BRAIN ROT DAN MITIGASI ALGORITMA



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Kemajuan teknologi digital, khususnya kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI), telah mengubah lanskap sosial dan budaya secara drastis di seluruh dunia. AI hadir dalam berbagai bentuk, mulai dari rekomendasi konten di media sosial hingga chatbot percakapan yang semakin canggih.

 

Meskipun AI membawa manfaat signifikan bagi produktivitas dan akses informasi, tanpa pengaturan dan kesadaran yang matang, teknologi ini juga berpotensi membawa dampak buruk, terutama bagi generasi muda Islam yang sedang dibentuk secara moral, intelektual, dan spiritual.

 

Algoritma AI pada dasarnya dirancang untuk mengoptimalkan keterlibatan pengguna dengan menampilkan konten yang paling memungkinkan menarik perhatian mereka. Sistem ini mempelajari preferensi, pola klik, dan waktu tonton untuk menciptakan feedback loop yang membuat pengguna terus “scroll” atau menonton konten lebih lama.

 

Studi lintas ilmu sosial menunjukkan bahwa bentuk algoritma ini dapat menciptakan ketergantungan psikologis yang kuat terhadap konten digital yang disajikan, dengan konsekuensi terhadap kemampuan kognitif dan kesejahteraan mental pengguna.

 

Dalam konteks generasi muda, algoritma AI sering kali memprioritaskan konten ringan, cepat, dan sensasional karena lebih mudah memicu keterlibatan rupa-rupa metric, like, share, komentar daripada konten yang mendalam atau reflektif.

 

Hal ini menjadi tantangan serius bagi pembentukan kapasitas berpikir kritis generasi muda yang seharusnya menjadi fondasi intelektual dalam tradisi Islam.

 

Brain Rot: Penurunan Kapasitas Kognitif di Era Digital

 

Istilah brain rot merujuk pada kemerosotan kapasitas kognitif seseorang akibat konsumsi berlebihan konten digital yang bersifat instan dan tidak menantang secara intelektual. Fenomena ini telah menjadi perhatian akademisi, praktisi pendidikan, dan media global setelah istilah tersebut dinobatkan sebagai Oxford Word of the Year pada tahun 2024 sebagai metafora bagi penurunan kualitas berpikir akibat paparan konten digital dangkal.

 

Penelitian dan ulasan ilmiah menunjukkan bahwa konsumsi konten yang cepat, berulang, dan tanpa tantangan intelektual berkontribusi pada menurunnya kemampuan attention span, konsentrasi, dan daya berpikir kritis.

 

Data empiris dan kajian akademis pada fenomena ini mengaitkan konsumsi konten digital dengan gangguan fokus, ketergantungan berlebihan terhadap rangsangan instan, serta penurunan minat terhadap kegiatan yang membutuhkan usaha kognitif lebih lama seperti membaca buku atau mempelajari ide kompleks.

 

Dalam konteks ini, algoritma AI yang mendorong pengguna untuk terus menonton konten pendek, misalnya video TikTok, Shorts, atau Reels, justru secara tidak langsung memperkuat kondisi brain rot.

 

Paparan konten yang bersifat instan dan repetitif membuat otak semakin bergantung pada pembelajaran dangkal, mengurangi kapasitas untuk berpikir mendalam dan merenungkan nilai-nilai kehidupan.

 

AI dan Gangguan Mental Generasi Muda

 

Selain mengancam fungsi kognitif, penggunaan AI yang berlebihan dapat berdampak pada kesehatan mental anak dan remaja. Riset internasional menunjukkan bahwa ketergantungan pada AI chatbots dan alat digital lainnya dapat memperburuk kecemasan, isolasi sosial, serta keterampilan interpersonal.

 

Studi di Journal of Neonatal Surgery mencatat adanya hubungan antara penggunaan alat AI dan munculnya gejala psikologis seperti anxiety, depresi, serta penurunan kemampuan sosial.

 

Selain itu, laporan berita internasional menunjukkan bahwa profesional kesehatan mental memperingatkan terhadap kecenderungan anak muda untuk menggantikan interaksi manusia dengan percakapan AI, yang pada banyak kasus dapat memperparah masalah psikologis seperti kecemasan dan ketergantungan emosional pada mesin.

 

Ketergantungan semacam ini tidak hanya berdampak pada kapasitas berpikir tetapi juga pada tujuan hidup dan identitas spiritual generasi muda, terutama di kalangan Muslim yang menghadapi tantangan dalam mempertahankan nilai-nilai Islam di tengah arus digital global yang sekuler.

 

Hilangnya Arah Hidup: Perspektif Generasi Muda Islam

 

Bagi generasi muda Muslim, selain tantangan kognitif dan psikologis, ada dimensi spiritual dan nilai yang turut terancam oleh konsumsi algoritmik yang tidak selektif. Islam menekankan pentingnya fikr (berpikir), tadabbur (merenung), dan tazkiyah (pemurnian jiwa) sebagai bagian dari pembentukan karakter dan arah hidup yang teguh.

 

Ketergantungan yang berlebihan pada konten digital yang dangkal dan algoritma yang memperkuat kebiasaan konsumtif justru berlawanan dengan prinsip Islam yang mengutamakan refleksi, meditasi atas ciptaan Allah, serta pencarian ilmu yang dalam.

 

Dalam kajian hadis tentang brain rot, para peneliti mengaitkan fenomena ini dengan rendahnya kualitas waktu dan pemikiran akibat terlalu banyak terpapar konten digital instan tanpa substansi. Mereka menekankan pentingnya menjaga kesehatan akal dan waktu sebagai amanah dalam Islam karena keduanya menjadi basis bagi pembentukan moral dan karakter.

 

Generasi muda yang terus-menerus terpapar algoritma yang “mengkambinghitamkan” interval perhatian mereka tidak hanya kehilangan kapasitas berpikir kritis tetapi juga berpotensi kehilangan arah hidup yang kuat yaitu tujuan hidup yang didasarkan pada ajaran Islam.

 

Ini mencakup hubungan spiritual dengan Allah, pemahaman terhadap tanggung jawab sosial, serta kemampuan untuk menilai mana yang membawa manfaat atau kemudaratan bagi diri mereka dan masyarakat.

 

Algoritma sendiri bersifat nilai-netral secara teknis, namun dalam praktiknya ia mempromosikan konten berdasarkan struktur reward sistem digital engagement yang tinggi berarti keuntungan ekonomi bagi penyedia platform.

 

Konsekuensinya, konten yang paling ekstrem, provokatif, atau mudah dikonsumsi (tanpa refleksi) cenderung diutamakan. Ini menciptakan lingkungan digital yang bukan hanya memengaruhi kapasitas kognitif tetapi juga menyusun ulang prioritas nilai, dari pencarian kebenaran dan pemikiran reflektif menjadi pemuasan instan atas rasa ingin tahu atau hiburan semata.

 

Bagi generasi muda Islam, hal ini mengancam pembentukan akhlaq (etika) dan aqidah (keyakinan) yang kuat jika tidak diimbangi dengan kesadaran kritis dan pembelajaran nilai yang konsisten melalui pendidikan, bimbingan keluarga, dan komunitas.

 

Untuk menghadapi tantangan ini, beberapa strategi dapat diambil oleh individu, keluarga, dan masyarakat Muslim:

 

Pertama, Literasi Digital Berbasis Nilai. Meningkatkan kemampuan generasi muda untuk memahami bagaimana algoritma bekerja dan dampaknya terhadap pikiran dan perilaku mereka, serta bagaimana memilih sumber konten yang mendukung nilai Islam dan edukatif.

 

Kedua, Limitasi Keterpaparan. Mengatur waktu penggunaan teknologi dan media sosial secara sadar untuk menghindari kecanduan konten yang tidak produktif.

 

Ketiga, Penguatan Spiritual. Memperkuat pendidikan agama dan praktik spiritual sebagai jangkar dalam menghadapi arus informasi yang cepat dan sering kali nihil nilai.

 

Keempat, Keterlibatan Komunitas. Menciptakan ruang diskusi dan komunitas yang mendukung pembelajaran mendalam, refleksi nilai, dan kritik sehat terhadap konten digital.

 

AI beserta algoritma rekomendasi kontennya memiliki potensi besar untuk memengaruhi cara generasi muda berpikir, merasa, dan menentukan arah hidup mereka. Tanpa kesadaran kritis dan mitigasi nilai, fenomena seperti brain rot dapat memperlemah kapasitas intelektual, memengaruhi kesehatan mental, dan bahkan mengaburkan arah hidup generasi muda Islam yang seharusnya berakar pada nilai-nilai mendalam dan tujuan spiritual yang kuat.

Pendidikan, literasi digital, kesadaran nilai, dan bimbingan spiritual menjadi kunci dalam menghadapi tantangan global ini, sehingga generasi Muslim masa depan tetap kuat dalam iman, berpikir tajam, dan mampu bermuatan nilai di tengah arus teknologi.

 

Bahaya Kapitalisasi Algoritma

 

Sejarah algoritma berakar kuat dalam tradisi keilmuan Islam, khususnya melalui kontribusi Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, yang memandang metode matematis sebagai sarana keteraturan dan kemaslahatan.

 

Al-Qur’an menegaskan kedudukan ilmu sebagai pilar peradaban dalam firman Allah: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat” (QS. Al-Mujādilah [58]: 11).

 

Ibn Kathir dalam Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan kemuliaan ilmu yang diamalkan dan diarahkan pada ketaatan, bukan ilmu yang netral tanpa orientasi moral.

 

Al-Qurthubi menambahkan bahwa pengangkatan derajat orang berilmu terkait langsung dengan manfaat sosial ilmu tersebut bagi umat.

 

Dengan demikian, algoritma, sebagai manifestasi ilmu rasional pada asalnya merupakan instrumen peradaban untuk menegakkan keteraturan, keadilan, dan kemudahan hidup, sejalan dengan visi tauhidik Islam yang memadukan rasio dan wahyu.

 

Namun, dalam realitas kontemporer, algoritma mengalami pergeseran tujuan akibat dominasi paradigma kapitalisme global. Algoritma direduksi menjadi alat penggerak pasar dan akumulasi modal, bukan lagi sarana pencarian kebenaran dan kemaslahatan manusia.

 

Al-Qur’an mengingatkan kondisi ini melalui firman-Nya: Mereka hanya mengetahui yang lahir dari kehidupan dunia, sedangkan mereka lalai terhadap kehidupan akhirat” (QS. Ar-Rūm [30]: 7).

 

Fakhruddin Al-Razi dalam Mafātīḥ al-Ghayb menafsirkan ayat ini sebagai kritik terhadap kecerdasan teknis yang terputus dari hikmah dan orientasi akhirat; manusia mampu menguasai aspek lahiriah dunia namun gagal memahami tujuan hakiki keberadaannya.

 

Ibn Kathir juga menegaskan bahwa ilmu semacam ini tidak menuntun pada keselamatan, karena hanya berputar pada kemanfaatan sesaat.

 

Hadis Nabi , Barang siapa menuntut ilmu untuk tujuan selain mencari ridha Allah…” (HR. Abu Dāwud), semakin menegaskan bahwa ilmu, termasuk algoritma, kehilangan keberkahannya ketika dikapitalisasi semata untuk keuntungan duniawi.

 

Kapitalisasi algoritma membawa dampak serius terhadap fungsi akal dan arah hidup generasi muda. Ketika algoritma dirancang untuk mengeksploitasi perhatian, menormalisasi kelalaian, dan memicu kecanduan, ia bertentangan langsung dengan tujuan syariat dalam menjaga akal (ḥifẓ al-‘aql).

 

Al-Qur’an menyatakan: “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr dan judi… adalah perbuatan keji dari pekerjaan setan” (QS. Al-Mā’idah [5]: 90).

 

Al-Qurthubi menafsirkan ayat ini secara luas sebagai larangan terhadap segala hal yang merusak kesadaran dan menghalangi manusia dari zikir dan berpikir jernih, tidak terbatas pada substansi fisik semata.

 

Dalam konteks modern, algoritma yang melemahkan daya refleksi dan menjauhkan manusia dari tujuan hidup dapat dipahami sebagai bentuk iskār ma‘nawī (intoksikasi non-fisik). Oleh karena itu, tantangan umat Islam hari ini bukan sekadar menguasai teknologi algoritmik, tetapi mengembalikan orientasinya pada nilai tauhid, hikmah, dan kemaslahatan, agar algoritma kembali berfungsi sebagai alat pemerdekaan akal dan pembangunan peradaban, bukan sarana komersialisasi kesadaran dan pengaburan makna hidup.

 

Islam dan Mitigasi Algoritnya

 

Al-Khawarizmi hidup dan berkarya pada masa keemasan peradaban Islam di bawah naungan Khilafah Abbasiyah, sebuah sistem politik yang menempatkan ilmu pengetahuan sebagai pilar utama pembangunan peradaban.

 

Pada masa itu, negara tidak sekadar berfungsi sebagai penjaga keamanan, tetapi sebagai hāris al-‘ilm, pelindung dan pengarah ilmu, agar setiap perkembangan sains dan teknologi berada dalam kerangka menjaga akal (ḥifẓ al-‘aql) dan kemaslahatan umat.

 

Institusi seperti Bayt al-Hikmah menjadi bukti konkret bagaimana kekuasaan politik Islam menyediakan ruang, pendanaan, dan orientasi nilai bagi pengembangan ilmu, termasuk matematika dan algoritma, tanpa melepaskannya dari tanggung jawab moral dan tujuan peradaban. Dalam konteks inilah algoritma lahir sebagai instrumen rasional untuk memudahkan kehidupan manusia, bukan sebagai alat eksploitasi kesadaran.

 

Sebaliknya, dalam tatanan global kontemporer yang didominasi oleh kapitalisme, algoritma berkembang dalam kerangka yang sangat berbeda. Negara-negara kapitalistik menyerahkan pengembangan dan pengendalian algoritma kepada korporasi besar yang beroperasi berdasarkan logika keuntungan, bukan kemaslahatan manusia.

 

Akibatnya, algoritma tidak lagi diarahkan untuk menjaga akal, tetapi justru mengeksploitasi perhatian, emosi, dan kelemahan psikologis manusia demi akumulasi modal. Fenomena ini terbukti merusak kualitas berpikir, memperlemah daya refleksi, serta menormalisasi kelalaian kolektif, sebuah kondisi yang dalam perspektif Islam bertentangan langsung dengan tujuan syariat. Ketika teknologi dilepaskan dari pengawasan nilai dan otoritas moral, ia berubah dari alat peradaban menjadi instrumen dehumanisasi.

 

Oleh karena itu, gagasan tentang pentingnya kembali hadirnya Khilafah tidak semata-mata bersifat romantisme sejarah, melainkan tawaran konseptual untuk mengembalikan kendali nilai atas teknologi. Khilafah, sebagai sistem pemerintahan Islam, memiliki fungsi strategis dalam memastikan bahwa ilmu dan teknologi, termasuk algoritma AI dikembangkan dan digunakan sesuai dengan maqāṣid al-syarī‘ah, terutama menjaga akal, jiwa, dan martabat manusia.

 

Di tengah kapitalisasi algoritma yang terbukti merusak manusia dan kemanusiaan, khususnya generasi Muslim, kehadiran otoritas politik yang berlandaskan tauhid menjadi kebutuhan peradaban, bukan sekadar aspirasi ideologis.

 

Tanpa sistem yang mampu menundukkan teknologi pada nilai wahyu, generasi Muslim akan terus berada dalam posisi defensif, menjadi objek eksploitasi algoritmik, bukan subjek peradaban yang berdaulat atas akal dan arah hidupnya.

 

 

Referensi

 

Alter, Adam. Irresistible: The Rise of Addictive Technology and the Business of Keeping Us Hooked. Penguin Press, 2017.

Carr, Nicholas. The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains. W. W. Norton & Company, 2010.

Fogg, B. J. Persuasive Technology: Using Computers to Change What We Think and Do. Morgan Kaufmann, 2003.

“Therapists Warn of Growing Reliance on AI Chatbots for Mental Health Support.” The Guardian, 30 Aug. 2024, www.theguardian.com.

“Brain Rot Mengintai Generasi Muda.” Harian Kompas, 2024, www.kompas.id.

Montag, Christian, et al. “Addictive Features of Social Media/Messenger Platforms and Freemium Games.” International Journal of Environmental Research and Public Health, vol. 16, no. 14, 2019, p. 2612, doi:10.3390/ijerph16142612.

Oxford University Press. “Brain Rot – Word of the Year 2024.” Oxford Languages, 2024, www.oxfordlanguages.com.

Postman, Neil. Amusing Ourselves to Death: Public Discourse in the Age of Show Business. Viking Press, 1985.

Putnam, Robert D. Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community. Simon & Schuster, 2000.

Qardhawi, Yusuf al-. Al-‘Aql wa al-‘Ilm fi al-Islam. Maktabah Wahbah, 1997.

Sherry, John L. “Flow and Media Enjoyment.” Communication Theory, vol. 14, no. 4, 2004, pp. 328–347.

Turkle, Sherry. Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other. Basic Books, 2011.

Zuboff, Shoshana. The Age of Surveillance Capitalism. PublicAffairs, 2019.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1213/29/12/25 : 05.12 WIB)

 

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad