Oleh : Ahmad Sastra
Tak lama
setelah dilantik, Menteri Keuangan (Menkeu) baru langsung melakukan gebrakan
kebijakan moneter dan fiskal. Ia menyatakan akan membongkar celengan negara
sejumlah Rp425 triliun yang berada di BI untuk mendongkrak ekonomi yang
belakangan ini lesu.
Dana yang
berasal dari hasil pungutan pajak dan sumber penerimaan negara lain itu hanya
dibiarkan mengendap dan tidak bisa diakses perbankan. Akhirnya, sistem keuangan
dalam negeri kering, ekonomi melambat dan orang Indonesia susah mencari kerja.
Pengamat
Ekonomi Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengatakan dampak penempatan dana
pemerintah memang pernah terbukti menggandakan kredit pada periode 2020-2021. Saat
itu pemerintah melakukan penempatan dana Rp66,99 triliun ke bank. Dana memicu
sekitar Rp382-387 triliun kredit. Artinya kata Syarifuddin, injeksi dana yang
besar dengan tata kelola dan target sektor yang ketat berpotensi mengungkit pembiayaan
beberapa kali lipat.
Dengan
begitu, serapan tenaga kerja juga bisa meningkat terutama di sektor konstruksi
dan rantai pasok bahan bangunan yang menyerap jutaan pekerja. Kemudian, serapan
tenaga kerja juga terjadi UMKM yang menyumbang porsi dominan pekerjaan
nasional.
Sementara
itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima
Yudhistira meminta Purbaya agar memastikan betul bank menggunakan suntikan
Rp200 triliun dengan baik. Bhima berpendapat memindahkan Rp200 triliun dari BI
ke enam bank belum tentu mendorong ekonomi. Ia menyoroti potensi uang itu
dibelikan surat berharga negara (SBN) oleh bank.
Uang secara
faktual memang memegang peran sentral dalam kehidupan ekonomi. Ia menjadi alat
tukar, penyimpan nilai, dan satuan hitung. Namun, konsep uang tidak netral.
Sistem ekonomi yang berbeda memiliki pandangan yang berbeda pula mengenai
fungsi dan peran uang.
Kesalahan Konsep Uang dalam Sistem Ekonomi Kapitalisme
Kapitalisme,
sebagai sistem ekonomi dominan di dunia saat ini, memandang uang sebagai komoditas
sekaligus alat tukar. Dalam pandangan ini, uang dapat “beranak pinak” melalui
mekanisme bunga. Bank sentral menciptakan uang melalui kebijakan moneter,
sedangkan bank komersial menciptakan uang melalui sistem fractional reserve
banking.
Dalam
kapitalisme, uang tidak harus berbasis nilai intrinsik. Uang fiat (uang kertas
tanpa jaminan emas atau perak) digunakan secara luas. Nilai uang bergantung
pada kepercayaan pasar dan stabilitas pemerintah.
Salah satu
aspek paling mencolok dalam sistem kapitalis adalah praktik bunga
(interest/riba). Sistem ini mengizinkan seseorang untuk meminjamkan uang dan
mendapatkan keuntungan dari selisihnya, yang dianggap sebagai bagian dari
mekanisme pasar bebas.
Namun,
sistem ini tidak lepas dari kritik. Ekonom seperti Thomas Piketty dan Joseph
Stiglitz menyoroti bagaimana sistem kapitalisme berbasis uang fiat dan bunga
justru memperlebar ketimpangan sosial dan memicu krisis keuangan seperti yang
terjadi pada 2008.
Keunggulan Konsep Uang dalam Islam
Dalam Islam,
uang dipandang bukan sebagai komoditas, melainkan alat tukar yang tidak boleh
menghasilkan keuntungan secara sendiri. Prinsip utama dalam ekonomi Islam
adalah larangan riba, yaitu segala bentuk pertambahan atas pokok yang
dipinjamkan. Al-Qur’an secara eksplisit mengharamkan riba dalam beberapa ayat,
di antaranya QS. Al-Baqarah [2]:275-279 :
Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (275). Allah memusnahkan
riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap
dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. (276). Sesungguhnya orang-orang yang
beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka
mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati.(277). Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika
kamu orang-orang yang beriman. (278). Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (279)
Islam juga
menekankan pentingnya uang yang memiliki nilai intrinsik, seperti dinar (emas)
dan dirham (perak). Meski demikian, ulama kontemporer membolehkan penggunaan
uang fiat selama digunakan secara adil dan tidak merugikan.
Dalam
pandangan Islam, uang tidak boleh menjadi alat spekulasi. Transaksi uang harus
berdasarkan kegiatan ekonomi riil seperti perdagangan, produksi, atau investasi
yang nyata. Hal ini menjauhkan sistem keuangan Islam dari praktik derivatif
spekulatif yang banyak terjadi dalam sistem kapitalis.
Selain itu,
Islam mendorong distribusi kekayaan secara adil, melalui mekanisme zakat,
infak, sedekah, dan wakaf. Sistem ini bertujuan untuk menghindari penumpukan
kekayaan pada segelintir orang (QS. Al-Hasyr [59]:7).
|
Aspek |
Kapitalisme |
Islam |
|
Pandangan terhadap uang |
Komoditas dan alat tukar |
Alat tukar, bukan komoditas |
|
Sumber nilai uang |
Kepercayaan pasar (fiat
money) |
Nilai intrinsik atau
keadilan ekonomi |
|
Bunga (interest) |
Diizinkan dan menjadi dasar
sistem keuangan |
Diharamkan (riba) |
|
Distribusi kekayaan |
Bergantung pada pasar |
Diperintahkan secara moral
dan sistemik (zakat, dll) |
|
Spekulasi finansial |
Diperbolehkan dalam batas
tertentu |
Dilarang (gharar dan maisir) |
Islam
memandang uang sebagai amanah, bukan instrumen akumulasi kekayaan semata. Dalam
sistem Islam, keberkahan ekonomi tidak diukur dari jumlah uang yang dimiliki,
tetapi dari kebermanfaatannya bagi masyarakat luas.
Implikasi terhadap Sistem Ekonomi
Salah satu
implikasi penting dari perbedaan ini adalah pada stabilitas ekonomi. Sistem
kapitalisme rentan terhadap krisis keuangan akibat spekulasi, inflasi, dan
gelembung aset. Sementara sistem keuangan Islam, karena berbasis aset riil dan
transaksi yang adil, cenderung lebih stabil secara fundamental.
Namun,
penerapan ekonomi Islam dalam skala global masih menghadapi tantangan, terutama
karena sistem moneter dunia didominasi oleh dolar AS dan institusi keuangan
konvensional.
Konsep uang
dalam Islam dan Kapitalisme mencerminkan filosofi yang sangat berbeda.
Kapitalisme mengedepankan efisiensi pasar dan kebebasan individu, termasuk
dalam memperjualbelikan uang. Sementara Islam mengedepankan keadilan,
keberkahan, dan tanggung jawab sosial.
Di tengah
krisis ekonomi global yang berulang, sistem ekonomi Islam mulai dilirik sebagai
alternatif yang lebih stabil dan beretika. Meski belum diterapkan secara
menyeluruh, prinsip-prinsipnya telah memengaruhi berbagai lembaga keuangan
syariah di dunia. Sebab sistem ekonomi Islam hanya bisa diterapkan dalam
institusi negara Islam yakni khilafah Islam.
Perbandingan antara Baitul Mal
dan Bank Konvensional
Lembaga
keuangan memiliki peran penting dalam mendukung aktivitas ekonomi masyarakat.
Dalam sistem ekonomi modern, bank konvensional menjadi lembaga utama dalam
menyimpan, menyalurkan, dan mengelola dana. Sementara dalam sistem ekonomi
Islam, terdapat lembaga yang dikenal sebagai Baitul Mal, yang berfungsi sebagai
pengelola keuangan publik berdasarkan prinsip syariah. Kedua lembaga ini
memiliki fungsi pengelolaan dana, namun berbeda secara fundamental dalam hal
tujuan, sumber dana, serta prinsip operasionalnya.
Baitul Mal
adalah lembaga keuangan publik dalam sistem ekonomi Islam yang bertugas mengelola
dana-dana umat seperti zakat, infak, sedekah, kharaj, jizyah, dan ghanimah.
Tujuan utamanya adalah untuk kesejahteraan sosial dan keadilan ekonomi, bukan
untuk mencari keuntungan.
Baitul Mal
telah ada sejak masa Rasulullah SAW dan berkembang pada era Khulafaur Rasyidin,
terutama di masa Umar bin Khattab. Dana yang dikumpulkan digunakan untuk
membiayai kepentingan umum seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan
bantuan kepada fakir miskin.
Sementara
itu, bank konvensional adalah lembaga keuangan yang beroperasi berdasarkan
sistem bunga (interest) dan berorientasi pada keuntungan. Bank menerima
simpanan dari masyarakat dan menyalurkannya kembali dalam bentuk kredit dengan
imbal hasil berupa bunga.
Sumber dana
bank berasal dari simpanan nasabah, pinjaman antar bank, dan modal pemilik.
Dana yang dikelola digunakan untuk kegiatan ekonomi berbasis profit, tanpa
mempertimbangkan aspek halal-haram menurut syariah.
|
Aspek |
Baitul Mal |
Bank Konvensional |
|
Tujuan |
Keadilan dan kesejahteraan
sosial |
Keuntungan ekonomi |
|
Sumber Dana |
Zakat, infak, sedekah, pajak
Islam |
Simpanan, pinjaman, modal |
|
Penggunaan Dana |
Kepentingan umat dan sosial |
Kredit, investasi komersial |
|
Sistem Operasi |
Tanpa bunga, berbasis
syariah |
Menggunakan sistem bunga |
Meskipun
sama-sama mengelola dana masyarakat, Baitul Mal dan bank konvensional berbeda
secara filosofi dan operasional. Baitul Mal berperan sebagai lembaga distribusi
kekayaan demi keadilan sosial, sedangkan bank konvensional berfungsi sebagai
perantara keuangan berbasis bunga untuk meraih profit. Sepanjang peradaban Islam
dibawah institusi khilafah, baitul mal telah menjadi penopang utama Kesejahteraan
masyarakat muslim maupun non muslim.
Referensi:
- Chapra, M. Umer. Islam and
the Economic Challenge. Islamic Foundation, 1992.
- Piketty, Thomas. Capital in
the Twenty-First Century. Harvard University Press, 2014.
- Siddiqi, M. N. Riba, Bank
Interest and the Rationale of Its Prohibition. Islamic Research and
Training Institute, 2004.
- Stiglitz, Joseph. Globalization
and Its Discontents. W. W. Norton & Company, 2002.
- Al-Qur’an, QS. Al-Baqarah
[2]:275-279; QS. Al-Hasyr [59]:7
- Kahf, Monzer. Islamic
Economics: Notes on Definition and Methodology. Islamic Research and
Training Institute, 2004.
- Al-Qaradawi, Yusuf. Fiqh
al-Zakah. Dar Al-Taqwa, 1999.
- Antonio, M. Syafii. Bank
Syariah: Dari Teori ke Praktik. Gema Insani, 2001.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan,
No.1131/12/09/25 : 21.11 WIB)

