HGU KOK SAMPAI 190 TAHUN, MAU JUAL NEGARA ?



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan ketentuan Pasal 16A Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023 tentang Perubahan atas UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Nusantara (IKN). Pasal tersebut memberi peluang hak atas tanah, khusus Hak Guna Usaha (HGU) hingga 190 tahun. Selain  bertentangan dengan UUD 45, HGU 190 tahun itu juga berpotensi mengurangi kendali negara atas lahan di IKN. 

 

Mahkamah Konstitusi menilai bahwa aturan mengenai pemberian Hak Guna Usaha (HGU) yang dapat mencapai 190 tahun bertentangan dengan prinsip dasar yang terkandung dalam UUD 1945. Konstitusi menegaskan bahwa negara harus tetap memegang kendali atas bumi, air, dan kekayaan alam guna menjamin penggunaannya sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

 

Ketika lahan diserahkan kepada pihak tertentu untuk jangka waktu hampir dua abad, maka secara praktis negara kehilangan kemampuan untuk melakukan evaluasi, koreksi, serta penyesuaian kebijakan sesuai kebutuhan generasi berikutnya. Hal ini merupakan bentuk pergeseran kedaulatan pengelolaan lahan dari negara kepada korporasi.

 

Selain itu, MK menegaskan bahwa masa penguasaan lahan yang terlalu panjang menciptakan risiko berkurangnya fleksibilitas negara dalam menata wilayah yang memiliki nilai strategis nasional, seperti kawasan Ibu Kota Negara (IKN).

 

IKN merupakan proyek vital yang semestinya berada dalam kontrol penuh negara agar tata ruang, penggunaan lahan, serta arah pembangunan tidak ditentukan oleh kepentingan swasta jangka panjang. Jika HGU diberikan hingga 190 tahun, maka sebagian wilayah IKN akan berada dalam kendali korporasi untuk waktu yang melampaui otoritas pemerintahan-pemerintahan yang akan datang, sehingga mengganggu konsep kedaulatan ruang dan tata kota.

 

Di samping aspek kedaulatan negara, MK juga menilai aturan tersebut berpotensi merugikan masyarakat lokal yang telah puluhan tahun memiliki hubungan historis dan sosial dengan tanah mereka. Pemberian HGU jangka superpanjang dapat memicu konflik agraria, karena masyarakat akan tergusur atau kehilangan akses terhadap ruang hidupnya sendiri.

 

Mereka yang selama ini menggantungkan hidup pada lahan, hutan, dan ruang adat akan semakin tersisih oleh ekspansi korporasi. Dengan demikian, pembatalan aturan ini menjadi langkah penting untuk melindungi hak masyarakat lokal, menjaga keadilan sosial, serta memastikan pembangunan IKN tidak mengorbankan pihak-pihak yang paling rentan.

 

Enny Nurbaningsih, Hakim MK menilai, pemberian HGU selama 190, sebagaimana Pasal 16A UU 21/20223 melemahkan posisi negara dalam hal penguasaan tanah. Beleid itu  juga bertentangan dengan UUD 1945, terutama Pasal 33 Ayat (3). Ia berbunyi,” bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

 

Dominasi Oligarki

 

Kebijakan pemberian Hak Guna Usaha (HGU) hingga 190 tahun pada dasarnya dapat dipahami sebagai bentuk penyerahan kendali negara kepada pihak swasta, bahkan asing, dalam jangka waktu yang sangat panjang.

 

Durasi hampir dua abad itu jauh melampaui siklus generasi manusia, sehingga dapat dikatakan bahwa delapan generasi ke depan akan kehilangan akses dan masa depan atas tanah air mereka sendiri. Tanah yang seharusnya menjadi ruang hidup, ruang produksi, dan ruang pembangunan masyarakat justru berpotensi terkunci dalam otoritas entitas tertentu tanpa peluang koreksi dari generasi penerus.

 

Selain merampas ruang hidup masa depan, kebijakan ini juga mengubah orientasi pengelolaan tanah dari prinsip kedaulatan rakyat menjadi kepentingan modal. Padahal konstitusi menegaskan bahwa bumi, air, dan seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

 

Jika tanah dalam jumlah sangat luas diberikan kepada korporasi untuk jangka waktu sangat panjang, negara kehilangan fleksibilitas dalam menjalankan fungsi dasar tersebut. Tanah yang semestinya dapat dievaluasi, direformasi, atau dialihkan demi kebutuhan publik akan menjadi aset privat yang nyaris tidak tersentuh.

 

Pada titik ini, kebijakan HGU superpanjang membuka peluang besar bagi dominasi oligarki yang memusatkan kekayaan pada segelintir kelompok. Alih-alih menjadi instrumen pembangunan, tanah berubah menjadi instrumen akumulasi kapital.

 

Hal ini berpotensi memperdalam ketimpangan sosial, memperlemah kemandirian bangsa, serta menutup kesempatan bagi masyarakat untuk menikmati haknya atas sumber daya alam. Negara semestinya menjadi pengelola dan pelindung akses rakyat terhadap tanah dan kekayaan alam, bukan justru memfasilitasi pemusatan penguasaan yang menciderai kedaulatan dan keadilan sosial.

 

Kapitalisme Akar Persoalan, Ganti Dengan Islam

 

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan kebijakan perpanjangan HGU merupakan langkah positif bagi perlindungan kedaulatan agraria bangsa. Keputusan ini menegaskan bahwa negara tidak boleh dengan mudah menyerahkan kendali sumber daya alam kepada korporasi dalam jangka panjang yang tidak rasional. Meski demikian, kebijakan tersebut baru menyentuh gejala permukaan. Akar persoalan struktural yang memungkinkan kebijakan semacam itu lahir kembali sewaktu-waktu tetap belum terselesaikan.

 

Selama sistem kapitalisme masih menjadi fondasi ekonomi dan politik di negeri ini, kecenderungan liberalisasi sumber daya alam akan terus berulang. Kapitalisme menjadi mesin yang mendorong negara untuk memprioritaskan kepentingan modal daripada kepentingan publik.

 

Di bawah logika kapitalisme, tanah, hutan, pertambangan, dan energi dipandang sebagai komoditas yang harus dieksploitasi demi pertumbuhan ekonomi korporasi. Akibatnya, keputusan politik mudah diarahkan untuk melayani kepentingan investor, sekalipun harus mengorbankan kedaulatan negara dan kesejahteraan generasi mendatang.

 

Dalam konteks inilah, Islam menawarkan konsep kepemilikan yang lebih adil, seimbang, dan tidak memihak kepada segelintir pemilik modal. Islam membagi kepemilikan menjadi tiga kategori: kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.

 

Tanah yang strategis, sumber daya alam, hutan, air, energi, dan kekayaan besar lainnya secara tegas ditempatkan sebagai milik umum yang tidak boleh dimiliki ataupun dikuasai swasta. Pengelolaannya wajib dilakukan negara, sementara manfaatnya dikembalikan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat. Dengan mekanisme ini, konsentrasi aset pada oligarki dapat dicegah sejak awal.

 

Dalam perspektif tata kelola Islam, tanah yang strategis, sumber daya alam, hutan, air, energi, dan seluruh kekayaan besar lainnya dikategorikan sebagai milik umum yang tidak boleh dimiliki pribadi atau dikuasai swasta, baik domestik maupun asing.

 

Prinsip ini lahir dari kesadaran bahwa sumber daya tersebut merupakan kebutuhan vital yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Jika diserahkan kepada swasta, maka akses masyarakat rentan dibatasi, harga bisa dimonopoli, dan pengelolaan akan diarahkan pada orientasi profit semata.

 

Dalam perspektif Islam, negara memiliki mandat yang sangat jelas untuk mengelola seluruh sektor strategis secara langsung tanpa menyerahkannya kepada swasta atau pihak asing. Pengelolaan ini mencakup sumber daya alam yang menjadi hajat hidup orang banyak, seperti energi, air, hutan, tambang, dan lahan strategis yang statusnya adalah milik umum.

 

Negara bertindak sebagai pengelola (mudabbir), bukan sebagai pemilik yang dapat memperjualbelikan atau menyerahkannya kepada korporasi. Dengan mekanisme ini, Islam menutup seluruh celah privatisasi yang dapat merugikan rakyat dan menghilangkan kedaulatan atas sumber daya vital tersebut.

 

Lebih jauh, pengelolaan langsung oleh negara dimaksudkan agar sumber daya alam benar-benar difungsikan sebagai instrumen pelayanan publik, bukan sebagai sumber keuntungan kelompok tertentu. Dalam sistem kapitalisme, penguasaan aset strategis oleh korporasi cenderung menghasilkan monopoli dan eksploitasi, yang pada akhirnya membuat rakyat menjadi konsumen yang harus membayar mahal atas sumber daya yang seharusnya menjadi hak mereka.

 

Islam justru menempatkan negara sebagai benteng untuk menghalangi akumulasi modal pada segelintir pihak, karena kekayaan besar yang menyangkut hajat hidup masyarakat tidak boleh menjadi alat untuk memperkaya individu atau oligarki.

 

Dengan negara yang bertanggung jawab sepenuhnya atas sektor-sektor strategis, kesejahteraan rakyat dapat dicapai melalui distribusi manfaat yang merata. Pendapatan dari pengelolaan sumber daya tersebut dialokasikan untuk pendidikan, kesehatan, infrastruktur, jaminan sosial, dan kebutuhan publik lainnya, tanpa membebani rakyat dengan tarif tinggi atau pajak yang tidak perlu.

 

Sistem ini bukan hanya menjamin keadilan ekonomi, tetapi juga menjaga stabilitas sosial dan memperkuat kedaulatan negara. Dengan demikian, pengelolaan negara secara langsung atas sektor strategis adalah fondasi penting bagi terwujudnya kesejahteraan yang menyeluruh dalam perspektif Islam

 

Ketika negara menjalankan mandat ini dengan benar, manfaat dari kekayaan alam dapat didistribusikan sepenuhnya kepada masyarakat, baik dalam bentuk layanan publik, harga energi yang murah, pembangunan infrastruktur, maupun jaminan pemenuhan kebutuhan dasar.

 

Mekanisme kepemilikan umum ini secara otomatis menutup ruang bagi oligarki untuk menguasai aset-aset besar dan mengonsentrasikan kekayaan pada segelintir orang. Dengan kata lain, sistem ini bukan hanya menjamin pemerataan dan keadilan ekonomi, tetapi juga menjaga kedaulatan negara dari intervensi modal besar yang kerap memengaruhi kebijakan publik demi keuntungan mereka sendiri.

 

Top of Form

Bottom of Form

Oleh karena itu, solusi paling menyeluruh bukan hanya memperbaiki aturan teknis atau menunggu intervensi MK, tetapi mengganti sistem yang melahirkan ketidakadilan tersebut. Hanya melalui sistem Islam yang menempatkan kedaulatan di tangan syariah, dan pengelolaan kekayaan alam untuk kemaslahatan rakyat negeri ini dapat benar-benar berdaulat dan sejahtera.

 

Sistem Islam tidak hanya menutup celah eksploitasi kapitalistik, tetapi juga membangun tatanan ekonomi-politik yang menjaga hak rakyat, memastikan distribusi kekayaan, dan memutus ketergantungan negara pada kekuatan oligarki dan asing.

 

Dengan demikian, perubahan sistemik menjadi satu-satunya jalan untuk memastikan masa depan bangsa tetap berada di tangan rakyatnya sendiri, yakni mengganti sistem zolim kapitalisme menjadi sistem adil Islam. Dengan menerapkan syariah secara kaffah, maka maqosidu syariah akan terwujud dengan sempurna. Penerapan syariah kaffah hanya bisa terwujud dengan tegaknya daulah khilafah.

 

REFERENSI

 

Al-Bukhari, M. ibn Ismail. (2002). Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Vols. 1–9). Darussalam.

Al-Ghazali, A. (2000). Iḥyā’ ‘ulūm al-dīn. Dar al-Fikr.

Al-Mawardi, A. (1996). Al-aḥkām al-sulṭāniyyah. Dar al-Hadith.

Al-Nawawi, Y. (2001). Sharḥ Ṣaḥīḥ Muslim (Vols. 1–18). Dar al-Ma‘rifah.

Al-Qur’an al-Karim. (n.d.). Mushaf Utsmani.

Al-Qurṭubī, A. (2003). Al-jāmi‘ li aḥkām al-Qur’ān (Vols. 1–20). Muassasah al-Risālah.

Al-Tabari, M. ibn Jarir. (2001). Jāmi‘ al-bayān ‘an ta’wīl āy al-Qur’ān (Vols. 1–24). Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Chapra, M. U. (1992). Islam and the economic challenge. The Islamic Foundation.

Haneef, M. A. (2014). Contemporary Islamic economics: Theory and practice. IIUM Press.

Hasan, Z. (2011). Public property in Islamic law and its contemporary applications. IIUM Press.

Ibn Kathir, I. (1998). Tafsīr al-Qur’ān al-‘aẓīm (Vols. 1–8). Dar Ṭayyibah.

Ibn Taymiyyah, A. (1998). Al-ḥisbah fī al-Islām. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ismail, M. (2019). Sumber daya alam dalam perspektif ekonomi Islam. UII Press.

Kahf, M. (2004). Islamic economics: Theories and institutions. Islamic Research and Training Institute.

Muslim, I. al-Hajjaj. (1991). Ṣaḥīḥ Muslim (Vols. 1–5). Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi.

Nafis, M. C. (2018). Ekonomi syariah: Teori dan aplikasi. Kencana.

Qardhawi, Y. (2001). Fiqh al-daulah fi al-Islām. Dar al-Shuruq.

Siddiqi, M. N. (2005). Economics of the Islamic economy. Islamic Research and Training Institute.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1204/12/12 : 05.51 WIB)

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad