Oleh : Ahmad Sastra
Penegakan hukum tajam ke bawah, bukan hal baru
di Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum, uang dan kuasa menjadi panglima
hukum. Bukan kebenaran dan keadilan.
Kisah pria Gunungkidul mengusik empati kita.
Bukan saja si Miskin yang menjerit, seperti penggalan lagu “Balck Brothers”.
Kita semua yang mempunyai empati pasti juga menjerit. Pria berinisial M
terancam hukuman 5 tahun penjara karena “mencuri” 5 potongan kayu demi makan.
Potongan kayu artinya potongan kecil, bukan kayu gelondongan puluhan meter seperti
yang kita lihat di bencana Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat. (Anthony Budiawan
– Managing Director PEPS, Political Economy and Policy Studies)
Sistem Sekulerisme Sumber Ketidakadilan Hukum
Sistem demokrasi kapitalisme sekuler kerap dikritik
karena secara struktural membuka ruang lebar bagi terjadinya ketimpangan dalam
penegakan hukum. Dalam sistem ini, hukum tidak berdiri sepenuhnya sebagai
instrumen keadilan substantif, melainkan sering kali dipengaruhi oleh
kepentingan ekonomi dan politik.
Para pemikir kritis seperti Karl Marx telah lama
menegaskan bahwa hukum dalam sistem kapitalisme cenderung merefleksikan
kepentingan kelas dominan, sehingga keberpihakannya tidak netral. Akibatnya,
hukum mudah dijadikan alat legitimasi kekuasaan, bukan sebagai sarana
perlindungan bagi seluruh warga negara secara adil (Marx & Engels, 1978;
Harvey, 2005).
Dalam konteks demokrasi prosedural, kekuasaan hukum
seharusnya berada di bawah prinsip equality before the law. Namun dalam
praktiknya, prinsip tersebut kerap tereduksi menjadi slogan normatif semata. Di
Indonesia, fenomena “tajam ke bawah, tumpul ke atas” menunjukkan adanya
kesenjangan serius antara ideal hukum dan realitas penegakan.
Berbagai kajian menunjukkan bahwa kelompok miskin dan
lemah lebih rentan mengalami kriminalisasi, sementara pelaku kejahatan kerah
putih sering kali memperoleh perlakuan istimewa melalui celah hukum, negosiasi
politik, atau rekayasa prosedural (Lev, 2000; Bedner, 2010).
Dominasi uang dan kuasa dalam proses hukum juga
memperkuat argumen bahwa hukum dalam sistem demokrasi kapitalisme sekuler
rentan dikendalikan oleh oligarki. Jeffrey A. Winters menyebut Indonesia
sebagai contoh oligarchic democracy, di mana institusi hukum formal
tetap berjalan, tetapi secara substantif dikooptasi oleh elite ekonomi-politik.
Kondisi ini menjadikan keadilan sebagai
komoditas mahal yang hanya dapat diakses oleh mereka yang memiliki sumber daya
finansial dan jaringan kekuasaan (Winters, 2011; Robison & Hadiz, 2004).
Jeffrey A. Winters menyebut Indonesia sebagai contoh oligarchic
democracy, yakni suatu bentuk demokrasi di mana prosedur dan institusi
formal negara, termasuk pemilu, parlemen, dan peradilan, tetap berfungsi secara
legal-formal, namun dikendalikan secara substantif oleh segelintir elite
ekonomi-politik.
Dalam kerangka ini, demokrasi tidak sepenuhnya runtuh,
tetapi mengalami distorsi karena kekuasaan material para oligark digunakan
untuk melindungi dan memperluas kepentingan mereka.
Winters menegaskan bahwa inti dari oligarki bukan
semata-mata kekuasaan politik, melainkan kemampuan segelintir orang yang sangat
kaya untuk mempertahankan dan mengamankan kekayaannya melalui pengaruh terhadap
institusi negara, termasuk hukum (Winters, 2011).
Dalam konteks Indonesia pascareformasi, oligarki
justru menemukan bentuk adaptifnya melalui mekanisme demokrasi elektoral. Biaya
politik yang tinggi, ketergantungan partai terhadap donor besar, serta lemahnya
penegakan hukum menjadikan elite ekonomi memiliki posisi tawar yang dominan.
Akibatnya, hukum dan kebijakan publik kerap berpihak
pada kepentingan pemodal besar, sementara keadilan sosial dan perlindungan
terhadap kelompok lemah terpinggirkan. Temuan ini sejalan dengan analisis
Richard Robison dan Vedi R. Hadiz yang menunjukkan bahwa liberalisasi politik
tidak otomatis membongkar struktur kekuasaan lama, melainkan sering kali
mereorganisasikannya dalam format baru yang lebih cair namun tetap oligarkis
(Robison & Hadiz, 2004).
Kooptasi institusi hukum oleh elite ekonomi-politik
menimbulkan konsekuensi serius bagi prinsip rule of law dan kesetaraan
di hadapan hukum. Ketika hukum tunduk pada kepentingan oligarki, maka keadilan
substantif sulit terwujud, dan hukum cenderung berfungsi sebagai alat
stabilisasi kekuasaan.
Para pakar hukum dan demokrasi menegaskan bahwa demokrasi
tanpa keadilan hukum yang independen berisiko terjebak pada apa yang disebut
sebagai captured state, di mana negara kehilangan otonominya dari
kepentingan sempit elite. Oleh karena itu, kritik terhadap oligarchic
democracy Indonesia bukan hanya persoalan politik, tetapi juga menyangkut
krisis moral dan struktural dalam sistem hukum itu sendiri (Winters, 2011;
Bedner, 2010; Lev, 2000)
Lebih jauh, lemahnya integritas moral dalam sistem
sekuler turut memperparah problem penegakan hukum. Sekularisasi hukum yang
memisahkan norma legal dari nilai etik dan transendental menyebabkan hukum
kehilangan dimensi moralnya.
Para ahli filsafat hukum seperti Lon L. Fuller
menegaskan bahwa hukum tanpa moralitas internal akan mudah runtuh dan disalahgunakan.
Ketika hukum tidak lagi berorientasi pada kebenaran dan keadilan, melainkan
pada kepentingan pragmatis, maka yang muncul adalah ketidakadilan sistemik yang
dilembagakan (Fuller, 1964; Berman, 1983).
Kondisi tersebut mendorong munculnya kritik tajam
terhadap sistem demokrasi kapitalisme sekuler dan seruan untuk menghadirkan
paradigma hukum yang berkeadilan substantif. Dalam perspektif keadilan sosial
dan etika normatif, hukum seharusnya menjadi alat pembebasan bagi yang
tertindas, bukan instrumen pelanggengan kekuasaan.
Oleh karena itu, reformasi hukum tidak cukup dilakukan
pada aspek prosedural dan kelembagaan, tetapi harus menyentuh akar ideologis
sistem hukum itu sendiri, termasuk relasinya dengan kekuasaan, modal, dan nilai
moral yang melandasinya (Rawls, 1999; Sen, 2009).
Sistem Islam Sebagai Sumber Keadilan Hukum
Keadilan hukum merupakan pilar utama keberlangsungan
sebuah peradaban. Tanpa keadilan, hukum hanya akan menjadi alat kekuasaan yang
menindas, bukan instrumen perlindungan bagi masyarakat.
Dalam realitas dunia modern, banyak sistem hukum
justru melahirkan ketimpangan: hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Fenomena ini mendorong pencarian alternatif sistem hukum yang tidak hanya kuat
secara prosedural, tetapi juga adil secara moral.
Di sinilah sistem Islam menawarkan paradigma hukum
yang berbeda dan mendasar, yakni menjadikan keadilan sebagai tujuan utama,
bukan sekadar hasil sampingan.
Dalam Islam, hukum (syariah) tidak lahir dari
kesepakatan elite atau kepentingan politik, melainkan bersumber dari wahyu
Allah Swt. Al-Qur’an secara tegas menempatkan keadilan sebagai perintah ilahi
yang bersifat universal.
Allah Swt. berfirman: “Sesungguhnya Allah menyuruh
(kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan” (QS. an-Nahl [16]: 90).
Ayat ini menunjukkan bahwa keadilan bukan sekadar
norma sosial, melainkan kewajiban teologis yang mengikat seluruh manusia,
termasuk penguasa dan aparat penegak hukum. Dengan fondasi transendental ini,
hukum Islam memiliki orientasi moral yang kuat dan tidak mudah dikompromikan
oleh kepentingan duniawi.
Salah satu keunggulan utama sistem hukum Islam adalah
prinsip equality before the law yang bersifat substansial, bukan
simbolik. Rasulullah saw. menegaskan bahwa tidak ada seorang pun yang kebal
hukum, termasuk dari kalangan elite.
Dalam hadis sahih, beliau bersabda: “Seandainya
Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya” (HR.
al-Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menunjukkan bahwa keadilan dalam Islam tidak
mengenal diskriminasi status sosial, kekayaan, maupun kedekatan kekuasaan.
Prinsip ini menjadi pembeda fundamental dengan sistem hukum modern yang sering
kali tunduk pada tekanan oligarki.
Selain itu, sistem Islam menempatkan hukum sebagai sarana
menjaga lima tujuan pokok kehidupan manusia (maqāṣid al-syarī‘ah), yaitu
perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Menurut al-Syathibi, hukum Islam dirancang untuk
menghadirkan kemaslahatan dan mencegah kerusakan (jalb al-maṣāliḥ wa dar’ al-mafāsid).
Dengan demikian, penerapan hukum tidak boleh bersifat kaku dan mekanistik,
tetapi harus mempertimbangkan keadilan substantif dan dampaknya bagi masyarakat
luas (Al-Syathibi, 2004).
Kerangka ini menjadikan hukum Islam bersifat
manusiawi, proporsional, dan berorientasi pada kesejahteraan sosial.
Sejarah peradaban Islam juga memberikan bukti empiris
tentang implementasi keadilan hukum. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab r.a.,
seorang gubernur Mesir dari kalangan elite dihukum karena menzalimi rakyat
biasa.
Umar tidak ragu menegakkan hukum meski terhadap
pejabat tinggi. Ibn Khaldun mencatat bahwa keadilan adalah sebab utama tegaknya
negara, sementara kezaliman menjadi awal kehancurannya (Ibn Khaldun, 2005).
Fakta sejarah ini memperlihatkan bahwa sistem Islam
bukan hanya ideal normatif, tetapi juga pernah menjadi realitas historis yang
fungsional.
Di tengah krisis keadilan hukum yang melanda banyak
negara modern, sistem Islam menawarkan solusi struktural dan moral sekaligus.
Hukum tidak sekadar ditegakkan melalui institusi, tetapi dijaga oleh kesadaran
akidah dan pertanggungjawaban akhirat.
Setiap hakim, penguasa, dan aparat hukum menyadari
bahwa keputusannya tidak hanya dipertanggungjawabkan di hadapan manusia, tetapi
juga di hadapan Allah Swt. Kesadaran inilah yang menjadi benteng terkuat
terhadap korupsi, suap, dan penyalahgunaan wewenang.
Dengan demikian, sistem Islam layak dipandang sebagai
sumber keadilan hukum yang autentik dan relevan. Bukan karena romantisme masa
lalu, melainkan karena fondasi wahyu, prinsip moral universal, dan orientasi
kemaslahatan yang dikandungnya.
Di saat hukum modern sering terjebak dalam kepentingan
modal dan kekuasaan, Islam menghadirkan hukum yang berpihak pada kebenaran,
keadilan, dan martabat manusia secara menyeluruh. Keadilan hukum secara kaffah
dalam sistem Islam akan bisa terwujud sempurna dalam institusi khilafah Islam.
Referensi :
Al-Bukhari, M. I. (2002). Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Dār
Ibn Kathīr.
Al-Syathibi, A. I. (2004). Al-Muwāfaqāt fī Uṣūl
al-Syarī‘ah. Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Bedner, A. (2010). An elementary approach to the
rule of law. Hague Journal on the Rule of Law, 2(1), 48–74.
Bedner, A. (2010). An elementary approach to the
rule of law. Hague Journal on the Rule of Law, 2(1), 48–74.
Berman, H. J. (1983). Law and revolution: The
formation of the Western legal tradition. Harvard University Press.
Fuller, L. L. (1964). The morality of law. Yale
University Press.
Harvey, D. (2005). A brief history of neoliberalism.
Oxford University Press.
Ibn Khaldun. (2005). Al-Muqaddimah (Terj.).
Pustaka Firdaus.
Kamali, M. H. (2008). Shari‘ah law: An introduction.
Oneworld Publications.
Lev, D. S. (2000). Legal evolution and political
authority in Indonesia. Kluwer Law International.
Marx, K., & Engels, F. (1978). The Marx-Engels
reader (2nd ed.). W. W. Norton & Company.
Qardhawi, Y. (1997). Madkhal li dirāsat al-syarī‘ah
al-islāmiyyah. Maktabah Wahbah.
Rawls, J. (1999). A theory of justice (Rev.
ed.). Harvard University Press.
Robison, R., & Hadiz, V. R. (2004). Reorganising
power in Indonesia: The politics of oligarchy in an age of markets.
Routledge.
Sen, A. (2009). The idea of justice. Harvard
University Press.
Winters, J. A. (2011). Oligarchy. Cambridge
University Press.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1212/25/12/25 : 10.17
WIB)

