Oleh : Ahmad Sastra
Akhir 2025 menjadi momentum kelam bagi Pulau Sumatera
ketika banjir bandang dan longsor hebat melanda Aceh, Sumatera Utara, dan
Sumatera Barat, menewaskan ratusan jiwa, melumpuhkan ratusan ribu masyarakat,
dan menyebabkan kerugian material besar. Namun, tragedi ini bukan semata fenomena
alam yang tak terhindarkan, melainkan hasil dari akumulasi kelemahan paradigma
pengelolaan bencana dan tata kelola lingkungan yang kurang responsif terhadap
risiko nyata.
Bencana Sumatera 2025: Sebuah Latar Belakang Tragedi
Pada akhir November hingga awal Desember 2025,
Sumatera mengalami peristiwa banjir bandang dan longsor yang melanda tiga provinsi
besar secara bersamaan Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menjadikannya
salah satu bencana hidrometeorologi paling mematikan dalam sejarah modern
Indonesia.
Curah hujan ekstrem yang dipicu oleh kondisi iklim
regional (termasuk siklus monsun dan formasi siklon seperti Cyclone Senyar)
memicu banjir bandang dan tanah longsor luas, dengan korban tewas, hilang, dan
terluka mencapai angka ribuan serta kerugian ekonomi miliaran rupiah.
Namun, para ahli meteorologi dan pemangku kebijakan
sepakat bahwa curah hujan ekstrem tidak cukup menjelaskan skala kehancuran ini.
Banyak pihak menilai bahwa bencana ini merupakan hasil kombinasi faktor alam
dan manusia, yang menyatu dalam sebuah keterbatasan paradigma pengelolaan
risiko bencana di Indonesia.
Selama puluhan tahun, pengelolaan bencana di Indonesia
seringkali lebih menekankan pada respons darurat ketimbang pencegahan dan
mitigasi risiko. Paradigma lama melihat bencana sebagai kejadian yang tiba-tiba
dan tak terhindarkan — sesuatu yang harus ditangani setelah terjadi, bukan
dicegah. Pendekatan ini memang penting untuk penyelamatan nyawa, tetapi ia
sering mengabaikan akar masalah seperti kerentanan ekologis, perubahan
iklim, atau kerusakan lingkungan.
Paradigma ini mulai berubah ketika Undang-Undang No.
24 Tahun 2007 tentang Manajemen Bencana diberlakukan, yang secara resmi
menggeser fokus dari respons darurat semata menuju pendekatan disaster risk
reduction (pengurangan risiko bencana). Undang-Undang ini menegaskan
pentingnya mitigasi, kesiapsiagaan, dan peran aktif komunitas.
Namun demikian, implementasi ideal tersebut belum
sepenuhnya terealisasi. Koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah,
keterbatasan sumber daya, serta kurangnya pendidikan mitigasi di masyarakat
sering menjadi penghambat. Lebih jauh lagi, paradigma tanggap darurat masih
dominan dalam pola pikir publik dan birokrasi, sehingga upaya mitigasi jangka
panjang sering tertunda atau tidak diprioritaskan.
Paradigma bencana tradisional yang memisahkan antara
kejadian meteorologis dan kerusakan lingkungan telah gagal menangkap kedalaman
hubungan antara keduanya. Banyak ilmuwan kini menggarisbawahi bahwa kerusakan
ekologis — khususnya deforestasi, alih fungsi lahan, dan degradasi hulu sungai —
telah memperparah dampak bencana.
Misalnya, hilangnya tutupan hutan di daerah hulu
Daerah Aliran Sungai (DAS) mengurangi kemampuan ekosistem untuk menyerap air
hujan secara alami. Ketika hujan ekstrem terjadi, risiko debit air yang besar
dan tanah yang labil meningkat, sehingga banjir dan longsor menjadi lebih intens
dan destruktif ketimbang bila lingkungan masih sehat.
Selain itu, tidak cukupnya penegakan hukum terhadap
aktivitas pertambangan, perkebunan besar, dan legalisasi perubahan fungsi lahan
juga mengindikasikan ketidakseimbangan antara pembangunan ekonomi dan
konservasi lingkungan — sebuah dimensi lain dalam problem paradigma bencana.
Kelemahan dalam paradigma bencana juga terlihat dalam prioritas
pembangunan yang sering mengabaikan kapasitas ekologis dan risiko jangka
panjang. Kadang, keputusan perizinan konsesi industri atau proyek infrastruktur
tidak mempertimbangkan ketahanan lingkungan atau risiko bencana potensial.
Pakar lingkungan menegaskan bahwa bencana besar
seperti banjir bandang Sumatera 2025 bukan sekadar fenomena meteorologis,
tetapi “akumulasi dosa ekologis yang terakumulasi selama bertahun-tahun”, sebuah paradigma yang melihat ekologi sebagai faktor pasif, bukan elemen
fundamental dalam pengambilan keputusan pembangunan.
Paradigma tidak hanya berlaku bagi pembuat kebijakan,
tetapi juga masyarakat umum. Banyak komunitas di wilayah rawan bencana masih
kurang memahami risiko yang mereka hadapi atau potensi mitigasi yang tersedia.
Tingkat literasi bencana yang rendah mengakibatkan respons yang lambat saat
tanda-tanda bahaya muncul.
Pendidikan mitigasi dan kesiapsiagaan publik harus
lebih ditingkatkan melalui program yang berkelanjutan, berbasis sekolah dan
komunitas, serta terintegrasi dalam perencanaan pembangunan lokal. Kombinasi
antara pengetahuan lokal dan pengetahuan ilmiah dapat mengurangi resiko
sekaligus memperkuat ketangguhan komunitas dalam menghadapi bencana.
Untuk menghadapi ancaman bencana di masa mendatang,
perubahan paradigma harus bersifat holistik dan integratif. Beberapa hal yang
perlu diadopsi dalam paradigma baru ini antara lain:
Pertama, Keseimbangan antara pembangunan dan
konservasi lingkungan, pembangunan ekonomi harus mempertimbangkan kapasitas
ekologis, terutama di daerah rawan bencana.
Kedua, Mitigasi berbasis ekosistem, restorasi hutan,
rehabilitasi DAS, dan pengelolaan lahan yang adaptif terhadap iklim dapat
mengurangi risiko banjir dan longsor.
Ketiga, Pemberdayaan masyarakat dan pendidikan
mitigasi, program kesiapsiagaan harus masuk ke masyarakat sedini mungkin,
dengan dukungan penuh dari lembaga pemerintahan dan nonpemerintah.
Keempat, Koordinasi lintas sektor dan tata kelola yang
adaptif, kebijakan harus responsif terhadap dinamika perubahan iklim, data
ilmiah terbaru, dan partisipasi publik secara luas.
Bencana maut Sumatera 2025 tidak hanya merupakan
tragedi kemanusiaan besar, tetapi juga cermin problem paradigma dalam
pengelolaan risiko bencana Indonesia. Mulai dari pendekatan yang masih reaktif,
kurangnya penegakan mitigasi, lemahnya tata kelola lingkungan, hingga
kesenjangan dalam pendidikan publik, semua ini menunjukkan bahwa paradigma
konvensional perlu ditinjau ulang.
Untuk mencegah tragedi serupa di masa depan,
diperlukan perubahan paradigma yang mendalam dan komprehensif, termasuk
integrasi antara tata kelola lingkungan, mitigasi risiko yang efektif, dan
kesadaran masyarakat yang kuat. Pendekatan ini tidak hanya menyelamatkan nyawa,
tetapi juga menjamin keberlanjutan pembangunan yang lebih resilient menghadapi
tantangan bencana di abad ke-21
Paradigma Ekologis Perspektif Islam
Paradigma ekologis dalam perspektif Islam berangkat
dari pandangan tauhid yang menempatkan alam semesta sebagai ciptaan Allah Swt.
yang teratur, seimbang, dan sarat dengan tujuan. Al-Qur’an menegaskan bahwa
seluruh makhluk diciptakan dengan mīzān (keseimbangan) dan keteraturan
kosmik (QS. Ar-Rahman [55]: 7–9).
Dalam kerangka ini, alam bukanlah entitas netral atau
sekadar objek eksploitasi ekonomi, melainkan bagian dari sistem kehidupan yang
terikat langsung dengan kehendak dan hukum Allah (sunnatullah). Oleh
karena itu, relasi manusia dengan lingkungan bersifat teologis sekaligus etis,
bukan semata teknis atau ekonomis.
Islam memosisikan manusia sebagai khalīfah fī al-arḍ
(wakil Allah di bumi) sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah [2]: 30.
Konsep kekhalifahan ini mengandung amanah pengelolaan, pemeliharaan, dan
perlindungan terhadap alam. Dalam perspektif ekologis Islam, kekuasaan manusia
atas alam tidak bersifat absolut, melainkan terbatas oleh hukum syariat dan
nilai keadilan.
Kerusakan lingkungan (fasād fī al-arḍ)
dipandang sebagai penyimpangan dari amanah tersebut dan memiliki implikasi
moral serta sosial yang luas, sebagaimana dinyatakan dalam QS. Ar-Rum [30]: 41
bahwa kerusakan di darat dan laut terjadi akibat perbuatan tangan manusia.
Paradigma ekologis Islam juga menekankan prinsip maslahah
(kemaslahatan) dan lā ḍarar wa lā ḍirār (tidak menimbulkan bahaya dan
tidak saling membahayakan) sebagai dasar etika lingkungan. Aktivitas ekonomi,
pembangunan, dan pemanfaatan sumber daya alam harus diarahkan pada kemaslahatan
jangka panjang, bukan keuntungan sesaat yang merusak keseimbangan ekologis.
Dalam khazanah fikih, prinsip ḥifẓ al-bi’ah (perlindungan lingkungan)
dapat dipahami sebagai bagian integral dari maqāṣid al-syarī‘ah,
khususnya dalam menjaga jiwa (ḥifẓ al-nafs), keturunan (ḥifẓ al-nasl),
dan harta (ḥifẓ al-māl), yang semuanya bergantung pada lingkungan yang
sehat dan lestari.
Dengan demikian, paradigma ekologis perspektif Islam
menawarkan pendekatan holistik yang mengintegrasikan dimensi teologis, etis,
dan sosial dalam pengelolaan lingkungan. Paradigma ini berbeda secara
fundamental dari pendekatan ekologis sekuler yang sering menempatkan alam
semata sebagai sumber daya ekonomi.
Islam memandang krisis ekologis bukan hanya sebagai
persoalan teknis atau kebijakan, tetapi sebagai refleksi krisis nilai dan
penyimpangan paradigma manusia terhadap alam. Oleh sebab itu, solusi ekologis
dalam Islam meniscayakan transformasi kesadaran, perilaku, dan sistem kehidupan
menuju kepatuhan terhadap hukum Allah serta komitmen terhadap keadilan ekologis
yang berkelanjutan.
Referensi
Abdul-Rahman, Y. (2010). The art of Islamic banking
and finance: Tools and techniques for community-based banking. John Wiley
& Sons.
Al-Qaradawi, Y. (2001). Ri‘āyat al-bī’ah fī
al-sharī‘ah al-Islāmiyyah [Perlindungan lingkungan dalam syariat Islam].
Cairo: Dar al-Shuruq.
Foltz, R. C., Denny, F. M., & Baharuddin, A.
(2003). Islam and ecology: A bestowed trust. Harvard University Press.
Izzi Dien, M. (2000). The environmental dimensions
of Islam. Cambridge: Lutterworth Press.
Kamali, M. H. (2008). Shari‘ah law: An introduction.
Oxford: Oneworld Publications.
Nasr, S. H. (1996). Religion and the order of
nature. New York, NY: Oxford University Press.
Qur’an al-Karim.
Rahman, F. (1982). Islam and modernity:
Transformation of an intellectual tradition. Chicago, IL: University of
Chicago Press.
Shomali, M. A. (2014). Environmental ethics: An
Islamic perspective. Journal of Islamic Ethics, 1(1), 45–62.
UN Environment Programme. (2017). Faith for earth:
A call for action. Nairobi: UNEP.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1219/31/12/25 : 15.21
WIB)

