MENAKAR ULANG UKURAN KECERDASAN



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Roy Riady terkait kasus dugaan korupsi Chromebook yang menyebut rendahnya IQ anak Indonesia di angka 78 sebagai dampak kegagalan kebijakan digitalisasi, sungguh menyentak kesadaran publik.

 

Pernyataan ini bukan sekadar strategi hukum untuk memberatkan dakwaan terhadap mantan menteri Nadiem Makarim, melainkan lonceng kematian bagi akal sehat dalam memahami hakikat kecerdasan manusia.

 

Kita sedang menyaksikan proses reifikasi, kecenderungan picik untuk membendakan konsep abstrak seperti intelegensi menjadi angka mati yang kaku. ( Edy Suhardono, editor : Sandro Gatra, Kompas, 24 Desember 2025)

 

Sangat gegabah jika kita menelan mentah-mentah angka "78" sebagai vonis mati bagi kecerdasan nasional. Secara psikometri kritis, skor tersebut seringkali bersumber dari data yang sangat bermasalah.

 

Richard Lynn dan Tatu Vanhanen (2002) dalam bukunya "IQ and the Wealth of Nations" telah lama dikritik oleh ilmuwan dunia karena metodologi yang bias dan pengambilan sampel yang tidak representatif. Mereka sering mengabaikan faktor lingkungan makro yang dinamis. (https://nasional.kompas.com)

 

Dilema Psikologi Modern

 

Dalam kajian psikologi modern, kecerdasan sering diukur melalui Intelligence Quotient (IQ). IQ dirancang terutama untuk menilai kemampuan berpikir logis, pemecahan masalah, dan kapasitas kognitif tertentu yang dapat diuji lewat standar psikometrik.

 

Namun demikian, muncul kritik bahwa IQ sebagai ukuran tunggal tidak cukup merepresentasikan keseluruhan dimensi kecerdasan manusia. Di sisi lain, dalam tradisi Islam konsep kecerdasan dipandang bukan hanya sekadar kemampuan intelektual, tetapi juga mencakup aspek moral, spiritual, dan etika yang bersumber dari wahyu Allah SWT dan tuntunan Nabi Muhammad SAW.

 

Intelligence Quotient (IQ) awalnya dikembangkan oleh Alfred Binet pada awal abad ke-20 sebagai alat untuk mengidentifikasi anak yang membutuhkan dukungan pembelajaran khusus. Tes-tes IQ modern seperti WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale) dirancang untuk mengukur kemampuan verbal, logika, dan pemecahan masalah tertentu.

 

Namun kritik terhadap IQ dan model pengukuran tradisional ini semakin berkembang dalam ilmu kognitif dan pendidikan. Salah satu kritik utama adalah bahwa IQ:

 

Pertama, hanya mengukur aspek sempit kecerdasan seperti logika numerik dan verbal, sementara banyak aspek lain seperti kreativitas, kebijaksanaan, atau kecerdasan emosional tidak terwakili. Bahkan menurut kritik internal komunitas psikologi, IQ tidak menangkap aspek metakognisi (kesadaran atas proses berpikir), kecerdasan emosional, atau kebijaksanaan hidup.

 

Kedua, dipengaruhi oleh budaya dan latar sosial, sehingga sangat bergantung pada konteks pendidikan dan pengalaman sosial yang berbeda antar negara atau kelas sosial, sehingga tidak sepenuhnya independen dan universal.

 

Ketiga, berpotensi digunakan secara reduksionis, yakni menjadikan angka IQ sebagai label mutlak yang kurang menghargai potensi individual lainnya yang tidak terukur oleh tes.

Para akademisi dalam pendidikan dan psikologi telah mengembangkan model alternatif seperti teori multiple intelligences (Howard Gardner) atau kecerdasan emosional dan spiritual untuk memperluas definisi kecerdasan manusia di luar IQ.

 

Islam Bicara Soal Kecerdasan

 

Pandangan Islam tidak menolak pentingnya kemampuan berpikir dan penalaran (yang juga diukur sebagian oleh IQ), namun menempatkan kecerdasan dalam kerangka yang lebih luas.

Pandangan Islam terhadap kecerdasan akar katanya bukan sekadar “apa yang bisa diukur oleh tes standard”, melainkan bagaimana manusia menggunakan akal ('aql) yang diberikan Allah SWT untuk mengenal, memahami dan menjalankan kehendak Ilahi.

 

Dalam Al-Qur’an dan literatur tafsir, akal dipandang sebagai anugerah Allah SWT yang menghubungkan manusia dengan pengetahuan, pemahaman, dan hikmah. Kata 'aql dan bentuk-bentuk verba terkait seperti ya’qilun (mereka yang menggunakan akal) secara eksplisit tercatat sebanyak puluhan kali dalam Al-Qur’an, menunjukkan betapa pentingnya berpikir dan refleksi.

 

Al-Qur’an pun sering mengajak manusia untuk berpikir, merenung, dan menggunakan akal mereka dalam memahami tanda-tanda kekuasaan Allah, serta untuk membedakan antara yang benar dan salah.

 

Selain itu, akal dalam Islam bukan semata alat kognitif netral, tetapi alat untuk mengenal Allah, memahami hukum-Nya, dan membimbing pola pikir dan pola sikap seseorang menuju terbentuknya kepribadian Islam (syakhsiyah islamiyah)

 

Terdapat riwayat-riwayat hadis yang menekankan pentingnya akal dalam kehidupan beragama dan beretika. Misalnya, generasi awal ulama klasik mengutip hadis yang menyatakan bahwa akal (atau rasionalitas yang benar) merupakan landasan, pilar, dan tujuan bagi seorang mukmin.

 

Hadis-hadis tersebut mengaitkan penggunaan akal dengan moralitas, pengetahuan, dan tindakan yang baik — bukan sekadar kemampuan berpikir logis. Dalam konteks ini, akal tidak dipisahkan dari nilai keimanan dan etika. Akal yang terlepas dari wahyu dan prinsip moral akan kehilangan arah, dan dalam banyak tradisi ulama Islam akal harus “disinergikan” dengan wahyu (al-Qur’an dan Sunnah) untuk mencapai pencerahan spiritual dan moral.

 

Dari perspektif Islam, kritik atas dominasi IQ sebagai ukuran tunggal kecerdasan dapat dirumuskan sebagai berikut:

 

Pertama, Kecerdasan sebagai Anugerah yang Multidimensional. Islam melihat kecerdasan sebagai sifat yang lebih luas daripada sekadar kemampuan logika atau penalaran yang bisa diukur secara kuantitatif. Kecerdasan dalam Islam meliputi: (1) Kecerdasan spiritual, yakni kemampuan untuk memahami hakikat ciptaan, tujuan hidup, dan hubungan dengan Tuhan.

 

(2) Kecerdasan moral, yaitu kemampuan untuk membedakan yang baik dari yang buruk, serta mengimplementasikan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan. (3) Kecerdasan emosional dan sosial, yakni kemampuan mengelola emosi, berempati, dan berinteraksi secara etis dengan orang lain.

 

Ayat-ayat Al-Qur’an serta tafsirnya menunjukkan bahwa manusia dianjurkan untuk berpikir, mengingat, melihat, dan mendengar, yang semuanya merupakan aspek dari kecerdasan holistik yang melampaui IQ semata.

 

Hal ini sebagaimana firman Allah : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS Ali Imran : 190-191)

 

Dalam perspektif Islam, kecerdasan (termasuk akal) mesti dipadukan dengan taqwa — kesadaran dan ketaatan kepada Allah. Tanpa taqwa, akal saja tak menjamin seseorang bertindak benar, bahkan bisa membawa kerusakan. Pendekatan ini berbeda jauh dari pengukuran IQ, yang fokus pada kemampuan kognitif semata tanpa mempertimbangkan tujuan moral atau spiritual, yang justru menjadi inti keberadaan manusia menurut Islam.

 

Islam mendorong umatnya untuk terus menuntut ilmu serta memperbaiki diri secara menyeluruh. Banyak hadis Nabi SAW yang memerintahkan pencarian ilmu tidak hanya demi kemampuan teknis, tetapi demi memperkuat iman dan amal saleh.

 

Salah satu hadis yang populer menyatakan bahwa orang yang pergi menuntut ilmu berada dalam jalan kebaikan (fi sabilillah) sampai ia kembali. Hal ini menunjukkan bahwa konsep ilmu dalam Islam bukan hanya tentang aspek kognitif, tetapi melibatkan aspek spiritual dan etik yang integral.

 

Walaupun Islam mengkritik reduksi IQ sebagai satu-satunya ukuran kecerdasan, Islam tidak menolak penggunaan kecerdasan intelektual secara benar. Kecerdasan intelektual (yang diukur IQ) tetap relevan sebagai alat untuk berpikir, belajar, bekerja, dan berkontribusi positif pada masyarakat. Namun Islam menuntut agar kecerdasan tersebut dibenahi dan diarahkan oleh nilai-nilai keimanan, etika, dan tujuan spiritual.

 

Konsepsi IQ sebagai ukuran utama kecerdasan memiliki keterbatasan karena hanya fokus pada aspek kognitif tertentu, sementara banyak dimensi kecerdasan manusia — seperti spiritual, moral, dan emosional, tidak terukur oleh IQ standar. Dalam tradisi Islam, kecerdasan dipandang sebagai anugerah Allah SWT yang multidimensional, yang menggabungkan aspek akal ('aql), moral, dan spiritual yang diarahkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW.

 

Islam menegaskan pentingnya penggunaan akal yang holistik, yang tidak hanya sekadar berpikir logis, tetapi juga bertindak sesuai dengan nilai-nilai Ilahi, sehingga tujuan hidup manusia di dunia ini dapat dicapai dengan baik dan terarah. Konsepsi ini memberikan kritik yang kuat atas reduksi kecerdasan hanya pada IQ, serta menjelaskan kerangka yang lebih luas dan komprehensif tentang manusia sebagai makhluk berpikir dan beriman.

 

Konsep Aqliyah dan Nafsiyah

 

Konsepsi Islam tentang kecerdasan berpikir dimulai dari konsep pemahaman atau mafahim. Mafahim ini terbentuk dari jalinan antara fakta/realita dengan ma’lumat atau sebaliknya. Memusatnya pembentukan mafahim selaras dengan satu kaedah atau lebih yang dijadikan tolok ukur bagi ma’lumat dan fakta tersebut ketika berjalin.

 

Artinya, pada saat berjalin sesuai dengan pola pikirnya terhadap fakta dan informasi, yaitu sesuai dengan pemahamannya terhadap ma’lumat dan fakta tersebut. Kemudian terbentuklah pada seseorang pola pikir (aqliyah) yang dapat memahami lafadz-lafadz dan kalimat-kalimat, serta memahami makna-makna yang sesuai dengan kenyataan yang tergambar dalam benaknya.

 

Setelah itu barulah dia menentukan sikap (hukum) terhadapnya. Dengan demikian, aqliyah adalah cara yang digunakan dalam memahami atau memikirkan sesuatu. Dengan ungkapan lain aqliyah adalah cara yang digunakan untuk mengkaitkan fakta dengan ma’lumat, atau ma’lumat dengan fakta, berdasarkan suatu landasan atau beberapa kaedah tertentu.

 

Dari sinilah munculnya perbedaan pola pikir (aqliyah), seperti pola pikir Islami, Sosialis, Kapitalis, Marxis dan pola pikir lainnya. Apa yang dihasilkan oleh mafahim adalah sebagai penentu tingkah laku manusia terhadap fakta yang ditemuinya. Juga sebagai penentu corak kecenderungan manusia terhadap fakta tadi, berupa (sikap) menerima atau menolak. Kadangkala dapat membentuk kecenderungan dan perasaan tertentu.

 

Berdasarkan aqliyah dan nafsiyah ini terbentuklah kepribadian  (syakhshiyah). Akal atau pemikiran, sekalipun diciptakan bersama  dengan manusia dan keberadaannya pasti bagi setiap manusia, akan  tetapi pembentukan aqliyah terjadi melalui usaha manusia itu sendiri.

 

Begitu pula dengan muyul, sekalipun melekat pada diri manusia dan  keberadaannya pasti ada pada setiap manusia, akan tetapi pemben tukan nafsiyah terjadi melalui usaha manusia. Hal itu disebabkan,  karena yang menjelaskan makna suatu pemikiran sehingga menjadi  mafhum adalah adanya satu atau lebih kaedah yang dijadikan sebagai  tolok ukur untuk ma’lumat dan fakta/realita ketika seseorang berpikir; dan yang menjelaskan dorongan (keinginan) sehingga menjadi muyul  adalah gabungan yang terjadi antara dorongan dengan mafahim.

 

Jadi,  adanya satu atau lebih kaedah yang dijadikannya sebagai tolok ukur  untuk ma’lumat dan fakta/realita ketika manusia berfikir, mempunyai  pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan aqliyah dan nafsiyah.  Pembentukan yang khas tersebut mempunyai pengaruh yang sangat  besar dalam pembentukan kepribadian.

 

Apabila satu atau beberapa  kaedah yang digunakan dalam pembentukan aqliyah sama dengan yang digunakan untuk pembentukan nafsiyah, maka akan muncul pada  seseorang kepribadian (syakhshiyah) yang istimewa dengan corak yang  khas.

 

Namun, jika satu atau beberapa kaedah yang digunakan dalam  pembentukan aqliyah berbeda dengan yang digunakannya dalam  pembentukan nafsiyah, maka aqliyahnya berbeda dengan nafsiyahnya.  Pada saat itu muyul yang dimilikinya menjadikan satu atau beberapa  kaedah sebagai tolok ukurnya, yang dikaitkan dengan dorongannya  yang bertumpu pada mafahim yang bukan membentuk aqliyahnya.

 

Maka terbentuklah kepribadian yang tidak memiliki ciri khas.  Kepribadian (syakhshiyah) yang bercampur. Pemikirannya berbeda  dengan kecenderungan (muyul)nya. Karena ia memahami lafadz-lafadz  dan kalimat-kalimat serta berbagai fakta dengan cara yang berbeda  dengan kecenderungan-nya terhadap sesuatu yang ada disekelilingnya.

 

Tatkala terbentuk pada diri seorang muslim aqliyah dan nafsiyah  Islam maka dia memiliki kemampuan untuk menjadi seorang prajurit  sekaligus pemimpin pada waktu bersamaan. Mampu menggabungkan  antara rahmah (sifat kasih sayang-pen) dengan syiddah (sifat tegas).

 

Dia bisa hidup apa adanya atau diselimuti dengan kemewahan. Dia  memahami kehidupan dengan pemahaman yang benar. Dia sanggup  menguasai kehidupan dunia sesuai dengan haknya dan berupaya  meraih kehidupan akhirat. Dia tidak dapat ditaklukkan oleh sifat  penghamba dunia, tidak didominasi sikap fanatik buta terhadap agama  dan tidak hidup menyengsarakan diri seperti yang dilakukan oleh orang[1] orang India.

 

Pada saat yang sama dia menjadi pahlawan jihad sekaligus  singa podium. Dia menjadi orang yang terkemuka/mulia namun bersifat  rendah hati. Dia mampu memadukan antara perkara imarah (pemerintahan) dengan fiqih (hukum-hukum syara’), juga memadukan antara  aspek perdagangan dengan politik.

 

Sifatnya yang paling tinggi adalah  sebagai hamba Allah, Sang Pencipta. Anda akan menemu-kannya  sebagai orang yang khusyu’ dalam shalatnya, berpaling dari perkataan  yang sia-sia, membayar zakat dan menundukkan pandangannya,  menjaga amanat-amanatnya, memenuhi kesepakatannya, menunaikan  janji-janjinya dan berjihad di jalan Allah. Itulah seorang muslim, dan  itulah pula seorang mukmin. Dan inilah kepribadian (syakhshiyah) Islam yang dibentuk oleh Islam, dan menjadikannya manusia sebaik-baik  ciptaan.

 

Belajar  Dari Polymath Para Ilmuwan Muslim

 

Para ilmuwan Muslim pada masa keemasan peradaban Islam (sekitar abad ke-8 hingga abad ke-14 M) dikenal tidak hanya sebagai ahli di satu bidang ilmu saja, tetapi juga sebagai polymath yang menguasai berbagai disiplin ilmu sekaligus. Fenomena ini dikenal sebagai kecerdasan ganda (polymath)) yang memadukan kecerdasan logis-matematis, linguistik, praktis, dan filosofis dalam satu pribadi ilmuwan.

 

Banyak tokoh seperti Al-Khwarizmi yang dikenal sebagai bapak aljabar sekaligus ahli astronomi, dan Abu Zayd al-Balkhi yang sekaligus ahli geografi, matematika, kedokteran dan psikologi menunjukkan bahwa intelektualitas mereka bersifat multidimensional, bukan semata menguasai satu cabang ilmu saja.

 

Paradigma pendidikan Islam pada masa itu mendorong lahirnya insan yang mampu berpikir luas dan terintegrasi, sehingga ilmuwan Muslim menjadi figur generalis yang unggul dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.

 

Pada masa keemasan peradaban Islam (abad ke-8 hingga ke-14 M), banyak ilmuwan Muslim tampil sebagai polymath, yakni sosok yang menguasai dan berkontribusi signifikan pada berbagai disiplin ilmu sekaligus. Tradisi keilmuan Islam tidak membatasi pencarian ilmu pada satu bidang, melainkan mendorong integrasi antara ilmu agama, filsafat, sains alam, kedokteran, matematika, dan teknologi.

 

Tokoh seperti Ibnu Sina (Avicenna) bukan hanya seorang dokter, tetapi juga filsuf, ahli logika, dan ilmuwan alam; Al-Biruni dikenal sebagai ahli astronomi, geografi, matematika, sekaligus antropolog awal; sementara Ibnu Khaldun menguasai sejarah, sosiologi, ekonomi, dan filsafat politik.

 

Pola keilmuan ini lahir dari pandangan Islam yang memandang ilmu sebagai satu kesatuan (wahdat al-‘ilm), di mana seluruh pengetahuan bermuara pada upaya memahami ciptaan dan sunnatullah di alam semesta (Gutas, 1998; Nasr, 2007).

 

Karakter polymath para ilmuwan Muslim juga dipengaruhi oleh etos intelektual Islam yang memadukan akal, wahyu, dan pengalaman empiris. Aktivitas ilmiah dipahami sebagai bagian dari ibadah dan tanggung jawab peradaban, sehingga penguasaan banyak bidang ilmu dipandang sebagai keutamaan, bukan penyimpangan.

 

Hal ini tercermin dalam lembaga-lembaga keilmuan seperti Bayt al-Hikmah di Baghdad yang mendorong dialog lintas disiplin dan lintas peradaban. Warisan polymath ini kemudian menjadi fondasi penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa pada masa Renaisans.

 

Dengan demikian, keunggulan ilmuwan Muslim bukan hanya terletak pada kecerdasan intelektual semata, tetapi pada keluasan, kedalaman, dan integrasi ilmu yang menjadikan mereka figur polymath sejati dalam sejarah peradaban dunia (Makdisi, 1981; Saliba, 2007).

 

Kecerdasan ganda ilmuwan Muslim ini dipengaruhi oleh tradisi intelektual Islam yang mengintegrasikan iman dan ilmu (tauhid dan sains). Dalam tradisi Islam, mempelajari alam dan ilmu pengetahuan dianggap sebagai jalan untuk memahami kebesaran Allah dan memperkuat keimanan, sehingga pencapaian intelektual tidak dipisahkan dari nilai-nilai spiritual dan etika.

 

Hal ini tercermin dalam kontribusi besar banyak ilmuwan, seperti Ibnu Sina yang karya kedokterannya Al-Qanun fi al-Tibb menjadi rujukan medis utama di Eropa selama berabad-abad, dan Ibnu Al-Haytham yang mengembangkan prinsip metode ilmiah berbasis eksperimen dalam optik. Integrasi antara pengetahuan empiris dan kerangka nilai yang kuat ini melahirkan kecerdasan yang tidak hanya teoritis, tetapi juga aplikatif dan etis.

 

Kecerdasan ganda juga tampak dalam aspek kreatif dan teknis, di mana para ilmuwan Muslim menciptakan instrumen dan teknologi yang inovatif. Misalnya, Ismail al-Jazari yang dikenal sebagai “bapak robotika modern” merancang berbagai perangkat mekanis yang kompleks dan deskriptif dalam kitabnya The Book of Knowledge of Ingenious Mechanical Devices, dan Banū Mūsā bersaudara yang menulis tentang perangkat mekanik serta teori teknologi pada abad ke-9.

 

Figur seperti mereka menunjukkan kombinasi kecerdasan teknis, artistik, dan analitis dalam menyelesaikan masalah ilmiah dan praktis, sehingga kontribusi mereka melampaui sekedar teori menjadi inovasi konkret yang memengaruhi perkembangan teknologi.

 

Warisan kecerdasan ganda para ilmuwan Muslim pada masa keemasan peradaban Islam ini telah memberikan fondasi penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan global. Kontribusi mereka tidak hanya mentransfer pengetahuan klasik, tetapi juga memperkaya dan memodernisasi berbagai disiplin ilmu seperti matematika, astronomi, kedokteran, dan teknik.

 

Kecerdasan mereka yang multidimensional, yaitu kemampuan berpikir analitis, integratif, kreatif, dan etis, merupakan model intelektual yang relevan hingga kini dan menunjukkan bahwa tradisi keilmuan Islam mampu menghasilkan ilmuwan yang tidak hanya cerdas secara akademik tetapi juga bermanfaat secara luas bagi umat manusia.

 

Referensi

 

Al-Attas, S. M. N. (1993). Islam and secularism. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).

Berggren, J. L. (2007). Mathematics in medieval Islam. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Dallal, A. (2010). Islam, science, and the challenge of history. New Haven, CT: Yale University Press.

El-Bizri, N. (Ed.). (2016). The Oxford handbook of Islamic philosophy. Oxford, UK: Oxford University Press.

Gutas, D. (1998). Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early Abbasid Society. London: Routledge.

Gutas, D. (1998). Greek thought, Arabic culture: The Graeco-Arabic translation movement in Baghdad and early Abbasid society (2nd–4th/8th–10th centuries). London, UK: Routledge.

Hodgson, M. G. S. (1974). The venture of Islam: Conscience and history in a world civilization (Vols. 1–3). Chicago, IL: University of Chicago Press.

Lindberg, D. C. (2007). The beginnings of Western science: The European scientific tradition in philosophical, religious, and institutional context, 600 B.C. to A.D. 1450 (2nd ed.). Chicago, IL: University of Chicago Press.

Makdisi, G. (1981). The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Makdisi, G. (1981). The rise of colleges: Institutions of learning in Islam and the West. Edinburgh, UK: Edinburgh University Press.

Montgomery, J. E. (2006). Islamic crosspollinations: Interactions in the classical age. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Nasr, S. H. (2007). Science and Civilization in Islam. Chicago: Kazi Publications.

Rashed, R. (1994). The development of Arabic mathematics: Between arithmetic and algebra. Dordrecht, Netherlands: Kluwer Academic Publishers.

Rosenthal, F. (2007). Knowledge triumphant: The concept of knowledge in medieval Islam. Leiden, Netherlands: Brill.

Saliba, G. (1994). A history of Arabic astronomy: Planetary theories during the golden age of Islam. New York, NY: New York University Press.

Saliba, G. (2007). Islamic Science and the Making of the European Renaissance. Cambridge, MA: MIT Press.

Saliba, G. (2007). Islamic science and the making of the European Renaissance. Cambridge, MA: MIT Press

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1211/24/12/25 : 09.24 WIB)

 

 

 

 

 

 






__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad