BENCANA SUMATERA DAN TAUBAT SISTEMIK



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

BNPB kembali memperbarui jumlah korban tewas akibat bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Hingga siang ini, BNPB mencatat 883 orang menjadi korban tewas akibat bencana di tiga provinsi tersebut. Data tersebut diketahui berdasarkan situs dashboard penanganan bencana darurat banjir dan longsor di Aceh, Sumut, Sumbar, Sabtu (6/12/2025), pukul 14.00 WIB.

 

Bencana Sumatera adalah kesalahan manusia, lebih tepatnya para pejabat pengambil kebijakan di negeri ini. Mereka, kata Cak Imin harus bertaubat. Ada tiga menteri yang diminta oleh Cak Imin untuk melakukan taubatan nasuha, yakni Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, dan Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq.

 

Seruan ini disampaikan sebagai bentuk kritik moral sekaligus peringatan keras terhadap kebijakan dan tindakan para pejabat yang dinilai tidak sejalan dengan prinsip keadilan lingkungan serta amanah kekuasaan.

 

Dalam perspektif Cak Imin, seruan taubat bukan sekadar retorika politik, tetapi ajakan untuk mengevaluasi kesalahan dan menyucikan kembali orientasi pengabdian pejabat negara.

 

Penegasan terhadap tiga menteri tersebut juga mencerminkan keresahan publik mengenai tata kelola sumber daya alam yang dianggap semakin menjauh dari kepentingan rakyat.

 

Kritik itu mengarah pada isu-isu seperti eksploitasi berlebihan, lemahnya penegakan hukum lingkungan, serta potensi konflik kepentingan antara negara dan korporasi. Dengan menyerukan taubatan nasuha, Cak Imin ingin menekankan bahwa pejabat harus bertanggung jawab bukan hanya secara administratif, tetapi juga secara moral dan spiritual di hadapan masyarakat dan Tuhan.

 

Selain itu, pernyataan ini menjadi sinyal penting bagi pemerintah bahwa legitimasi kebijakan publik tidak hanya ditentukan oleh mekanisme hukum, tetapi juga oleh keluhuran etika.

 

Ajakan taubat kepada para menteri tersebut dapat dibaca sebagai desakan agar mereka kembali pada prinsip dasar kepemimpinan: amanah, kejujuran, dan keberpihakan kepada rakyat. Dengan demikian, kritik Cak Imin sekaligus membuka ruang bagi perbaikan kebijakan dan introspeksi yang lebih mendalam di tubuh pemerintahan.

 

Tobat Nasuha Ssistemik

 

Membaca kondisi bencana ekologis di Sumatera tidak cukup hanya dengan pendekatan teknis atau respons darurat; diperlukan taubatan nasuha sistemik yang menyentuh akar persoalan. Bencana yang terjadi bukanlah fenomena alamiah semata, tetapi buah dari kegagalan struktural dalam tata kelola lingkungan.

 

Taubat dalam konteks ini bukan hanya bermakna spiritual, tetapi juga korektif—yakni mengakui kesalahan, menghentikan kerusakan, dan melakukan perubahan mendasar secara kolektif dalam kebijakan publik, tata kelola hutan, dan mekanisme pengawasan.

 

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah menetapkan bencana ekologis Sumatera sebagai bencana nasional. Penetapan ini sangat penting untuk memastikan bahwa penanganannya dilakukan secara terintegrasi, melibatkan sumber daya negara secara penuh, serta memungkinkan koordinasi antara pusat dan daerah berjalan lebih efektif.

 

Status bencana nasional juga menandakan bahwa kerusakan yang terjadi bukan lagi persoalan regional, melainkan tragedi lingkungan yang membutuhkan intervensi strategis negara secara menyeluruh.

 

Langkah berikutnya adalah mengusut tuntas pelaku deforestasi ilegal yang selama ini menjadi penyumbang terbesar hilangnya tutupan hutan Sumatera. Penegakan hukum terhadap perambah, pembalak liar, dan mafias kehutanan harus dilakukan secara transparan dan menyasar aktor-aktor besar, bukan hanya pelaku lapangan.

 

Penindakan yang tegas bukan saja berfungsi sebagai efek jera, tetapi juga sebagai penanda bahwa negara hadir melindungi hutan yang menjadi sumber kehidupan jutaan warga.

 

Namun, penindakan tidak boleh berhenti pada pelaku ilegal semata. Harus dilakukan pula pengusutan terhadap pemberi izin deforestasi legal yang tidak memperhitungkan daya dukung dan daya tampung lingkungan.

 

Banyak kerusakan hutan justru terjadi melalui izin resmi yang dikeluarkan tanpa kajian ekologis yang memadai atau dipengaruhi kepentingan politik dan ekonomi tertentu. Mereka yang memegang otoritas pemberian izin wajib dimintai pertanggungjawaban jika keputusan mereka terbukti melampaui batas kemampuan ekosistem untuk pulih.

 

Pada saat yang sama, aparat dan pejabat yang memegang kebijakan ketika izin-izin pinjam pakai kawasan hutan diobral harus dimintai pertanggungjawaban moral dan hukum. Selama bertahun-tahun, berbagai izin diberikan secara massif untuk kepentingan perkebunan, tambang, dan proyek infrastruktur tanpa mempertimbangkan risiko ekologis jangka panjang.

 

Praktik tersebut menciptakan preseden buruk dan membuka ruang bagi kerusakan lingkungan yang terus membesar. Pertanggungjawaban pejabat dari masa ke masa merupakan langkah penting untuk memutus siklus impunitas dalam tata kelola hutan.

 

taubatan nasuha sistemik tidak akan bermakna tanpa mengganti sistem politik ekonomi yang melahirkan kerusakan tersebut, yakni kapitalisme yang berujung pada korporatokrasi. Sistem ini menempatkan keuntungan di atas kelestarian alam, membuka peluang dominasi korporasi dalam menentukan arah kebijakan, dan pada akhirnya menempatkan hutan, sungai, dan tanah sebagai komoditas yang dapat dieksploitasi tanpa batas.

 

Selama sistem ini masih menjadi fondasi kebijakan negara, kerusakan ekologis hanya akan berulang. Reformasi paradigma menuju sistem yang berbasis keberlanjutan, keadilan ekologis, dan keseimbangan alam menjadi jalan utama untuk menyelamatkan masa depan Sumatera dan Indonesia seluruhnya.

 

Penataan Ekologi Berbasis Sistem Islam

 

Penataan ekologi merupakan kebutuhan mendesak di tengah meningkatnya krisis lingkungan global, mulai dari deforestasi, polusi, hilangnya keanekaragaman hayati, hingga perubahan iklim.

 

Berbagai pendekatan modern yang berakar pada paradigma kapitalisme sering kali menempatkan alam sebagai komoditas ekonomi sehingga eksploitasi menjadi lebih dominan daripada konservasi. Dalam konteks ini, sistem Islam menawarkan kerangka ekologis yang lebih holistik karena memandang alam sebagai amanah dari Allah, bukan objek ekonomi semata.

 

Konsep inti seperti khalifah fil ardh (mandat manusia sebagai pemakmur bumi) dan mīzān (keseimbangan alam) menjadi landasan moral sekaligus praktis bagi terwujudnya tata kelola lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

 

Sistem Islam menekankan bahwa seluruh sumber daya alam adalah milik Allah dan diberikan kepada manusia untuk dikelola secara bertanggung jawab. Prinsip ini ditegaskan dalam QS. Al-A’raf [7]:56 agar manusia tidak membuat kerusakan di muka bumi, dan dalam QS. Al-An’am [6]:141 agar manusia tidak berlebih-lebihan dalam menggunakan sumber daya.

 

Nilai-nilai ini menuntut negara dan masyarakat untuk menjalankan kebijakan yang berbasis keberlanjutan, seperti pengelolaan air yang adil, pemeliharaan hutan, pembatasan eksploitasi tambang, dan perlindungan hewan.

 

Pemikiran para ulama klasik seperti Al-Mawardi dan Ibn Khaldun juga memperkuat gagasan bahwa negara wajib memastikan keadilan ekologis, karena kerusakan lingkungan akan berujung pada keruntuhan sosial dan ekonomi.

 

Lebih dari sekadar etika moral, sistem Islam menyediakan mekanisme kelembagaan untuk menjaga kelestarian lingkungan. Negara Islam berkewajiban menegakkan hukum terhadap perusak alam, mengatur kepemilikan umum agar tidak dikuasai korporasi, serta mencegah monopoli yang menyebabkan eksploitasi berlebihan.

 

Dalam hadis riwayat Abu Dawud, Rasulullah menegaskan bahwa tiga hal tidak boleh dimonopoli: air, padang rumput, dan api—sebuah prinsip ekologis yang menjamin akses dan konservasi sumber daya vital bagi seluruh masyarakat.

 

Melalui kombinasi antara nilai spiritual, aturan syariah, dan tata kelola yang berorientasi jangka panjang, sistem Islam menawarkan model penataan ekologi yang tidak hanya melindungi alam, tetapi juga menjaga keberlangsungan hidup manusia sebagai bagian dari ekosistem yang lebih luas.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Al-Qur’an al-Karim.

Abu Dawud, S. (2009). Sunan Abu Dawud. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Bukhari, M. I. (1987). Sahih al-Bukhari. Dar Ibn Kathir.

Al-Ghazali, A. H. (2005). Ihya’ ‘Ulum al-Din. Dar al-Ma'rifah.

Al-Mawardi, A. H. (1985). Al-Ahkām al-Sulṭāniyyah. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Tabari, M. J. (2000). Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān. Mu’assasah ar-Risalah.

Dien, M. Y. I. (2000). Islamic environmental ethics, law, and society. Routledge.

Foltz, R. C., Denny, F. M., & Baharuddin, A. (Eds.). (2003). Islam and ecology: A bestowed trust. Harvard University Press.

Ibn Kathir, I. (1998). Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm. Dar al-Hadits.

Khalid, F. M. (1998). Environmental protection in Islam. Islamic Foundation.

Martinez-Alier, J. (2002). Environmentalism of the poor: A study of ecological conflicts and valuation. Edward Elgar.

Muslim, I. H. (2000). Sahih Muslim. Darussalam.

Nasr, S. H. (1990). Man and nature: The spiritual crisis of modern man. Unwin Paperbacks.

Omar, A. (2003). The problem of environmental ethics in Islam. Fiqh Council of North America.

Shiva, V. (1988). Staying alive: Women, ecology and development. Zed Books.

Capra, F. (1996). The web of life: A new scientific understanding of living systems. Anchor Books.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1200/07/12/25 : 05.27 WIB)

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad