Oleh : Ahmad Sastra
Seandainya anak Adam memiliki satu lembah berisi emas,
niscaya ia ingin memiliki dua lembah. Tidak ada yang dapat memenuhi mulutnya
selain tanah (kematian). Dan Allah menerima taubat siapa saja yang bertaubat. (HR.
Bukhari no. 6439; Muslim no. 1048)
Harta itu hijau lagi manis. Siapa mengambilnya dengan
jiwa yang lapang, akan diberkahi. Tetapi siapa mengambilnya dengan serakah,
maka tidak diberkahi, dan ia bagaikan orang yang makan tetapi tidak pernah
kenyang. (HR. Bukhari no. 1472; Muslim no. 1052)
Tidaklah dua serigala lapar dilepas di tengah kumpulan
kambing lebih merusak daripada keserakahan manusia terhadap harta dan kedudukan
bagi agamanya. (HR. Tirmidzi no. 2376; Ahmad 3/456)
Bumi ini cukup untuk memenuhi seluruh
kebutuhan manusia, namun tak cukup untuk memenuhi satu manusia serakah (Mahatma
Gandhi)
Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab ra.
berkata: “Seandainya
ada seekor unta mati di wilayah tugasku karena terlantar, aku khawatir Allah
Yang Mahasuci dan Mahatinggi akan menanyai aku tentang hal itu.” (Ibnu Hajar,
Al-Mathaalib al-‘Aaliyyah, 15/700, Maktabah Syamilah).
Dunia Dilanda Bencana Alam
Sumatera menangis. Banjir besar melanda
tiga provinsi di pulau tersebut: Aceh, Sumatera Barat dan Sumatera Utara.
Diperkirakan korban meninggal sudah mencapai lebih dari 600 jiwa. Ratusan
korban lainnya masih dalam pencarian. Banjir juga menenggelamkan sejumlah desa
serta menghancurkan kawasan pemukiman dan berbagai infrastruktur di tiga
provinsi tersebut.
Banjir bandang ini juga melanda sejumlah
negeri lain di Asia Tenggara; Thailand, Malaysia, Vietnam, Sri Lanka dan
Myanmar. Akan tetapi, sejauh ini Indonesia merupakan negara dengan korban jiwa
terbanyak.
Banjir besar ini memang disebabkan oleh
hujan ekstrem. Pemicunya adalah siklon tropis Senyar dan Koto yang terjadi di
Selat Malaka. Akibatnya, sejumlah kawasan terdampak curah hujan yang sangat
tinggi. Menurut BMKG, siklon ini berlangsung pada tanggal 26 November selama 48
jam.
BMKG menyebut kemunculan dua siklon
tersebut sebagai kejadian “pertama dalam sejarah”. Ia tumbuh di Selat Malaka.
Wilayah ini sebelumnya diyakini mustahil menjadi lokasi pembentukan siklon
karena terlalu dekat garis ekuator.
Akan tetapi, curah hujan ekstrem ini
berubah menjadi bencana banjir. Pasalnya, di kawasan tersebut jutaan area hutan
sebagai penahan curah hujan sudah
hilang. Banyak pihak menduga deforestasi alias pembabatan/pembalakan hutan yang
masif menjadi penyebab utama bencana di tiga provinsi tersebut.
Berdasarkan data WALHI, selama periode
2016-2025, deforestasi di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat mencapai 1,4
juta hektar. Selain itu, banyak izin usaha diberikan oleh Pemerintah untuk
kegiatan pengelolaan sumberdaya alam (SDA) di Pegunungan Bukit Barisan.
Di antaranya sektor pertambangan,
perkebunan sawit dan proyek energi. WALHI mencatat ada lebih dari 600
perusahaan di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat yang kegiatan eksploitasi
SDA-nya memperparah kerapuhan infrastruktur ekologis.
Penebangan liar atau illegal loging di
hutan-hutan Sumatera secara besar-besaran juga dicurigai menjadi penyebab deforestasi.
Hanyutnya ribuan batang pohon yang terbawa banjir menjadi bukti kuat aksi
pembalakan liar berjalan di kawasan Sumatera.
Lemahnya Mitigasi Bencana
Indonesia adalah negara yang memiliki
curah hujan tinggi dan terletak di cincin bencana (ring of fire). Di sini ada
rangkaian gunung berapi sepanjang 40.000 km dan situs aktif seismik yang
membentang di Samudra Pasifik. Artinya, negeri ini mestinya sudah memiliki
kemampuan mitigasi yang memadai. Tentu demi melindungi rakyatnya. Termasuk
membekali penduduk dengan kemampuan untuk menghadapi bencana.
Sayangnya, musibah banjir yang menimpa
Sumatera memperlihatkan ketidaksiapan negara dalam mitigasi bencana. Padahal
delapan hari sebelum bencana, BMKG sudah melaporkan bahwa akan terjadi hujan
ekstrem dengan curah tinggi.
Saat bencana terjadi, tampak negara tidak
berdaya melakukan mitigasi. Bahkan sampai hari ini kejadian bencana di tiga
provinsi di Sumatera masih tidak dinyatakan sebagai bencana nasional. Apalagi
pada awal kejadian bencana, pihak BNPB menyatakan tragedi banjir itu hanya
mencekam di medsos.
Sampai tulisan ini dibuat masih banyak
daerah terisolir. Masih banyak mayat bergeletakan atau terkubur lumpur,
longsoran, bangunan dan gelondongan kayu. Karena kelaparan, sebagian warga
terpaksa menjarah toko. Tim Basarnas mengungkapkan bahwa tim SAR gabungan yang
telah bertugas selama tujuh hari nonstop dalam operasi tanggap darurat mulai
mengalami kondisi kelelahan ekstrem.
Menjaga Alam
Beberapa hadis shahih yang sering dirujuk oleh para
ulama dan akademisi dalam konteks pelestarian lingkungan: “Siapa saja Muslim
yang menanam pohon atau menabur benih, lalu kemudian burung, manusia, atau
hewan makan dari hasilnya, maka hal itu dianggap sedekah (amal kebaikan).”
Bahkan jika hari kiamat tiba dan seseorang masih
memegang bibit, maka ia dianjurkan untuk menanamnya. Prinsip hemat dan tidak boros: misalnya dalam
penggunaan air jangan berlebihan meskipun air berlimpah. Perhatian terhadap hewan, tumbuhan, dan
habitat, larangan merusak pohon, tanaman, atau hewan tanpa keperluan.
Kajian “Natural Resource Management According To The
Quran From The Perspective Of Environmental Issues” menjelaskan bahwa menurut
interpretasi modern (misalnya dalam tafsir kontemporer) manusia berkewajiban
menggunakan sumber daya alam secara adil dan berimbang bukan mengeksploitasinya
secara berlebihan.
Penelitian etika lingkungan dalam tradisi Islam
menunjukkan bahwa konsep seperti “khalifah”, “amanah” dan “mizan” membentuk
dasar moral & hukum untuk konservasi lingkungan, menjaga keanekaragaman
hayati, dan mencegah kerusakan ekologis — hal ini relevan terhadap isu
kehutanan, tambang, deforestasi, dan sumber daya alam secara umum.
Artikel kontemporer yang menekankan bahwa perusakan
lingkungan — deforestasi, pengelolaan tambang tidak etis, eksploitasi liar
terhadap alam — bisa dianggap melanggar amanah dan prinsip keadilan dalam
Islam.
Prinsip khalifah dan amanah menuntut manusia menjaga alam, bukan
merusaknya. Ini berarti aktivitas pertambangan atau eksploitasi hutan, jika
dilakukan semena-mena tanpa memperhatikan keseimbangan ekologis, bisa dilihat
sebagai penyimpangan dari amanah Islami.
Larangan eksploitasi berlebihan, pemborosan, perusakan
pohon/tanaman/hewan relevan sebagai pijakan moral/hukum untuk menolak praktek
illegal logging, deforestasi, tambang tanpa AMDAL, dan perusakan habitat.
Pendekatan Islam terhadap lingkungan menekankan keberlanjutan
(sustainable use) yaitu pemanfaatan SDA dengan bijak, menjaga kualitas alam
agar tidak memicu kerusakan ekosistem: penting dalam konteks bencana alam
akibat deforestasi atau kerusakan lahan.
Oleh karena itu, kajian-kajian Islam kontemporer
menunjukkan bahwa solusi terhadap krisis lingkungan (bencana, perubahan iklim,
kehutanan, SDA) bisa dipandu dengan nilai-nilai Islam tidak semata teknis, tapi
juga etis dan religius.
Menyikapi Bencana
Sebagai kaum Muslim, hati dan pikiran kita
harus mengikuti tuntunan Islam dalam menyikapi musibah. Kita wajib meyakini
bahwa semua musibah merupakan ketetapan Allah SWT.
Demikian sebagaimana firman-Nya: Katakanlah
(Nabi Muhammad), “Tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah Allah
tetapkan bagi kami. Dialah Pelindung kami. Karena itu hanya kepada Allah
hendaknya kaum Mukmin bertawakal.” (TQS at-Taubah [9]: 51).
Allah SWT memerintahkan setiap Muslim
untuk bersabar dalam menghadapi setiap musibah dan memasrahkan semuanya
kepada-Nya. Demikian sebagaimana firman-Nya: (Mereka itu) adalah orang-orang
yang, jika ditimpa musibah, mengucapkan, “Innaa lilLaahi wa innaa ilayhi
raaji‘uun (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya hanya kepada
Dia kami akan kembali).” Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari
Tuhannya. Mereka itu pula yang mendapat petunjuk (TQS al-Baqarah [2]: 156-157).
Tidak hanya bersabar, Islam juga meminta
umatnya untuk senantiasa melakukan muhaasabah kala ditimpa musibah. Sebabnya,
ada musibah yang datang sebagai akibat dari tindakan mungkar manusia.
Allah SWT berfirman: Telah tampak
kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh ulah manusia, supaya Allah
menimpakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka
kembali (ke jalan yang benar) (TQS ar-Rum [30]: 41).
Bencana banjir yang melanda Sumatera
datang sebagai akibat dari kebijakan yang merusak lingkungan, yakni deforestasi
secara besar-besaran. Data GFW (Global Forest Watch) mengungkap
sebanyak 10,5 juta hektare hutan di Indonesia hilang sepanjang 2002-2023.
Padahal hutan primer tropis merupakan
ekosistem paling kaya, stabil dan bermanfaat untuk menahan curah hujan. Akan
tetapi, kini area seluas itu paling terdampak akibat praktik ekspansi lahan serta
tekanan aktivitas manusia.
Hancurnya hutan di tanah air disebabkan
oleh kebijakan negara yang menyimpang dari tuntunan syariah Islam. Negara
mengobral banyak kawasan tersebut kepada swasta baik untuk pertambangan,
penebangan dan pembukaan lahan perkebunan sawit. Dalam kasus banjir di Sumatera
Utara, WALHI Sumatera Utara menyebut tujuh perusahaan berkontribusi pada
bencana ekologis yang melanda kawasan Tapanuli, termasuk banjir dan longsor.
Negara juga lemah dalam mengawasi kegiatan
penambangan ilegal dan pembalakan liar. KPK menemukan tambang ilegal dan
penebangan liar itu bukan saja dilakukan oleh swasta, tetapi juga dimiliki atau
dibekingi oleh oknum aparat ataupun pejabat. KPK juga menemukan hubungan
tambang ilegal dengan aliran dana Pemilu.
Maka dari itu, bencana yang hari ini
menimpa penduduk Sumatera bukan semata karena fenomena alam, tetapi merupakan
buah kebijakan kapitalistik yang keji. Keputusan yang diambil hanya semata-mata
demi keuntungan sembari mengabaikan dampak kerusakan alam dan bencana yang
menimpa masyarakat. Inilah kemungkaran besar yang menciptakan kezaliman kepada
rakyat.
Perspektif Islam
Dalam syariah Islam, kawasan tambang dan
hutan adalah milik umum yang haram dikuasai oleh swasta. Rasulullah saw.
bersabda: Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal; air, rumput dan api (HR Ibnu
Majah).
Dalam hal ini negara adalah pengelola
pertambangan dan hutan. Seluruh hasil dan manfaat dari pertambangan dan hutan
adalah milik rakyat, bukan menjadi hak milik pribadi ataupun korporasi.
Syariah Islam membolehkan pembukaan
berbagai jenis tambang yang dikelola oleh negara, seperti minerba dan migas.
Islam juga mengatur kebolehan pengelolaan hasil hutan untuk kemaslahatan
rakyat, semisal memenuhi kebutuhan kertas, dll.
Akan tetapi, Islam juga mengharamkan
dharar (bahaya) yang menimpa masyarakat. Karena itu penambangan dan penebangan
hutan secara ugal-ugalan adalah tindakan haram yang sepatutnya dicegah.
Rasulullah ï·º
bersabda: Janganlah membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain.
Siapa yang saja yang membahayakan orang lain, niscaya Allah akan menimpakan
bahaya kepada dirinya. Siapa saja yang mempersulit orang lain, niscaya Allah
akan mempersulit dirinya (HR al-Baihaqi, al-Hakim dan ad-Daruquthni).
Maka dari itu, kuncinya adalah keseriusan,
ketelitian dan sikap amanah dalam melakukan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL). Dalam Islam, Negara (Khilafah) akan melakukan pengelolaan sumberdaya
alam tersebut sesuai dengan tuntunan syariah Islam atas dasar dengan dorongan
iman dan takwa, bukan berdasarkan kebijakan kapitalistik semata-mata demi
mengeruk keuntungan.
Khilafah juga boleh melakukan pemindahan
kawasan pemukiman jika dinilai penting demi keselamatan dan keamanan warga.
Untuk itu Khilafah akan memberikan lahan pemukiman yang layak serta membangun
berbagai infrastruktur untuk penduduk. Khilafah juga bisa memberikan kompensasi
yang sepadan kepada rakyat.
Khilafah juga berkewajiban untuk melakukan
gerakan reboisasi untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Semua ini adalah
kewajiban yang harus dijalankan oleh Khalifah dan para pejabatnya. Rasulullah
saw. bersabda: Amir (Khalifah) yang
mengurus banyak orang adalah pemimpin dan akan ditanya tentang mereka (HR
al-Bukhari).
Jelas, bencana besar kali ini seharusnya
mendorong penguasa negeri ini untuk mengevaluasi seluruh kebijakan
kapitalistiknya yang terbukti merugikan rakyat banyak. Bangsa ini sudah
seharusnya mendesak penguasa agar meninggalkan segala kebijakan kapitalistik
dan beralih pada kebijakan yang sesuai dengan tuntunan syariah Islam.
Karena itu upaya penerapan syariah Islam
oleh negara secara kaaffah dalam seluruh aspek kehidupan adalah sebuah
keniscayaan. Inilah yang juga dulu dipraktikkan sepanjang era Kekhilafahan
Islam selama berabad-abad lamanya.
DAFTAR PUSTAKA
Bridge, G. (2004). Contested terrains: Mining and
the environment. Blackwell Publishing.
Carson, R. (1962). Silent spring. Houghton
Mifflin.
Diamond, J. (2005). Collapse: How societies choose
to fail or succeed. Viking Press.
Folke, C., Biggs, R., Norström, A. V., Reyers, B.,
& Rockström, J. (2021). Resilience and sustainable development.
Cambridge University Press.
Humphreys, D. (2015). The remaking of the mining
industry. Palgrave Macmillan.
Izzi Dien, M. (2000). The environmental dimensions
of Islam. Lutterworth Press.
Khalid, F., & O’Brien, J. (Eds.). (1992). Islam
and ecology. Cassell Publishers.
Kimmins, J. P. (2004). Forest ecology: A foundation
for sustainable forest management and environmental ethics in forestry (3rd
ed.). Prentice Hall.
Laudenslayer, W. F., Shea, P. J., & Valentine, B.
E. (2005). The California wildlife habitat relations system. University
of California Press.
Nasr, S. H. (1996). Religion and the order of
nature. Oxford University Press.
Odum, E. P., & Barrett, G. W. (2005). Fundamentals
of ecology (5th ed.). Thomson Brooks/Cole.
Primack, R. B. (2014). Essentials of conservation
biology (6th ed.). Sinauer Associates
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1201/08/12/25 : 05.21
WIB)

