatnya) (4)
Amanah (Tanggung jawab dan kejujuran) (5) Ihsan (Berbuat baik secara maksimal)
Keteladanan Rasulullah ï·º dan Umar bin Khathab ra. tetap relevan untuk dijadikan acuan
dalam membangun kepemimpinan di era modern. Dunia saat ini menghadapi berbagai
krisis kepemimpinan, mulai dari korupsi, ketidakadilan, hingga penyalahgunaan
kekuasaan. Nilai-nilai Islam menawarkan solusi yang berakar pada moralitas,
tanggung jawab sosial, dan keberpihakan kepada yang lemah.
Kita butuh lebih banyak pemimpin yang menjadikan
kepemimpinan sebagai amanah, bukan ambisi pribadi. Pemimpin yang melayani,
bukan dilayani. Pemimpin yang jujur, adil, dan berani mengambil keputusan demi
kemaslahatan umat, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah ï·º dan Umar bin Khathab ra.
Namun yang patut dipahami bahwa lahirnya kepemimpinan
yang mulai dalam sejarah, karena dilahirkan dari sistem Islam yang disebut
khilafah. Bukan lahir dari sistem jahiliah. Saat ini negeri ini menerapkan
sistem demokrasi sekuler dengan sistem ekonomi kapitalisme, maka mustahil akan
melahirkan pemimpin islami, sebab sistemnya saja sudah salah. Dari sumber mata
air yang kotor akan keluar air yang kotor pula.
Rasulullah ï·º dan Umar bin Khathab bukan hanya tokoh sejarah, tetapi
representasi ideal dari kepemimpinan Islam dalam sistem negara Islam. Mereka
menunjukkan bahwa kepemimpinan yang berhasil adalah yang bersandar pada akhlak,
keadilan, dan keberpihakan kepada rakyat. Dalam konteks sistem Islam, keduanya
adalah cermin pemimpin teladan yang patut diteladani oleh siapa pun yang
memikul amanah kepemimpinan. Apakah Indonesia yang mayoritas muslim masih
mendambakan tegaknya sistem Islam dan merindu lahirnya pemimpin terbaik ?.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 1111/31/08/08/25 : 10.35
WIB)

