Oleh : Ahmad Sastra
Pergantian tahun, khususnya dari satu tahun Masehi ke
tahun berikutnya telah menjadi fenomena sosial yang luas. Di banyak negara,
termasuk di Indonesia, malam pergantian tahun identik dengan pesta, kembang
api, pertunjukan musik, hingga aktivitas konsumtif yang menghabiskan waktu dan
biaya.
Namun, bagaimana pandangan Islam terhadap fenomena
ini? Apakah Islam memandang pergantian tahun sebagai momen perayaan yang layak
dirayakan secara meriah? Ataukah sebaliknya, Islam justru menempatkan
pergantian tahun sebagai momentum muhasabah atau evaluasi diri?
Dalam prinsip syariat Islam, suatu perbuatan
dikategorikan berdasarkan adanya dalil yang menunjukkan ijtibā’
(ketentuan/perintah), larangan, atau kebolehan (mubah). Pergantian tahun
Masehi, meskipun populer di masyarakat, tidak memiliki dasar syariat dalam
Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi ﷺ sebagai hari beribadah atau dirayakan secara khusus.
Hal ini ditegaskan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)
bahwa perayaan tahun baru Masehi tidak memiliki status keagamaan dan tidak
dianjurkan untuk dijadikan agenda khusus perayaan umat Islam. Pergantian tahun
secara hukum termasuk mubah—artinya boleh saja dilakukan selama tidak
keluar dari aturan syariat dan tidak memuat unsur yang dilarang.
Namun, bila dipenuhi unsur berlebihan, boros, atau
mengambil contoh tradisi non-Muslim secara ritualistik, bisa berubah menjadi haram
karena berdampak negatif bagi agama seorang Muslim.
Dengan kata lain, Islam tidak melarang penggunaan
kalender Masehi dalam urusan administratif, tetapi merayakannya sebagai suatu
tradisi keagamaan atau ritual menjadi problematik dan tidak dianjurkan, apalagi
bila disertai sikap israf (berlebih-lebihan) dan boros yang dilarang dalam
Islam.
Konsep Waktu dalam Islam
Islam memandang waktu bukan sekadar angka atau
hitungan kronologis, tetapi sebagai amanah yang kelak akan dimintai
pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Allah SWT berfirman: “Demi masa.
Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman
dan mengerjakan kebajikan…” (QS. Al-‘Ashr: 1–3)
Ayat ini menunjukkan betapa pentingnya waktu sebagai
objek evaluasi dan aktivitas kebaikan. Artinya, waktu bukan sekadar berlalu,
tetapi harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk amal saleh. Inilah landasan
penting bahwa pergantian tahun bukan untuk dirayakan sebagai ritual kebudayaan,
melainkan sebagai momentum untuk introspeksi diri (muhasabah), evaluasi
hidup, serta penyusunan kembali arah dan tekad hidup seorang Muslim.
Istilah muhasabah berasal dari kata bahasa Arab
hasaba yang berarti menghitung atau mengevaluasi. Dalam konteks
spiritual, muhasabah berarti menghitung amal dan mengevaluasi perjalanan
hidup selama satu tahun terakhir—baik dari sudut ibadah, akhlak, maupun
kontribusi sosial.
Majelis Ulama Indonesia menekankan bahwa pergantian
tahun adalah momentum penting untuk melakukan refleksi diri (muhasabah),
bukan sekadar merayakan angka yang berubah. Jika umat Islam mengisi malam
pergantian tahun dengan introspeksi, doa, dzikir, dan perencanaan amal saleh ke
depan, maka hal ini jauh lebih bermakna dan sesuai dengan ajaran Islam
dibandingkan euforia pesta semata.
Lebih jauh lagi, pergantian tahun bisa menjadi alat
spiritual untuk melihat kembali hubungan dengan Allah, menilai kualitas ibadah,
memperbaiki akhlak, dan memperkuat komitmen hidup bertakwa. Mengingat sabda
Nabi ﷺ: “Orang
yang cerdas adalah orang yang menghisab dirinya sendiri dan bekerja untuk
kehidupan setelah mati…” (HR. at-Tirmidzi)
Hadis ini menegaskan bahwa seorang Muslim seharusnya
mengambil waktu untuk memperhitungkan amalnya, bukan hanya mengejar kesenangan
duniawi tanpa rencana spiritual.
Islam memiliki kalender tersendiri yang berupa
kalender Hijriyah, yang perubahannya terjadi pada bulan Muharram. Meski
demikian, tradisi merayakan 1 Muharram dengan pesta besar juga tidak pernah
dicontohkan dalam Sunnah Nabi ﷺ. Bagi mayoritas ulama, pergantian tahun
Hijriyah pada hakikatnya lebih sebagai peringatan sejarah hijrah Nabi ﷺ dan momentum evaluasi,
bukan perayaan yang diritualkan dengan hura-hura.
Artinya, baik pergantian tahun Hijriyah maupun Masehi
seharusnya tidak diperlakukan sebagai momen ritual perayaan, melainkan sebagai
kesempatan untuk muhasabah dan penataan kembali hidup berdasarkan prinsip
syariat.
Merayakan pergantian tahun dengan budaya konsumtif,
kemeriahan berlebihan, dan pesta bukan hanya tidak bermanfaat, tetapi
juga dapat membawa dampak negatif. Hal-hal seperti pemborosan waktu, keuangan,
atau perilaku yang tidak sesuai syariat, dapat menjauhkan seorang Muslim dari
fokus spiritualnya.
Islam sangat menekankan sikap wasatiyah
(moderasi) dan menolak sikap berlebihan (israf). Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak
ada perbuatan yang lebih dicintai Allah yang lebih menenangkan hati selain dari
meninggalkan perkara yang tidak memberikan manfaat.”
Kalimat ini tidak secara literal termuat dalam hadits
sahih, tetapi semangatnya konsisten dengan pendekatan Islam terhadap hal-hal
yang tidak bermanfaat, termasuk pesta tanpa makna spiritual.
Dengan memaknai pergantian tahun sebagai muhasabah,
umat Islam diajak untuk mengisi momen tersebut dengan hal-hal yang produktif
secara spiritual. Beberapa aktivitas yang dianjurkan antara lain: (1) Perbanyak
istighfar dan doa atas dosa-dosa yang lalu. (2) Menyusun niat dan rencana
kehidupan yang selaras syariat di tahun mendatang. (3) Meningkatkan kualitas
ibadah dan hubungan dengan Allah serta sesama. (4) Sedekah dan berbagi kepada
kaum dhuafa sebagai tanda kepedulian sosial.
Langkah-langkah tersebut mencerminkan esensi Islam
yang tidak terfokus hanya pada simbol angka atau kalender, tetapi pada
perubahan diri yang nyata dan peningkatan kualitas spiritual.
Pergantian tahun, baik Masehi maupun Hijriyah, tidak
sekadar angka yang berlalu, tetapi panggilan bagi setiap Muslim untuk menilai
kembali perjalanan hidupnya. Islam menempatkan pergantian tahun sebagai muhasabah,
evaluasi diri dan penyusunan kembali arah hidup berdasarkan prinsip keimanan
dan amal saleh, bukan sebagai perayaan ritus yang penuh euforia dan konsumtif.
Dengan perspektif ini, umat Islam diharapkan memahami
bahwa waktu adalah amanah yang kelak setiap insan akan dimintai
pertanggungjawaban. Pergantian tahun menjadi peluang untuk memperbaiki diri,
bukan sekadar alasan untuk bersenang-senang tanpa makna.
Resolusi Hidup dalam Islam
Setiap pergantian fase kehidupan, baik pergantian
tahun, usia, maupun pengalaman—manusia cenderung membuat resolusi hidup.
Resolusi sering dipahami sebagai tekad untuk memperbaiki kualitas hidup di masa
depan, mulai dari aspek karier, kesehatan, hingga hubungan sosial.
Namun, dalam perspektif Islam, resolusi hidup tidak
sekadar target duniawi jangka pendek, melainkan komitmen moral dan spiritual
yang berorientasi pada ridha Allah dan kehidupan akhirat. Islam memandang
resolusi hidup sebagai bagian dari kesadaran iman (iman consciousness)
yang mendorong perubahan diri secara berkelanjutan (islah al-nafs).
Dalam Islam, resolusi hidup berakar pada konsep niat
(an-niyyah). Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya setiap amal tergantung niatnya, dan
setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.”
(HR. al-Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa resolusi hidup bukan
sekadar perencanaan rasional, tetapi pernyataan batin yang mengikat antara
manusia dengan Allah. Resolusi dalam Islam tidak dinilai dari seberapa ambisius
targetnya, melainkan dari ketulusan niat dan kesesuaiannya dengan syariat. Oleh
karena itu, resolusi hidup seorang Muslim harus berpijak pada nilai tauhid,
yaitu menjadikan Allah sebagai tujuan akhir dari seluruh aktivitas kehidupan.
Berbeda dengan konsep resolusi modern yang sering
berorientasi materialistik dan individualistik, Islam menegaskan bahwa kehidupan
dunia hanyalah sarana, bukan tujuan. Allah SWT berfirman: “Dan carilah pada
apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia.”(QS. al-Qashash: 77).
Ayat ini menegaskan keseimbangan: Islam tidak
menafikan perbaikan hidup duniawi, tetapi menempatkannya dalam kerangka
tanggung jawab akhirat. Resolusi hidup dalam Islam karenanya mencakup dua
dimensi sekaligus: kesalehan personal (ibadah, akhlak, integritas) dan kesalehan
sosial (keadilan, kepedulian, kontribusi nyata bagi umat dan masyarakat).
Resolusi hidup dalam Islam tidak lahir dari euforia,
melainkan dari muhasabah (evaluasi diri). Umar bin Khattab ra. berkata: “Hisablah
dirimu sebelum kamu dihisab, dan timbanglah amalmu sebelum ia ditimbang.”
Pernyataan ini mencerminkan etos Islam dalam membangun
perubahan: perbaikan dimulai dari kesadaran atas kekurangan diri. Muhasabah
membantu seorang Muslim mengidentifikasi kegagalan moral, kelalaian ibadah,
serta kesalahan sosial yang perlu diperbaiki. Dari proses inilah resolusi hidup
disusun, bukan sebagai janji kosong, tetapi sebagai langkah sadar menuju
perbaikan berkelanjutan.
Islam tidak mengenal resolusi yang berhenti pada
wacana. Resolusi hidup harus terwujud dalam amal nyata (amal saleh).
Al-Qur’an secara konsisten mengaitkan iman dengan amal: “Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka surga sebagai tempat
tinggal.” (QS. al-Kahfi: 107)
Resolusi hidup dalam Islam berarti meningkatkan
kualitas amal, bukan sekadar kuantitasnya. Ini mencakup perbaikan shalat,
kejujuran dalam bekerja, tanggung jawab dalam keluarga, serta kontribusi dalam
kehidupan sosial. Dengan demikian, resolusi hidup tidak bersifat egoistik,
tetapi berdampak luas bagi kemaslahatan umat.
Salah satu tantangan terbesar dalam resolusi hidup
adalah konsistensi. Islam menempatkan istiqamah sebagai nilai utama.
Rasulullah ﷺ
bersabda: “Katakanlah aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah.” (HR.
Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa keberhasilan resolusi hidup
bukan pada momentum awalnya, tetapi pada keberlanjutan komitmen moral dan
spiritual. Islam lebih menghargai amal kecil yang konsisten daripada perubahan
besar yang bersifat sementara. Oleh karena itu, resolusi hidup dalam Islam
bersifat realistis, bertahap, dan berkelanjutan.
Resolusi hidup dalam Islam tidak boleh terlepas dari
tanggung jawab sosial. Seorang Muslim tidak hanya dituntut menjadi pribadi
saleh, tetapi juga agen perbaikan sosial (muslih). Allah SWT berfirman: “Kamu
adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf
dan mencegah dari yang mungkar.” (QS. Ali ‘Imran: 110)
Ayat ini menegaskan bahwa resolusi hidup seorang
Muslim idealnya mencakup komitmen untuk memperjuangkan keadilan, kejujuran, dan
kemaslahatan publik. Resolusi hidup yang hanya berorientasi pada kesuksesan
pribadi tanpa kepedulian sosial bertentangan dengan spirit Islam yang holistik.
Islam juga mengingatkan bahaya resolusi yang bersifat
ilusif dan tidak dibangun di atas kesadaran iman. Resolusi yang hanya mengikuti
tren, tekanan sosial, atau ambisi duniawi semata berpotensi melahirkan
kekecewaan. Al-Qur’an mengingatkan: “Ketahuilah bahwa kehidupan dunia
hanyalah permainan, senda gurau, perhiasan, dan saling bermegah-megahan.” (QS.
al-Hadid: 20). Ayat ini mengingatkan agar resolusi hidup tidak terjebak pada
ilusi dunia yang fana, tetapi diarahkan pada nilai-nilai yang kekal.
Resolusi hidup dalam Islam adalah proses spiritual dan
moral yang berakar pada niat yang ikhlas, dibangun melalui muhasabah,
diwujudkan dalam amal saleh, dan dijaga dengan istiqamah. Resolusi bukan
sekadar daftar target tahunan, melainkan komitmen seumur hidup untuk berjalan
di jalan Allah. Dengan orientasi akhirat, resolusi hidup menjadi sarana
transformasi diri dan masyarakat menuju kehidupan yang lebih adil, bermakna,
dan diridhai Allah SWT.
Referensi
Al-Bukhari, M. I. (2002). Ṣaḥīḥ al-Bukhārī.
Beirut: Dār Ibn Kathīr.
Muslim, I. H. (2006). Ṣaḥīḥ Muslim. Riyadh: Dār
Ṭayyibah.
Al-Qur’an al-Karim.
Al-Ghazali, A. H. (2011). Ihya’ ‘Ulum al-Din.
Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Qardhawi, Y. (1999). Fiqh al-Hayah. Cairo:
Maktabah Wahbah.
Majelis Ulama Indonesia. (2023). Muhasabah dan
Makna Pergantian Waktu dalam Islam. Jakarta: MUI.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1220/31/12/25 : 19.40
WIB)

