PSIKOLOGI DEMONSTRASI



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Beberapa pekan ini, dunia menyoroti sederet aksi demonstrasi di berbagai negara yang berakhir ricuh, bahkan sampai melakukan berbagai bentuk kerusakan fasilitas umum. Tak hanya sampai disitu, demonstrasi juga menelan korban jiwa, baik dari peserta aksi maupun pihak yang menjadi sasaran protes.

 

Bulan ini banyak terjadi demonstrasi, dinataranya di Perancis, Australia, Indonesia, dan Nepal. Demonstrasi paling ekstrim terjadi di Nepal, dimana perdana menterinya dipaksa mundur hingga harus menelan korban jiwa. Tak sampai disitu, salah satu menteri Nepal harus berlarian dikeroyok massa. Di Indonesia, seorang pengemudi OJOL harus jadi korban karena terlindas mobil polisi.

 

Setiap kali berita menyorot demonstrasi besar-besaran, terutama yang berujung pada kerusuhan, muncul pertanyaan: apa yang mendorong sekelompok orang berubah dari sekadar menyuarakan pendapat menjadi aksi destruktif?.

 

Fenomena ini bukan hanya soal politik atau ekonomi, tapi juga menyentuh ranah psikologi sosial yang dalam. Psikologi kerusuhan demonstrasi mengungkap bagaimana individu dapat kehilangan identitas personalnya dan bertindak dengan cara yang mungkin tak pernah mereka lakukan saat sendirian.

 

Salah satu konsep kunci dalam memahami kerusuhan adalah deindividuasi. Konsep ini pertama kali dipopulerkan oleh Leon Festinger (1952), dan kemudian dikembangkan oleh Philip Zimbardo.

 

Deindividuasi terjadi ketika seseorang berada dalam kerumunan besar dan kehilangan kesadaran akan identitas personal serta norma sosial yang biasa mengendalikan perilaku mereka. Dalam situasi ini, individu merasa anonim dan tidak bertanggung jawab atas tindakannya.

 

Sebagai contoh, dalam kerusuhan yang mengikuti demonstrasi, seseorang yang biasanya patuh hukum dapat tiba-tiba melempar batu ke arah polisi atau membakar fasilitas umum. Tindakan ini bukan muncul dari niat jahat pribadi, tetapi dari kondisi psikologis yang terbentuk saat menjadi bagian dari massa.

 

Teori Identitas Sosial yang dikembangkan oleh Henri Tajfel dan John Turner menjelaskan bahwa individu cenderung mengelompokkan diri dalam kategori sosial tertentu, seperti “demonstran” vs “otoritas”. Dalam demonstrasi yang memanas, proses kategorisasi ini semakin menguat dan menciptakan polarisasi.

 

Kelompok demonstran mulai melihat pihak berwenang sebagai musuh yang tidak memahami atau menindas. Sebaliknya, aparat melihat massa sebagai ancaman terhadap ketertiban umum. Ketegangan ini memperbesar kemungkinan terjadinya konflik terbuka dan kekerasan.

 

Penelitian menunjukkan bahwa ketika seseorang merasa kelompoknya mengalami ketidakadilan sistemik, maka perilaku radikal dapat dianggap sah dan bahkan perlu dilakukan sebagai bentuk perjuangan (Reicher, 2001).

 

Demonstrasi biasanya lahir dari ketidakpuasan, tetapi kerusuhan muncul ketika emosi kolektif seperti kemarahan dan frustrasi tidak dikelola. Ketika ribuan orang berkumpul dengan narasi yang sama, merasa tertindas, diabaikan, atau dizalimi, maka kemarahan bisa menyatu menjadi kekuatan yang sangat destruktif.

 

Psikolog sosial Craig A. Anderson (2000) menyebut bahwa kemarahan kolektif dalam kerumunan bisa menciptakan efek “emosi sosial” yang menyebar cepat, bahkan lebih cepat daripada logika. Ketika satu orang memprovokasi, yang lain bisa ikut-ikutan karena merasakan emosi yang sama dan merasa bahwa aksi tersebut bisa dibenarkan secara moral.

 

Di era digital, media sosial memperkuat dinamika psikologis dalam kerusuhan. Informasi, benar atau salah, menyebar dengan cepat, menciptakan rasa darurat atau ketidakadilan massal. Media sosial juga mempercepat proses identifikasi kelompok dan memperkuat narasi “kami vs mereka”.

 

Menurut laporan Pew Research Center (2021), media sosial berperan besar dalam memobilisasi massa, tetapi juga bisa memperbesar konflik dengan menyebarkan ujaran kebencian, disinformasi, atau video yang memicu kemarahan. Konten semacam ini bisa menjadi “pemantik” kerusuhan, bahkan jika awalnya demonstrasi berlangsung damai.

 

Salah satu faktor psikologis yang memperburuk kerusuhan adalah persepsi tindakan represif dari aparat. Dalam banyak kasus, kerusuhan justru pecah setelah bentrokan dengan pihak keamanan.

 

Studi oleh Reicher & Stott (2004) menunjukkan bahwa ketika demonstran merasa diperlakukan tidak adil atau mengalami kekerasan berlebihan dari aparat, mereka akan merasa legitimasi negara hilang, sehingga aksi balasan dianggap sah. Hal ini menjelaskan mengapa kadang demonstrasi yang awalnya damai bisa berubah menjadi kekacauan begitu terjadi bentrokan dengan polisi atau militer.

 

Kerusuhan dalam demonstrasi tidak muncul begitu saja. Ia merupakan hasil dari interaksi kompleks antara faktor psikologis individu, dinamika kelompok, emosi kolektif, dan respons eksternal. Memahami psikologi di balik kerusuhan penting bukan hanya untuk mencegah kekerasan, tetapi juga untuk membangun ruang demokrasi yang sehat, di mana aspirasi masyarakat dapat disalurkan tanpa kekacauan.

 

Pendekatan represif semata justru bisa memperparah situasi. Yang lebih dibutuhkan adalah pemahaman, komunikasi, dan kebijakan yang merespons akar masalah sosial secara adil. Hanya dengan begitu, suara rakyat bisa didengar tanpa harus dibarengi dengan api dan batu.

 

Pihak otoritas harus sering membuka mata dan telinga, terlebih hati, untuk mampu membaca kondisi masyarakat yang dipimpinnya. Sebab pada dasarnya demonstrasi yang terjadi di berbagai negara akhir-akhir ini dipicu oleh rasa marah, muak dan ketidakpuasan atas sistem dan kepemimpinan yang ada. Terlebih di Indonesia, saat rakyat lapar dan dikecik pajak, para pejabat malah joget-joget.

 

Referensi

 

Festinger, L., Pepitone, A., & Newcomb, T. (1952). Some consequences of de-individuation in a group. The Journal of Abnormal and Social Psychology, 47(2), 382–389.

 

Zimbardo, P. (1969). The human choice: Individuation, reason, and order versus deindividuation, impulse, and chaos. In W. Arnold & D. Levine (Eds.), Nebraska Symposium on Motivation.

 

Tajfel, H., & Turner, J. C. (1986). The social identity theory of intergroup behavior. In S. Worchel & W. G. Austin (Eds.), Psychology of intergroup relations.

 

Reicher, S., & Stott, C. (2004). The psychology of crowd dynamics. In T. Newburn & J. Peay (Eds.), Policing: Politics, culture and control.

 

Anderson, C. A., & Bushman, B. J. (2000). Human aggression. Annual Review of Psychology, 53(1), 27-51.

 

Pew Research Center. (2021). Social media and protest mobilization.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1035/17/09/25 : 07.55 WIB)

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad