Oleh : Ahmad Sastra
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Roy Riady terkait
kasus dugaan korupsi Chromebook yang menyebut rendahnya IQ anak Indonesia di
angka 78 sebagai dampak kegagalan kebijakan digitalisasi, sungguh menyentak
kesadaran publik.
Pernyataan ini bukan sekadar strategi hukum
untuk memberatkan dakwaan terhadap mantan menteri Nadiem Makarim, melainkan
lonceng kematian bagi akal sehat dalam memahami hakikat kecerdasan manusia.
Kita sedang menyaksikan proses reifikasi, kecenderungan
picik untuk membendakan konsep abstrak seperti intelegensi menjadi angka mati
yang kaku. ( Edy Suhardono, editor : Sandro Gatra, Kompas, 24 Desember 2025)
Sangat gegabah jika kita menelan mentah-mentah
angka "78" sebagai vonis mati bagi kecerdasan nasional. Secara
psikometri kritis, skor tersebut seringkali bersumber dari data yang sangat
bermasalah.
Richard Lynn dan Tatu Vanhanen (2002) dalam
bukunya "IQ and the Wealth of Nations" telah lama dikritik oleh
ilmuwan dunia karena metodologi yang bias dan pengambilan sampel yang tidak
representatif. Mereka sering mengabaikan faktor lingkungan makro yang dinamis.
(https://nasional.kompas.com)
Dilema Psikologi Modern
Dalam kajian psikologi modern, kecerdasan sering
diukur melalui Intelligence Quotient (IQ). IQ dirancang terutama untuk menilai
kemampuan berpikir logis, pemecahan masalah, dan kapasitas kognitif tertentu
yang dapat diuji lewat standar psikometrik.
Namun demikian, muncul kritik bahwa IQ sebagai ukuran
tunggal tidak cukup merepresentasikan keseluruhan dimensi kecerdasan manusia.
Di sisi lain, dalam tradisi Islam konsep kecerdasan dipandang bukan
hanya sekadar kemampuan intelektual, tetapi juga mencakup aspek moral,
spiritual, dan etika yang bersumber dari wahyu Allah SWT dan tuntunan Nabi
Muhammad SAW.
Intelligence Quotient (IQ) awalnya dikembangkan oleh
Alfred Binet pada awal abad ke-20 sebagai alat untuk mengidentifikasi anak yang
membutuhkan dukungan pembelajaran khusus. Tes-tes IQ modern seperti WAIS
(Wechsler Adult Intelligence Scale) dirancang untuk mengukur kemampuan verbal,
logika, dan pemecahan masalah tertentu.
Namun kritik terhadap IQ dan model pengukuran
tradisional ini semakin berkembang dalam ilmu kognitif dan pendidikan. Salah
satu kritik utama adalah bahwa IQ:
Pertama, hanya mengukur aspek sempit kecerdasan seperti
logika numerik dan verbal, sementara banyak aspek lain seperti kreativitas,
kebijaksanaan, atau kecerdasan emosional tidak terwakili. Bahkan menurut kritik
internal komunitas psikologi, IQ tidak menangkap aspek metakognisi (kesadaran
atas proses berpikir), kecerdasan emosional, atau kebijaksanaan hidup.
Kedua, dipengaruhi oleh budaya dan latar sosial,
sehingga sangat bergantung pada konteks pendidikan dan pengalaman sosial yang
berbeda antar negara atau kelas sosial, sehingga tidak sepenuhnya independen
dan universal.
Ketiga, berpotensi digunakan secara reduksionis, yakni
menjadikan angka IQ sebagai label mutlak yang kurang menghargai potensi
individual lainnya yang tidak terukur oleh tes.
Para akademisi dalam pendidikan dan psikologi telah
mengembangkan model alternatif seperti teori multiple intelligences (Howard
Gardner) atau kecerdasan emosional dan spiritual untuk memperluas definisi
kecerdasan manusia di luar IQ.
Islam Bicara Soal Kecerdasan
Pandangan Islam tidak menolak pentingnya kemampuan
berpikir dan penalaran (yang juga diukur sebagian oleh IQ), namun menempatkan
kecerdasan dalam kerangka yang lebih luas.
Pandangan Islam terhadap kecerdasan akar katanya bukan
sekadar “apa yang bisa diukur oleh tes standard”, melainkan bagaimana manusia
menggunakan akal ('aql) yang diberikan Allah SWT untuk mengenal,
memahami dan menjalankan kehendak Ilahi.
Dalam Al-Qur’an dan literatur tafsir, akal
dipandang sebagai anugerah Allah SWT yang menghubungkan manusia dengan
pengetahuan, pemahaman, dan hikmah. Kata 'aql dan bentuk-bentuk verba
terkait seperti ya’qilun (mereka yang menggunakan akal) secara eksplisit
tercatat sebanyak puluhan kali dalam Al-Qur’an, menunjukkan betapa pentingnya
berpikir dan refleksi.
Al-Qur’an pun sering mengajak manusia untuk berpikir,
merenung, dan menggunakan akal mereka dalam memahami tanda-tanda kekuasaan
Allah, serta untuk membedakan antara yang benar dan salah.
Selain itu, akal dalam Islam bukan semata alat
kognitif netral, tetapi alat untuk mengenal Allah, memahami hukum-Nya,
dan membimbing pola pikir dan pola sikap seseorang menuju terbentuknya
kepribadian Islam (syakhsiyah islamiyah)
Terdapat riwayat-riwayat hadis yang menekankan
pentingnya akal dalam kehidupan beragama dan beretika. Misalnya, generasi awal
ulama klasik mengutip hadis yang menyatakan bahwa akal (atau rasionalitas yang
benar) merupakan landasan, pilar, dan tujuan bagi seorang mukmin.
Hadis-hadis tersebut mengaitkan penggunaan akal dengan
moralitas, pengetahuan, dan tindakan yang baik — bukan sekadar kemampuan
berpikir logis. Dalam konteks ini, akal tidak dipisahkan dari nilai keimanan
dan etika. Akal yang terlepas dari wahyu dan prinsip moral akan kehilangan
arah, dan dalam banyak tradisi ulama Islam akal harus “disinergikan” dengan
wahyu (al-Qur’an dan Sunnah) untuk mencapai pencerahan spiritual dan
moral.
Dari perspektif Islam, kritik atas dominasi IQ sebagai
ukuran tunggal kecerdasan dapat dirumuskan sebagai berikut:
Pertama, Kecerdasan sebagai Anugerah yang
Multidimensional. Islam melihat kecerdasan sebagai sifat yang lebih luas
daripada sekadar kemampuan logika atau penalaran yang bisa diukur secara
kuantitatif. Kecerdasan dalam Islam meliputi: (1) Kecerdasan spiritual, yakni
kemampuan untuk memahami hakikat ciptaan, tujuan hidup, dan hubungan dengan
Tuhan.
(2) Kecerdasan moral, yaitu kemampuan untuk membedakan
yang baik dari yang buruk, serta mengimplementasikan nilai-nilai kebaikan dalam
kehidupan. (3) Kecerdasan emosional dan sosial, yakni kemampuan mengelola
emosi, berempati, dan berinteraksi secara etis dengan orang lain.
Ayat-ayat Al-Qur’an serta tafsirnya menunjukkan bahwa
manusia dianjurkan untuk berpikir, mengingat, melihat, dan
mendengar, yang semuanya merupakan aspek dari kecerdasan holistik yang
melampaui IQ semata.
Hal ini sebagaimana firman Allah : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi,
dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang
yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau
duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari
siksa neraka. (QS Ali Imran : 190-191)
Dalam perspektif Islam, kecerdasan (termasuk akal)
mesti dipadukan dengan taqwa — kesadaran dan ketaatan kepada Allah. Tanpa
taqwa, akal saja tak menjamin seseorang bertindak benar, bahkan bisa membawa
kerusakan. Pendekatan ini berbeda jauh dari pengukuran IQ, yang fokus pada
kemampuan kognitif semata tanpa mempertimbangkan tujuan moral atau spiritual,
yang justru menjadi inti keberadaan manusia menurut Islam.
Islam mendorong umatnya untuk terus menuntut ilmu
serta memperbaiki diri secara menyeluruh. Banyak hadis Nabi SAW yang
memerintahkan pencarian ilmu tidak hanya demi kemampuan teknis, tetapi demi
memperkuat iman dan amal saleh.
Salah satu hadis yang populer menyatakan bahwa orang
yang pergi menuntut ilmu berada dalam jalan kebaikan (fi sabilillah)
sampai ia kembali. Hal ini menunjukkan bahwa konsep ilmu dalam Islam bukan
hanya tentang aspek kognitif, tetapi melibatkan aspek spiritual dan etik yang
integral.
Walaupun Islam mengkritik reduksi IQ sebagai
satu-satunya ukuran kecerdasan, Islam tidak menolak penggunaan kecerdasan
intelektual secara benar. Kecerdasan intelektual (yang diukur IQ) tetap relevan
sebagai alat untuk berpikir, belajar, bekerja, dan berkontribusi positif
pada masyarakat. Namun Islam menuntut agar kecerdasan tersebut dibenahi dan
diarahkan oleh nilai-nilai keimanan, etika, dan tujuan spiritual.
Konsepsi IQ sebagai ukuran utama kecerdasan memiliki
keterbatasan karena hanya fokus pada aspek kognitif tertentu, sementara banyak
dimensi kecerdasan manusia — seperti spiritual, moral, dan emosional, tidak
terukur oleh IQ standar. Dalam tradisi Islam, kecerdasan dipandang sebagai
anugerah Allah SWT yang multidimensional, yang menggabungkan aspek akal ('aql),
moral, dan spiritual yang diarahkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW.
Islam menegaskan pentingnya penggunaan akal yang
holistik, yang tidak hanya sekadar berpikir logis, tetapi juga bertindak sesuai
dengan nilai-nilai Ilahi, sehingga tujuan hidup manusia di dunia ini dapat
dicapai dengan baik dan terarah. Konsepsi ini memberikan kritik yang kuat atas
reduksi kecerdasan hanya pada IQ, serta menjelaskan kerangka yang lebih luas
dan komprehensif tentang manusia sebagai makhluk berpikir dan beriman.
Konsep Aqliyah dan Nafsiyah
Konsepsi Islam tentang kecerdasan berpikir dimulai
dari konsep pemahaman atau mafahim. Mafahim ini terbentuk dari jalinan antara
fakta/realita dengan ma’lumat atau sebaliknya. Memusatnya pembentukan mafahim
selaras dengan satu kaedah atau lebih yang dijadikan tolok ukur bagi ma’lumat dan
fakta tersebut ketika berjalin.
Artinya, pada saat berjalin sesuai dengan pola
pikirnya terhadap fakta dan informasi, yaitu sesuai dengan pemahamannya terhadap
ma’lumat dan fakta tersebut. Kemudian terbentuklah pada seseorang pola pikir
(aqliyah) yang dapat memahami lafadz-lafadz dan kalimat-kalimat, serta memahami
makna-makna yang sesuai dengan kenyataan yang tergambar dalam benaknya.
Setelah itu barulah dia menentukan sikap (hukum)
terhadapnya. Dengan demikian, aqliyah adalah cara yang digunakan dalam memahami
atau memikirkan sesuatu. Dengan ungkapan lain aqliyah adalah cara yang digunakan
untuk mengkaitkan fakta dengan ma’lumat, atau ma’lumat dengan fakta,
berdasarkan suatu landasan atau beberapa kaedah tertentu.
Dari sinilah munculnya perbedaan pola pikir (aqliyah),
seperti pola pikir Islami, Sosialis, Kapitalis, Marxis dan pola pikir lainnya.
Apa yang dihasilkan oleh mafahim adalah sebagai penentu tingkah laku manusia
terhadap fakta yang ditemuinya. Juga sebagai penentu corak kecenderungan
manusia terhadap fakta tadi, berupa (sikap) menerima atau menolak. Kadangkala
dapat membentuk kecenderungan dan perasaan tertentu.
Berdasarkan aqliyah dan nafsiyah ini terbentuklah
kepribadian (syakhshiyah). Akal atau pemikiran,
sekalipun diciptakan bersama dengan
manusia dan keberadaannya pasti bagi setiap manusia, akan tetapi pembentukan aqliyah terjadi melalui
usaha manusia itu sendiri.
Begitu pula dengan muyul, sekalipun melekat pada diri
manusia dan keberadaannya pasti ada pada
setiap manusia, akan tetapi pemben tukan nafsiyah terjadi melalui usaha
manusia. Hal itu disebabkan, karena yang
menjelaskan makna suatu pemikiran sehingga menjadi mafhum adalah adanya satu atau lebih kaedah
yang dijadikan sebagai tolok ukur untuk ma’lumat
dan fakta/realita ketika seseorang berpikir; dan yang menjelaskan dorongan
(keinginan) sehingga menjadi muyul adalah
gabungan yang terjadi antara dorongan dengan mafahim.
Jadi, adanya
satu atau lebih kaedah yang dijadikannya sebagai tolok ukur untuk ma’lumat dan fakta/realita ketika
manusia berfikir, mempunyai pengaruh
yang sangat besar dalam pembentukan aqliyah dan nafsiyah. Pembentukan yang khas tersebut mempunyai
pengaruh yang sangat besar dalam
pembentukan kepribadian.
Apabila satu atau beberapa kaedah yang digunakan dalam pembentukan
aqliyah sama dengan yang digunakan untuk pembentukan nafsiyah, maka akan muncul
pada seseorang kepribadian (syakhshiyah)
yang istimewa dengan corak yang khas.
Namun, jika satu atau beberapa kaedah yang digunakan
dalam pembentukan aqliyah berbeda dengan
yang digunakannya dalam pembentukan
nafsiyah, maka aqliyahnya berbeda dengan nafsiyahnya. Pada saat itu muyul yang dimilikinya
menjadikan satu atau beberapa kaedah
sebagai tolok ukurnya, yang dikaitkan dengan dorongannya yang bertumpu pada mafahim yang bukan
membentuk aqliyahnya.
Maka terbentuklah kepribadian yang tidak memiliki ciri
khas. Kepribadian (syakhshiyah) yang
bercampur. Pemikirannya berbeda dengan
kecenderungan (muyul)nya. Karena ia memahami lafadz-lafadz dan kalimat-kalimat serta berbagai fakta
dengan cara yang berbeda dengan
kecenderungan-nya terhadap sesuatu yang ada disekelilingnya.
Tatkala terbentuk pada diri seorang muslim aqliyah dan
nafsiyah Islam maka dia memiliki kemampuan
untuk menjadi seorang prajurit sekaligus
pemimpin pada waktu bersamaan. Mampu menggabungkan antara rahmah (sifat kasih sayang-pen) dengan
syiddah (sifat tegas).
Dia bisa hidup apa adanya atau diselimuti dengan
kemewahan. Dia memahami kehidupan dengan
pemahaman yang benar. Dia sanggup menguasai
kehidupan dunia sesuai dengan haknya dan berupaya meraih kehidupan akhirat. Dia tidak dapat
ditaklukkan oleh sifat penghamba dunia,
tidak didominasi sikap fanatik buta terhadap agama dan tidak hidup menyengsarakan diri seperti
yang dilakukan oleh orang[1] orang India.
Pada saat yang sama dia menjadi pahlawan jihad
sekaligus singa podium. Dia menjadi
orang yang terkemuka/mulia namun bersifat rendah hati. Dia mampu memadukan antara
perkara imarah (pemerintahan) dengan fiqih (hukum-hukum syara’), juga memadukan
antara aspek perdagangan dengan politik.
Sifatnya yang paling tinggi adalah sebagai hamba Allah, Sang Pencipta. Anda akan
menemu-kannya sebagai orang yang khusyu’
dalam shalatnya, berpaling dari perkataan yang sia-sia, membayar zakat dan menundukkan
pandangannya, menjaga amanat-amanatnya, memenuhi
kesepakatannya, menunaikan janji-janjinya
dan berjihad di jalan Allah. Itulah seorang muslim, dan itulah pula seorang mukmin. Dan inilah
kepribadian (syakhshiyah) Islam yang dibentuk oleh Islam, dan menjadikannya
manusia sebaik-baik ciptaan.
Belajar Dari Polymath
Para Ilmuwan Muslim
Para ilmuwan Muslim pada masa keemasan peradaban
Islam (sekitar abad ke-8 hingga abad ke-14 M) dikenal tidak hanya sebagai ahli
di satu bidang ilmu saja, tetapi juga sebagai polymath yang menguasai berbagai
disiplin ilmu sekaligus. Fenomena ini dikenal sebagai kecerdasan ganda
(polymath)) yang memadukan kecerdasan logis-matematis, linguistik, praktis, dan
filosofis dalam satu pribadi ilmuwan.
Banyak tokoh seperti Al-Khwarizmi yang dikenal
sebagai bapak aljabar sekaligus ahli astronomi, dan Abu Zayd al-Balkhi yang
sekaligus ahli geografi, matematika, kedokteran dan psikologi menunjukkan bahwa
intelektualitas mereka bersifat multidimensional, bukan semata menguasai satu
cabang ilmu saja.
Paradigma pendidikan Islam pada masa itu
mendorong lahirnya insan yang mampu berpikir luas dan terintegrasi, sehingga
ilmuwan Muslim menjadi figur generalis yang unggul dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan.
Pada masa keemasan peradaban Islam (abad ke-8 hingga
ke-14 M), banyak ilmuwan Muslim tampil sebagai polymath, yakni sosok yang
menguasai dan berkontribusi signifikan pada berbagai disiplin ilmu sekaligus.
Tradisi keilmuan Islam tidak membatasi pencarian ilmu pada satu bidang,
melainkan mendorong integrasi antara ilmu agama, filsafat, sains alam,
kedokteran, matematika, dan teknologi.
Tokoh seperti Ibnu Sina (Avicenna) bukan hanya seorang
dokter, tetapi juga filsuf, ahli logika, dan ilmuwan alam; Al-Biruni dikenal
sebagai ahli astronomi, geografi, matematika, sekaligus antropolog awal;
sementara Ibnu Khaldun menguasai sejarah, sosiologi, ekonomi, dan filsafat
politik.
Pola keilmuan ini lahir dari pandangan Islam yang
memandang ilmu sebagai satu kesatuan (wahdat al-‘ilm), di mana seluruh
pengetahuan bermuara pada upaya memahami ciptaan dan sunnatullah di alam
semesta (Gutas, 1998; Nasr, 2007).
Karakter polymath para ilmuwan Muslim juga dipengaruhi
oleh etos intelektual Islam yang memadukan akal, wahyu, dan pengalaman empiris.
Aktivitas ilmiah dipahami sebagai bagian dari ibadah dan tanggung jawab
peradaban, sehingga penguasaan banyak bidang ilmu dipandang sebagai keutamaan,
bukan penyimpangan.
Hal ini tercermin dalam lembaga-lembaga keilmuan
seperti Bayt al-Hikmah di Baghdad yang mendorong dialog lintas disiplin
dan lintas peradaban. Warisan polymath ini kemudian menjadi fondasi penting
bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa pada masa Renaisans.
Dengan demikian, keunggulan ilmuwan Muslim bukan hanya
terletak pada kecerdasan intelektual semata, tetapi pada keluasan, kedalaman,
dan integrasi ilmu yang menjadikan mereka figur polymath sejati dalam sejarah
peradaban dunia (Makdisi, 1981; Saliba, 2007).
Kecerdasan ganda ilmuwan Muslim ini dipengaruhi oleh
tradisi intelektual Islam yang mengintegrasikan iman dan ilmu (tauhid dan
sains). Dalam tradisi Islam, mempelajari alam dan ilmu pengetahuan dianggap
sebagai jalan untuk memahami kebesaran Allah dan memperkuat keimanan, sehingga
pencapaian intelektual tidak dipisahkan dari nilai-nilai spiritual dan etika.
Hal ini tercermin dalam kontribusi besar banyak
ilmuwan, seperti Ibnu Sina yang karya kedokterannya Al-Qanun fi al-Tibb
menjadi rujukan medis utama di Eropa selama berabad-abad, dan Ibnu Al-Haytham yang
mengembangkan prinsip metode ilmiah berbasis eksperimen dalam optik. Integrasi
antara pengetahuan empiris dan kerangka nilai yang kuat ini melahirkan
kecerdasan yang tidak hanya teoritis, tetapi juga aplikatif dan etis.
Kecerdasan ganda juga tampak dalam aspek kreatif dan
teknis, di mana para ilmuwan Muslim menciptakan instrumen dan teknologi yang
inovatif. Misalnya, Ismail al-Jazari yang dikenal sebagai “bapak robotika
modern” merancang berbagai perangkat mekanis yang kompleks dan deskriptif dalam
kitabnya The Book of Knowledge of Ingenious Mechanical Devices, dan Banū
Mūsā bersaudara yang menulis tentang perangkat mekanik serta teori teknologi
pada abad ke-9.
Figur seperti mereka menunjukkan kombinasi kecerdasan
teknis, artistik, dan analitis dalam menyelesaikan masalah ilmiah dan praktis,
sehingga kontribusi mereka melampaui sekedar teori menjadi inovasi konkret yang
memengaruhi perkembangan teknologi.
Warisan kecerdasan ganda para ilmuwan Muslim
pada masa keemasan peradaban Islam ini telah memberikan fondasi penting bagi
perkembangan ilmu pengetahuan global. Kontribusi mereka tidak hanya mentransfer
pengetahuan klasik, tetapi juga memperkaya dan memodernisasi berbagai disiplin
ilmu seperti matematika, astronomi, kedokteran, dan teknik.
Kecerdasan mereka yang multidimensional, yaitu
kemampuan berpikir analitis, integratif, kreatif, dan etis, merupakan model
intelektual yang relevan hingga kini dan menunjukkan bahwa tradisi keilmuan
Islam mampu menghasilkan ilmuwan yang tidak hanya cerdas secara akademik tetapi
juga bermanfaat secara luas bagi umat manusia.
Referensi
Al-Attas, S. M. N. (1993). Islam and secularism.
Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization
(ISTAC).
Berggren, J. L. (2007). Mathematics in medieval
Islam. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Dallal, A. (2010). Islam, science, and the
challenge of history. New Haven, CT: Yale University Press.
El-Bizri, N. (Ed.). (2016). The Oxford handbook of
Islamic philosophy. Oxford, UK: Oxford University Press.
Gutas, D. (1998). Greek Thought, Arabic Culture:
The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early Abbasid Society.
London: Routledge.
Gutas, D. (1998). Greek thought, Arabic culture:
The Graeco-Arabic translation movement in Baghdad and early Abbasid society
(2nd–4th/8th–10th centuries). London, UK: Routledge.
Hodgson, M. G. S. (1974). The venture of Islam:
Conscience and history in a world civilization (Vols. 1–3). Chicago, IL:
University of Chicago Press.
Lindberg, D. C. (2007). The beginnings of Western
science: The European scientific tradition in philosophical, religious, and
institutional context, 600 B.C. to A.D. 1450 (2nd ed.). Chicago, IL:
University of Chicago Press.
Makdisi, G. (1981). The Rise of Colleges:
Institutions of Learning in Islam and the West. Edinburgh: Edinburgh
University Press.
Makdisi, G. (1981). The rise of colleges:
Institutions of learning in Islam and the West. Edinburgh, UK: Edinburgh
University Press.
Montgomery, J. E. (2006). Islamic
crosspollinations: Interactions in the classical age. Cambridge, UK:
Cambridge University Press.
Nasr, S. H. (2007). Science and Civilization in
Islam. Chicago: Kazi Publications.
Rashed, R. (1994). The development of Arabic
mathematics: Between arithmetic and algebra. Dordrecht, Netherlands: Kluwer
Academic Publishers.
Rosenthal, F. (2007). Knowledge triumphant: The
concept of knowledge in medieval Islam. Leiden, Netherlands: Brill.
Saliba, G. (1994). A history of Arabic astronomy:
Planetary theories during the golden age of Islam. New York, NY: New York
University Press.
Saliba, G. (2007). Islamic Science and the Making
of the European Renaissance. Cambridge, MA: MIT Press.
Saliba, G. (2007). Islamic science and the making
of the European Renaissance. Cambridge, MA: MIT Press
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1211/24/12/25 : 09.24
WIB)

