Oleh : Ahmad Sastra
Ada pernyataan sederhana namun mengganggu: organisasi
cenderung mempromosikan orang sampai mencapai tingkat ketidakmampuan mereka.
Dikenal sebagai Peter Principle, gagasan ini pertama kali dikemukakan
oleh Laurence J. Peter pada 1969 dan sejak itu menjadi lensa populer untuk
melihat mengapa individu yang berhasil di satu posisi bisa gagal total di
posisi yang lebih tinggi yang menuntut keahlian berbeda.
Dalam konteks pemerintahan, ketika posisi pengambilan
keputusan diisi bukan oleh mereka yang memiliki kompetensi teknis, manajerial,
atau integritas yang relevan, konsekuensinya bukan hanya birokratis, melainkan
kemunduran kemampuan negara untuk merespon masalah publik secara efektif.
Mengapa hal ini penting? Negara modern mengelola
urusan yang kompleks: anggaran dan fiskal, kesehatan publik, mitigasi bencana,
infrastruktur, regulasi pasar, hingga keamanan siber. Keberhasilan kebijakan
bergantung pada kualitas institusi, struktur formal dan aturan permainan yang
membentuk insentif bagi para aktor publik dan swasta.
Penelitian di bidang ekonomi kelembagaan menegaskan
bahwa institusi yang inklusif dan efektif mendorong kemakmuran, sementara
institusi yang lemah atau ekstraktif menghasilkan stagnasi dan kemunduran.
Artinya, bukan sekadar niat baik pemimpin, melainkan kemampuan untuk membangun
dan menjalankan institusi yang baik yang menentukan nasib sebuah negara.
Ketika pemerintahan dikuasai oleh bukan ahlinya,
dampaknya dapat dilihat dalam beberapa jalur konkret. Pertama, government
effectiveness, kapasitas birokrasi untuk merencanakan dan melaksanakan
kebijakan menurun, sehingga layanan publik terdegradasi dan proyek-proyek
penting tertunda atau gagal.
Indikator global seperti Worldwide Governance
Indicators menempatkan efektivitas pemerintah sebagai salah satu dimensi
utama kualitas pemerintahan, dan perbaikan di dimensi ini berkaitan langsung
dengan hasil pembangunan seperti kesehatan dan pertumbuhan ekonomi. Ketika
jabatan strategis diisi oleh orang tanpa kapabilitas, skor dan kenyataan di
lapangan cenderung memburuk.
Kedua, ada risiko meningkatnya korupsi atau kombinasi
antara korupsi dan inkompetensi. Studi akademik baru menunjukkan adanya “nexus”
antara korupsi dan inkompetensi: organisasi atau pemerintahan bisa menjadi
korup sekaligus relatif kompeten (mengelola korupsi demi stabilitas tertentu) atau
korup sekaligus inkompeten yang justru memperparah kegagalan kebijakan.
Dalam praktiknya, pejabat yang tidak berkompeten lebih
rentan membuat keputusan keliru yang membuka peluang bagi kebocoran anggaran,
kontrak yang merugikan negara, dan program yang tidak tepat sasaran.
Selain itu, ada dimensi sosiologis yang sering kurang
dibahas: penelitian mendorong ilmuwan sosial untuk meneliti inkompetensi
sebagai fenomena yang sistemik, bukan sekadar cacat individu.
Ketidakmampuan organisasi publik sering bermula dari
budaya promosi yang salah, tidak adanya mekanisme akuntabilitas yang efektif,
serta stigma yang membuat kesalahan tidak diakui dan tidak dijadikan bahan
pembelajaran. Akibatnya, kesalahan berulang menjadi normal, sebuah kondisi yang
fatal bagi penanganan krisis seperti pandemi, banjir besar, atau kerusakan
ekonomi.
Bagaimana negara bisa terhindar dari jebakan ini?
Pertama, memperkuat meritokrasi dalam rekrutmen dan promosi jabatan publik
penting, bukan sekadar retorika. Sistem rekrutmen berbasis kompetensi,
penilaian kinerja yang transparan, dan mekanisme promosi yang mengutamakan
rekam jejak teknis serta kemampuan manajerial akan menekan efek Peter
Principle.
Kedua, memperbaiki institusi pengawasan dan
akuntabilitas, audit independen, kebebasan pers, serta lembaga anti-korupsi
yang efektif, membuat biaya bagi tindakan koruptif dan keputusan tidak
profesional meningkat.
Ketiga, investasi berkelanjutan dalam pelatihan
birokrat dan pengembangan kepemimpinan publik memampukan rotasi pegawai tanpa
menurunkan kualitas manajemen. (Poin-poin ini konsisten dengan rekomendasi
kebijakan pembangunan institusional yang diangkat lembaga-lembaga internasional
dan akademik.)
Namun, memperkuat keahlian di pemerintahan bukan
berarti menyerahkan semuanya kepada teknokrat. Politik dan teknokrasi bukanlah
antonim mutlak: legitimasi demokratis dan keahlian teknis harus berjalan
beriringan.
Solusi yang berhasil kerap berupa kombinasi, pemimpin
yang dipilih secara politik merekrut penasihat teknis yang kuat, membangun tim
profesional di tingkat administratif, dan bersedia tunduk pada mekanisme
evaluasi berbasis bukti. Model yang menyeimbangkan akuntabilitas politik dan
kompetensi teknis meningkatkan kemungkinan kebijakan yang efektif dan
berkelanjutan.
Contoh-contoh dunia nyata menunjukkan konsekuensi
kebijakan yang buruk ketika ahli dikesampingkan. Di banyak kasus bencana atau
krisis ekonomi, respons yang lamban atau tidak tepat seringkali berkaitan
dengan lemahnya kapasitas birokrasi atau keputusan politik yang mengabaikan
rekomendasi teknis.
Di sisi lain, negara-negara yang secara konsisten
menguatkan kapasitas administrasi publik dan menegakkan standar profesional
cenderung lebih cepat pulih dari krisis dan memelihara kepercayaan publik.
(Analisis empiris pada indikator kualitas pemerintahan mendukung pola ini.)
Penutup: mengurus negara lebih dari sekadar memimpin, ia
menuntut merancang, mengoperasikan, dan mereformasi mesin publik yang besar.
Ketika kursi-kursi kunci diisi bukan oleh mereka yang memiliki kompetensi,
risikonya bukan sekadar kebijakan yang kurang tepat, melainkan hilangnya
kapasitas negara untuk memenuhi janji-janji dasarnya kepada warga.
Oleh karena itu, memperjuangkan meritokrasi, membangun
institusi yang kuat, dan menyeimbangkan legitimasi politik dengan kapasitas
teknis bukan lagi pilihan teknis semata, ia adalah prasyarat bagi negara yang
mampu menjaga kesejahteraan rakyatnya di era kompleksitas tinggi.
Profesionalisme dalam Islam
Islam mengajarkan profesionalisme sebagai prinsip
mendasar dalam menjalankan setiap amanah. Dalam pandangan Islam, setiap
pekerjaan, jabatan, atau tanggung jawab harus dilaksanakan oleh orang yang
memiliki kemampuan dan memahami seluk-beluk tugas tersebut.
Hal ini tercermin dari banyak ayat Al-Qur’an dan hadis
yang menegaskan pentingnya menempatkan sesuatu pada ahlinya (wad'u al-syay’
fi mahallihi). Dengan demikian, profesionalisme bukan hanya nilai etis,
tetapi juga bagian dari ibadah, karena Allah memerintahkan manusia untuk
bekerja secara benar, tepat, dan penuh tanggung jawab.
Lebih jauh, Islam memandang keahlian sebagai syarat
utama bagi keberhasilan suatu pekerjaan. Rasulullah SAW menegaskan melalui
sabdanya: “Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya,
tunggulah kehancurannya.” (HR. al-Bukhari).
Hadis ini menjadi prinsip bahwa kompetensi dan ilmu
merupakan fondasi yang tidak boleh diabaikan. Tanpa keahlian, amanah bisa
berubah menjadi kerusakan, kebijakan salah, dan dampak buruk bagi banyak orang.
Oleh karena itu, Islam menuntut umatnya untuk menuntut ilmu, meningkatkan
kapasitas diri, serta memastikan bahwa setiap amanah dijalankan oleh orang yang
kompeten.
Profesionalisme dalam Islam juga mencakup integritas
dan etos kerja. Seorang profesional bukan hanya orang yang ahli, tetapi juga
orang yang jujur, adil, berakhlak, serta bertanggung jawab atas hasil kerjanya.
Al-Qur’an memerintahkan manusia untuk berbuat ihsan, melakukan sesuatu dengan
kualitas terbaik.
Dengan demikian, Islam menghadirkan konsep
profesionalisme yang utuh: menggabungkan keahlian teknis, moralitas, dan
kesungguhan dalam bekerja. Prinsip ini memastikan bahwa setiap urusan ditangani
secara benar, efektif, dan membawa kemaslahatan bagi masyarakat.
REFERENSI
Acemoglu, D., & Robinson, J. A. (2012). Why
nations fail: The origins of power, prosperity, and poverty. Crown
Business.
Bozeman, B., & Pan, D. (2022). The
corruption–incompetence nexus. Journal of Policy Studies.
Chattoe‐Brown, E. (2024). Is it time sociology started
researching incompetence? The Sociological Review.
Peter, L. J., & Hull, R. (1969). The Peter
principle: Why things always go wrong. Bantam Books.
World Bank. (2024). Worldwide Governance Indicators.
Retrieved from World Bank website (documentation and overview).
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1203/09/12/25 : 11.05
WIB)

