Oleh : Ahmad Sastra
Dampak bencana banjir di Sumatera begitu
signifikan. Ada desa yang nyaris lenyap hingga sungai yang menyerupai daratan. Adapun
dampak ini terlihat dari apa yang terjadi di Aceh hingga Sumatera Utara. Banjir
bandang menyisakan material yang begitu banyak. Seperti misalnya di Desa
Sekumur di Aceh Tamiang, Provinsi Aceh. Desa ini disebut hilang disapu banjir
bandang pekan lalu. Di kampung itu hanya tersisa masjid dan tumpukan kayu
beragam ukuran.
Dilansir detikSumut, Minggu (7/12/2025),
ketinggian banjir merendam desa itu hampir mencapai atap masjid. Beberapa warga
berada di atas tumpukan kayu yang tingginya hampir sama dengan atap masjid.
Tidak terlihat bangunan lain di sekitar
masjid. Warga menyebutkan desa itu hilang diterjang banjir yang terjadi pada
Kamis (27/11) lalu. "Rumah warga hilang terbawa banjir dengan ketinggian
air diperkirakan mencapai 7 hingga 10 meter, Desa Sekumur lenyap dalam sekejap,
hanya tersisa masjid," kata warga Aceh Tamiang, Hendra, Sabtu (6/12).
Meskipun pemerintah telah menyalurkan berbagai bentuk
bantuan, sejumlah laporan di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak daerah
yang belum tersentuh distribusi tersebut. Hambatan akses, kurangnya koordinasi
antarinstansi, serta keterbatasan infrastruktur membuat proses penyaluran tidak
merata. Akibatnya, banyak warga di wilayah terpencil terpaksa bertahan tanpa
suplai logistik yang memadai, sementara kondisi darurat terus berlangsung.
Situasi ini diperparah oleh pernyataan Gubernur Aceh
yang menegaskan bahwa sebagian rakyatnya meninggal bukan terutama karena dampak
langsung bencana, melainkan karena kelaparan yang tak tertanggulangi.
Pernyataan tersebut menggambarkan betapa seriusnya kegagalan distribusi bantuan
dan lemahnya respons kemanusiaan di daerah terdampak. Kondisi ini menuntut
evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola penanganan bencana agar tragedi yang
serupa tidak terulang.
Sejumlah warga terpaksa berjalan kaki selama
berhari-hari hanya untuk mendapatkan sedikit makanan. Mereka menembus medan
yang rusak akibat bencana, melewati reruntuhan bangunan, tanah longsor, dan
jalan yang terputus. Kondisi ini menunjukkan betapa kritisnya situasi kebutuhan
pangan di lokasi terdampak dan betapa tidak meratanya distribusi logistik yang
seharusnya dapat segera menjangkau seluruh korban.
Untuk kebutuhan minum, sebagian warga terpaksa
menyaring air genangan yang kotor karena tidak tersedia sumber air bersih. Air
yang mereka konsumsi hanyalah hasil penyaringan sederhana yang tentu tidak
layak secara kesehatan, berpotensi menimbulkan penyakit, dan memperburuk
situasi darurat. Ketika beberapa daerah mulai tercium bau bangkai yang belum
dievakuasi, risiko penyebaran penyakit menjadi semakin tinggi dan menambah
beban psikologis para korban yang sudah mengalami trauma mendalam.
Di sisi lain, fasilitas umum yang sangat dibutuhkan
masyarakat, seperti jalan, jembatan, listrik, dan air bersih belum pulih.
Infrastruktur yang lumpuh membuat akses bantuan semakin sulit, komunikasi terputus,
dan aktivitas penyelamatan menjadi terhambat. Ketidakpulihan fasilitas vital
ini menghambat pemulihan awal dan menegaskan perlunya penanganan bencana yang
lebih cepat, terkoordinasi, dan berorientasi pada keselamatan masyarakat.
Persoalan mendasar dari lambannya penanganan bencana
dan lemahnya keberpihakan pada rakyat sesungguhnya berakar pada mindset bernegara
dan paradigma kepemimpinan. Banyak pejabat melihat kekuasaan bukan sebagai
amanah untuk melindungi dan menyejahterakan rakyat, melainkan sebagai posisi
strategis yang dapat dimanfaatkan untuk memperluas jejaring, pengaruh, serta
keuntungan politik. Ketika pola pikir ini mengakar, negara kehilangan orientasi
moralnya dan gagal menjalankan fungsi asasinya sebagai pelindung warga.
Dalam sistem demokrasi yang praktiknya telah
terkooptasi oleh kepentingan kapital, menjadi penguasa sering kali berarti mendahulukan
kepentingan kelompok pendukung dan oligarki yang telah menjadi investor
politik. Para pemilik modal memberikan dukungan tidak secara cuma-cuma, tetapi
sebagai investasi yang harus kembali dalam bentuk kemudahan izin, pengabaian
hukum, atau perlindungan atas operasi bisnis mereka. Akibatnya, relasi kuasa
berubah: bukan rakyat yang menjadi prioritas, melainkan para penyandang dana
politik yang menuntut balas jasa.
Hal tersebut terbukti dari fakta bahwa hingga hari ini
belum ada satu pun pemilik perusahaan yang diduga menjadi penyebab bencana
ditetapkan sebagai tersangka. Penegakan hukum berjalan lambat, penuh tarik
ulur, dan cenderung menghindari aktor-aktor besar yang memiliki koneksi kuat
dengan elit kekuasaan. Ketidakberanian aparat untuk menyentuh para pemilik
modal menunjukkan betapa hukum telah mengalami distorsi, dan betapa kuatnya
pengaruh oligarki dalam menentukan arah kebijakan maupun proses penegakan
keadilan.
Anggaran penanggulangan bencana dalam RAPBN 2026
menunjukkan lemahnya prioritas negara dalam melindungi rakyat dari ancaman
ekologis yang semakin sering terjadi. Dana untuk lembaga kebencanaan pemerintah
hanya dialokasikan sebesar Rp4,6 triliun, jumlah yang sangat kecil jika
dibandingkan dengan skala ancaman bencana di Indonesia yang termasuk negara
paling rawan bencana di dunia. Minimnya anggaran ini berpotensi memperlambat
mitigasi, memperburuk respons darurat, serta menghambat pemulihan jangka
panjang bagi masyarakat terdampak.
Sebaliknya, anggaran untuk program MBG justru melonjak
drastis hingga Rp335 triliun, mencerminkan ketidakseimbangan dalam penetapan
prioritas pembangunan nasional. Ketimpangan ini memperlihatkan bahwa orientasi
fiskal pemerintah cenderung lebih mengutamakan proyek-proyek besar daripada
kebutuhan dasar rakyat yang berhubungan langsung dengan keselamatan jiwa.
Perbedaan alokasi ini mengundang pertanyaan kritis tentang komitmen negara
dalam mengatasi krisis ekologis serta kualitas tata kelola anggaran yang
seharusnya berpihak pada kepentingan publik.
Islam Mewajibkan Negara Mengurusi Rakyat
Islam mewajibkan Daulah Khilafah untuk mengurus dan
menangani korban bencana dengan standar syariat yang jelas dan terukur.
Pengelolaan negara bukan sekadar administrasi birokratis, tetapi merupakan
amanah syar‘i yang menuntut kepemimpinan bertakwa serta kebijakan yang berpihak
penuh pada keselamatan dan kesejahteraan rakyat. Karena itu, penanganan bencana
tidak diserahkan pada mekanisme pasar, tidak pula bergantung pada kepentingan
politik, melainkan berlandaskan nash syariat yang mengikat.
Dalam sistem Khilafah, alokasi anggaran dalam APBN
(Baytul Mal) disusun sesuai ketentuan syariat. Pos-pos anggaran seperti fai’,
kharaj, jizyah, dan hasil kepemilikan umum diarahkan untuk memastikan
terpenuhinya kebutuhan mendesak rakyat, termasuk penanganan korban bencana.
Dengan struktur anggaran yang bersifat amanah dan tidak dipengaruhi kepentingan
oligarki, negara dapat mengerahkan seluruh potensi finansialnya secara cepat
dan tepat, tanpa hambatan politik atau korupsi.
Selain itu, negara juga akan menyerukan warga untuk
saling tolong-menolong sebagaimana diperintahkan dalam Islam. Mobilisasi
masyarakat dilakukan secara terorganisir, bukan sekadar imbauan tanpa arah.
Negara menggerakkan potensi sosial, lembaga kemasyarakatan, dan komunitas agar
bahu-membahu membantu korban bencana. Semangat ukhuwah ini memperkuat
solidaritas sosial sehingga setiap individu merasa bertanggung jawab melindungi
dan menyelamatkan saudaranya yang tertimpa musibah.
Apabila kas Baytul Mal tidak mencukupi, negara akan
memungut dharibah secara syar‘i, yaitu pungutan sementara kepada kaum Muslim
yang mampu untuk menutupi kebutuhan mendesak penanganan bencana. Pada saat yang
sama, negara memastikan bahwa seluruh kebutuhan dasar rakyat terpenuhi, mulai
dari makanan, tempat tinggal, hingga pemulihan fasilitas umum seperti jalan,
jembatan, listrik, dan air bersih. Dengan mekanisme ini, Khilafah mampu
memberikan respons cepat, terstandar, dan berkeadilan, sehingga masyarakat
dapat segera bangkit kembali pascabencana.
Mindset yang dibentuk Islam dalam bernegara adalah ri’ayah
syu’un al-ummah, yaitu mengurus dan mengatur urusan rakyat dengan penuh
amanah. Negara dalam pandangan Islam bukanlah alat kekuasaan, melainkan
institusi yang diwajibkan syariat untuk menjaga maslahat manusia.
Allah SWT menegaskan kewajiban pemimpin untuk
menegakkan keadilan dan amanah dalam firman-Nya: “Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila
kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan
adil.” (QS. An-Nisa’ [4]: 58). Ayat ini menegaskan bahwa tugas negara
adalah mengurus urusan rakyat, bukan mengokohkan kekuasaan.
Kepemimpinan dalam Islam dipahami sebagai tanggung
jawab berat, bukan privilege politik. Rasulullah ﷺ bersabda, “Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat, dan ia
akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. al-Bukhari dan
Muslim).
Hadis ini menegaskan konsep ri’ayah, yakni
pemimpin harus berada di garda depan dalam melindungi rakyat, menghadirkan
keamanan, dan menjamin terpenuhinya kebutuhan mereka. Dengan demikian, arah
kepemimpinan ditentukan oleh tuntunan syariat, bukan oleh kepentingan kelompok
atau kekuatan oligarki.
Umat sangat membutuhkan penerapan syariat secara
menyeluruh (kaffah) karena hanya syariat yang memberi mekanisme adil
dalam mengatur kehidupan, termasuk dalam menghadapi bencana.
Allah SWT berfirman: “Apakah hukum jahiliyyah yang
mereka kehendaki? Dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi
orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Ma’idah [5]: 50).
Ayat ini menunjukkan bahwa hukum di luar syariat hanya
menghasilkan ketidakadilan, termasuk dalam tata kelola negara, distribusi
bantuan, dan perlindungan rakyat. Syariat-lah yang memastikan negara
menjalankan fungsinya sebagai pelindung bagi manusia di saat aman maupun
krisis.
Karena itu, umat membutuhkan Daulah Khilafah sebagai
institusi yang menerapkan syariat secara menyeluruh dan konsisten. Khilafah
bukan sekadar struktur politik, tetapi wujud konkret dari kewajiban menegakkan
hukum Allah dalam mengatur urusan manusia. Dalam konteks bencana, Khilafah akan
menggerakkan seluruh potensi negara—anggaran, personel, logistik, dan
solidaritas masyarakat sebagaimana diwajibkan syariat untuk menjaga nyawa dan
kehormatan rakyat.
Nabi ﷺ bersabda, “Kaum
Muslimin itu bersaudara; seseorang tidak menzalimi saudaranya dan tidak
membiarkannya (dalam kesusahan).” (HR. al-Bukhari). Hadis ini menegaskan
bahwa negara Islam harus menjadi pelindung utama rakyat, sehingga mereka merasa
aman dan terayomi dalam kondisi apa pun, baik di masa normal maupun ketika
ditimpa bencana.
Belajar Dari Kepemimpinan Khalifah
Dalam ajaran Islam, seorang pemimpin
memiliki peran krusial sebagai junnah atau perisai yang melindungi rakyatnya
dari berbagai ancaman dan kesulitan. Konsep kepemimpinan ini adalah cerminan
dari Islam itu sendiri sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam),
di mana aturannya yang komprehensif mencakup solusi untuk berbagai problematika
hidup manusia, termasuk penanggulangan bencana. Sejarah peradaban Islam
mencatat teladan luar biasa dari para pemimpin yang tidak hanya merespons
bencana, tetapi juga membangun sistem preventif yang visioner.
Kisah-kisah ini bukan hanya teladan
kepemimpinan, tetapi juga menunjukkan evolusi dalam penanggulangan bencana:
dari solusi reaktif berbasis infrastruktur di masa Umar, berkembang menjadi
pendekatan proaktif berbasis data di era Abdul Malik, dan akhirnya melembaga
menjadi sistem negara yang berkelanjutan di bawah Bani Abbasiyah.
Umar bin Khattab: Pelopor Pembangunan
Tanggul Pelindung. Sayyidina Umar bin Khattab adalah Khalifah kedua setelah
Rasulullah SAW. Beliau dikenal sebagai seorang pemimpin yang sangat tegas dalam
kebenaran, namun hatinya begitu lembut dan peduli terhadap kondisi setiap
individu rakyatnya. Kepemimpinannya menjadi model bagi para pemimpin generasi
sesudahnya.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar,
terjadi sebuah peristiwa banjir bandang yang dahsyat di kota Makkah. Banjir ini
begitu besar hingga menggenangi area sekitar Ka’bah di Masjidil Haram.
Peristiwa ini kemudian dikenal dengan sebutan “banjir Ummu Nashal”. Nama ini
diabadikan untuk mengenang salah seorang korban jiwa dalam peristiwa tersebut,
seorang wanita mukminah bernama Ummu Nashal binti Ubaidah bin Said.
Menghadapi tantangan ini, Khalifah Umar
tidak hanya memberikan bantuan darurat, tetapi langsung mengambil langkah
strategis dengan membangun infrastruktur pelindung.
Dua kontribusi utamanya adalah: Pertama, Tanggul
Bagian Atas, dengan tujuan strategis dibangun untuk memecah dan membelokkan
arus air yang deras. Tujuannya agar volume air bah tidak langsung menerjang dan
merusak bangunan suci Ka’bah serta area Masjidil Haram.
Kedua, Tanggul Bagian Bawah (Rodam
Al-Usaid), dengan tujuan strategis dibangun di area yang lebih rendah sebagai
lapisan pelindung kedua. Rodam (sejenis tanggul atau bendungan) ini berfungsi
menahan sisa aliran air dan mencegah genangan meluas ke pemukiman penduduk.
Kepemimpinan Khalifah Umar tidak hanya
terbatas pada solusi fisik. Saat gempa bumi pernah mengguncang Madinah, respons
beliau menunjukkan dimensi kepemimpinan spiritual yang utuh. Saat gempa
mengguncang Madinah, beliau segera keluar dan menyeru kepada penduduk,
menanyakan apakah ada di antara mereka yang telah berbuat maksiat. Beliau
memahami bencana sebagai pengingat dari Allah, dan ajakannya menggerakkan umat
untuk berintrospeksi dan beristigfar bersama, yang seketika itu menghentikan
guncangan.
Dengan kebijakan infrastruktur dan
spiritualnya, Umar bin Khattab secara nyata mewujudkan perannya sebagai junnah
yang melindungi umat baik dari ancaman fisik maupun kelalaian spiritual.
Inovasi yang dipeloporinya ini menjadi fondasi bagi upaya-upaya penanggulangan
bencana yang lebih terstruktur oleh para pemimpin generasi berikutnya.
REFERENSI
Al-Bukhari, M. I. (2002). Ṣaḥīḥ al-Bukhārī
(Vol. 9; M. Muhsin Khan, Trans.). Darussalam.
Al-Qaradawi, Y. (1999). Fiqh ad-Dawlah fī al-Islām.
Dar al-Syuruq.
An-Nawawi, Y. ibn S. (1996). Ṣaḥīḥ Muslim bi Syarḥ
an-Nawawī (Vol. 12). Dar al-Ma‘rifah.
Muslim, I. al-Ḥ. (2007). Ṣaḥīḥ Muslim (A.
Siddiqi, Trans.). Darussalam.
Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī. (2000). Fatḥ al-Bārī: Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī
(Vol. 13). Dar al-Ma‘rifah.
Al-Mubarakfuri, A. (2008). Tuhfat al-Ahwazī bi Syarḥ Jāmi‘ at-Tirmiżī
(Vol. 6). Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1202/08/12/25
: 20.50 WIB)

