KETIKA PARA PEMBUAL LIBERAL TIARAP, KEHABISAN LOGIKA, DAN BEREBUT SEONGGOK DUNIA



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Para tokoh liberal yang dahulu selalu menggungat otoritas agama dengan tujuan dekonstruksi Islam kini tiarap karena proyek liberalisme sudah tidak laku lagi. Bualan mereka karena ada cuan, jika taka da cuan mereka akan mencari lagi dengan cara apapun.

 

Sebab pembual liberal adalah para pemuja nafsu dengan bungkus intelektualitas. Bahkan kini ada beberapa pembual liberal justru ikut berebut jabatan, dan menjadi pendukung kerusakan lingkungan. Semua dilakukan untuk melanjutkan isi perut agar tetap stabil.

 

Di balik retorika kebebasan, wacana neoliberal, dan jargon meritokrasi yang sering digaungkan oleh para intelektual publik, ada narasi lain yang lebih suram: persaingan memperebutkan sumber daya alam, tambang, konsesi, hingga kursi kekuasaan yang menjelma menjadi arena perebutan kekayaan sekaligus legitimasi sosial.

 

Kasus-kasus di Indonesia belakangan menunjukkan bagaimana konflik tambang tidak hanya memicu kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi, tetapi juga memecah-belah institusi sosial-politik ketika elite, termasuk intelektual yang tadinya berbicara soal publik dan etika, terlibat langsung atau dipergunakan untuk menjustifikasi penguasaan tersebut.

 

Fenomena ini bukan sekadar masalah teknis perizinan, melainkan manifestasi klasik dari apa yang disebut political resource curse, ketika kekayaan sumber daya memicu korupsi, rent-seeking, dan melemahkan akuntabilitas publik.

 

Pertama, kita perlu memahami mekanisme : tambang besar menghasilkan rente ekonomi yang sangat menggoda. Uang dan akses atas izin dapat dibelokkan menjadi modal politik, partai, fraksi, atau jaringan personal yang kemudian memosisikan aktor-aktor tertentu (yang kadang berlabel “intelektual” atau “ahli”) sebagai pembela kepentingan teknis atau hukum.

 

Label keilmuan ini berfungsi ganda: memberi legitimasi moral pada praktik yang merugikan publik sekaligus mereduksi kritik sebagai sekadar "emosi" atau "anti-pembangunan". Praktik ini terlihat ketika konflik tambang memicu gesekan internal di organisasi besar, misalnya laporan-laporan media akhir-akhir ini mengenai perebutan konsesi dan pengaruh yang menjadi salah satu pemicu perselisihan internal organisasi massa keagamaan dan elit lokal. Ketika legitimasi intelektual dipertukarkan dengan keuntungan material, wacana publik kehilangan penopang etisnya.

 

Dampak kedua adalah pada tata kelola dan akuntabilitas. Studi empiris menunjukkan bahwa kehadiran sumber daya ekstraktif tanpa mekanisme pengawasan yang kuat meningkatkan risiko praktik korupsi di perizinan, pengawasan, dan kontrak publik-swasta.

 

Transparency International dan penelitian akademis telah menyoroti betapa kerentanan sektor pertambangan terhadap korupsi berakar pada kompleksitas regulasi, keterbatasan kapasitas pengawasan daerah, serta konflik kepentingan antara pejabat publik dan pengusaha.

 

Dalam kondisi demikian, ruang publik diinfiltrasi oleh narasi teknokratis yang menutup akses informasi dan menekan partisipasi masyarakat lokal, padahal keterbukaan informasi adalah salah satu pencegah utama political resource curse.

 

Kasus Freeport di Papua sering dijadikan contoh ekstrem: akumulasi kekayaan tambang meleburkan hubungan-kehilangan akuntabilitas, menimbulkan pelanggaran HAM, dan memicu konflik berkepanjangan dengan masyarakat adat.

 

Laporan-laporan internasional juga memperlihatkan bagaimana operasi tambang besar dapat memperparah marginalisasi penduduk lokal dan membentuk aliansi politik-ekonomi yang sulit diputus tanpa tekanan publik dan reformasi regulasi. Ini bukan hanya “kisah industri”, melainkan pelajaran bahwa klaim pembangunan yang menggunakan bahasa efisiensi dan investasi harus diuji dengan standar etika, lingkungan, dan hak asasi manusia.

 

Apa peran intelektual dalam dinamika ini? Ada dua wajah. Sebagian intelektual tetap menegaskan fungsi kritis: menolak oligarki sumber daya, mendukung transparansi, dan memperjuangkan hak-hak masyarakat terdampak. Namun sebagian lain yang sering dibungkus label “liberal” atau “ahli”, rentan menjadi tukang legitimasi.

 

Mereka menukarkan retorika kebebasan berusaha dan modernisasi dengan dukungan terhadap proyek-proyek yang tidak demokratis atau merusak lingkungan, atau menjadi alat persuasi bagi korporasi untuk mendapatkan dukungan publik. Ketika argumentasi etis dan empiris digadaikan demi akses dan keuntungan, intelektual kehilangan kredibilitasnya sebagai penjaga publik interest.

 

Lantas, apa jalan keluar yang realistis dan beretika? Pertama: memperkuat transparansi dan akses informasi, mulai dari data kepemilikan konsesi hingga laporan audit lingkungan dan keuangan. Eksperimen di berbagai negara menunjukkan bahwa informasi publik yang mudah diakses dapat mengurangi political resource curse dengan memberi ruang bagi pemantauan warga, media, dan pengawas independen.

 

Kedua: reformasi institusional untuk mengurangi konflik kepentingan, misalnya larangan kepemilikan saham tertentu oleh pejabat yang mengatur sektor terkait, mekanisme tender yang benar-benar kompetitif, dan penguatan kapasitas lembaga pengawas daerah.

 

Ketiga: relegitimasi peran intelektual sebagai penyeimbang, bukan sebagai alat pembenaran. Intelektual harus kembali pada prinsip keilmuan: transparansi metode, pengungkapan konflik kepentingan, dan komitmen pada bukti serta etika publik.

 

Perebutan tambang dan jabatan bukan hanya masalah distribusi materi; ini masalah moral dan epistemik. Ketika para “pembual liberal” yang mengadvokasi kebebasan dan pluralisme memilih untuk tiarap di hadapan godaan materi dan koneksi, mereka tidak sekadar kehilangan argumen; mereka merobohkan ruang kritik yang esensial.

 

Menyelamatkan republik dari seonggok dunia yang diperebutkan berarti mengembalikan keseimbangan: sumber daya dikelola untuk kesejahteraan publik, intelektual berdiri di pihak kebenaran dan akuntabilitas, dan institusi menjadi tahan terhadap godaan rente.

 

REFERENSI

 

Amnesty International. (2022). Gold rush: Indonesia's mining plans risk fueling abuses in Papua (laporan).

Blesia, J.U. (2025). Predatory Mining, Conflict and Political Spaces: The Case ... (journal article).

Dzaki, H. M. (2025). An analysis of the resource curse in Tin-Rich Bangka (ScienceDirect).

Greenpeace Indonesia. (2018). Elite politik dalam pusaran bisnis batu bara (publikasi).

Tempo.co dan laporan media terkini mengenai konflik konsesi dan organisasi massa (laporan berita, Nov–Des 2025).

Transparency International Indonesia. (2024). Corruption risk assessment on license and monitoring of mining industry in Indonesia (MACRA).

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1205/12/12/2025/12 : 55 WIB)__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad